Wilujeng Sumping...

Ini blog seorang mida, yang -seperti manusia lainnya- punya banyak kisah dan masalah untuk diceritakan dalam perjalanan hidupnya. Silakan masuk, duduk di mana aja dan baca-baca sesuka hati. Mau teh atau kopi? ^_^

28 Desember 2009

Si Aneh yang Selalu Hepi!

Hola!!! (lagi seneng nyapa orang dengan kata ini, padahal jarang nonton Dora :D)

Aku lagi pengen membuka aib sendiri, heuheu.... Soalnya... well, kalo kamu mengenal seorang mida, kelihatannya sih biasa-biasa aja, padahal.... Ewwwwwhhh, banyak banget keanehanku yang kadang bikin aku merasa aneh (Nah, udah aneh, merasa aneh, jadi aneh kuadrat dunk!). Ini dia:

Suaraku kayak anak kecil

Apalagi kalo di telepon. Jaman sekolah dulu, sebelom HP jadi bawaan wajib, aku dan teman-teman sering ngerumpi pake telepon rumah. Pertama mendengar suaraku, biasanya mereka shock dulu, atau ketawa sampe sakit perut, soalnya katanya suaraku mirip boneka Susannya Ria Enes (btw, kemana dia sekarang, ya?). Aku sampe berusaha merekam suaraku sendiri dan terbengong-bengong karena hasilnya memang ajaib.

Kadang kalo iseng, aku suka mengaku 'adenya mida' kalo ada yang nelpon. Yang udah tahu aku anak bungsu sih langsung protes. Satu-satunya ade sepupu yang udah kuanggap ade sendiri tuh cowok (btw, band-nya dia lumayan keren, liat di sini deh...). Tapi, kalo yang ga tahu, ya percaya-percaya aja aku kerjain gitu, hehehe...

Aku ga bisa naik sepeda dan ga berminat untuk bisa

Terakhir kalinya aku punya sepeda, sepeda roda tiga buat balita :D. Sejak itu, mungkin karena ketiga kakakku masih sekolah lalu ketiganya kuliah dan jelas membutuhkan biaya banyak, ortu menganggap sepeda sebagai barang mewah yang tak perlu. Dan karena aku anak rumahan, jarang main keluar, aku juga tak pernah menginginkan sepeda. Yang kuinginkan cuma buku-buku cerita dan majalah (itupun biasanya dibelikan yang bekas), boneka cantik sejenis barbie (versi tiruannya, tentu) lengkap dengan baju-bajunya (yang dijahit mama atau tetehku dari kain-kain sisa, but they're awesome!) , berbagai macam kertas unik+lem kayu+bunga edelweis kering untuk membuat kartu-kartu ucapan, atau alat-alat menggambar. Semua barang itu bisa membuatku betah berkutat di kamar seharian. Untungnya, aku ga jadi autis, sih, hehe... alhamdulillah... Dan hingga detik ini, aku masih mikir, 'emang perlu, ya, belajar naik sepeda?'. Kalau emang perlu, sih, mungkin harus aku masukkan ke resolusi tahun 2010 ^_^.

Aku buta pohon

Ini baru aku sadari saat SMA. Bagiku hampir semua pohon itu kelihatannya sama (batang coklat-banyak daun ijo). Nah, waktu di SMA, pernah diadakan psikotes yang salah satu sesinya adalah menggambar pohon dikotil dan harus diberi keterangan nama pohonnya. Aku kebingungan, apa bedanya pohon mangga sama alpukat, atau rambutan, atau jambu, atau...? Aku hanya mengenali pohon yang memang bentuknya benar-benar berbeda, benar-benar spesifik (seperti pohon pisang, kelapa, cemara, dkk), atau kalau buahnya sudah terlihat, hehe.... Jadi aku sering gondok kalau ada yang bilang:

+"kosmu yang ada pohon mangganya, ya?" (euh, berbulan-bulan aku ngekos di situ baru tau ternyata itu pohon mangga)

+"rumahku yang ada pohon rambutannya" (nah, kalo tetangga-tetangganya punya pohon juga, aku pasti ga bakal bisa nemu rumahnya)

+"kalo udah berbuah, asik tuh" (aku harus berimajinasi kira-kira pohon itu akan menghasilkan buah apa)

Wah, payah, deh.... Pernah belajar mengenali pohon dari bentuk daunnya. Akhirnya aku hapal --bukan karena mengenali daunnya, tapi karena letaknya ^_^ (yang di depan rumah bu anu itu pohon A, yang deket masjid itu pohon B). Jadi begitu nemu pohon baru di tempat lain, wassalam aja.... Hehehe.... Ada yang tau cara "ngobatinnya"?

Aku suka nyasar

Ini, sih, kayanya ga terlalu aneh. Aku ga bisa cepat menghapal jalan atau arah. Harus berkali-kali lewat, baru 'ngeh'. Awal-awal aku di Cirebon, aku sering be-te kalo naik angkot. Angkot yang lewat sini cuma jalur GG. Kalo mau ke tempat lain yang tidak dilalui jalur GG, harus disambung. Masalahnya, angkot GG ini bisa melewati jalur-jalur tertentu by request (can u believe that???). Asal sopirnya mau dan penumpang lain tidak keberatan, ya okeh-okeh aja lewat mana pun juga. Jadi kalo hari ini angkotnya lewat pelabuhan dulu, kali lain bisa lewat stasiun, pasar pagi, grage, ya.... tergantung kebutuhan penumpang dan mood sopirnya aja. Aku jadi pusing. Tapi lama-lama hapal juga, sih, hehe.... Karena jalannya ternyata melingkar di situ-situ juga.

Eh, tapi ada pengecualian, sih.... Aku justru cepat hapal dengan letak dan arah toko-toko kalau lagi di Pasar Baru atau mal :D Jadi, saat belanja dengan kedua tetehku berburu pernak-pernik cewek, biasanya aku yang paling ingat jalan. Cuma, kalau tempatnya segede Mangga Dua, ga janji lah ya....

Aku senang minum air putih panas

Ini aneh, ga, sih? Soalnya aku belum pernah nemu orang dengan kesenangan yang sama. Bagiku, menyesap air putih panas (apalagi kalo cuaca lagi dingin) sama nikmatnya dengan menyesap teh atau kopi atau bandrek panas buatan Mimi. Rasanya menenangkan.... Dan tentu saja lebih aman buat lambung, hehe...

Aku senang udara panas

Tapi ga sepanas neraka dunk ya... (Na'udzubillah, deh). Maksudku, aku merasa lebih nyaman di udara panas daripada udara dingin. Diam di udara dingin tanpa kehangatan yang mencukupi (halah!) membuatku gelisah dan pengen nangis. Ini agak membingungkan karena aku belasan tahun hidup di Bandung yang adem. Bertahun-tahun kos di Jogja, kemudian di Cirebon yang panas, aku tak pernah punya kipas angin, apalagi AC. Di dekat kantor sebenarnya ada tempat kos yang dilengkapi AC dan TV dengan harga yang sama dengan kamarku sekarang (tapi ukuran kamarnya lebih kecil dan lokasinya masuk gang). Hampir semua pegawai kantor nge-kos di daerah itu. Cuma aku sama Winda aja yang alien, hehe....

Bagiku tak ada AC dan kipas angin tak masalah, asal kamarnya nyaman dan aku mendapatkan privasi yang kubutuhkan. Tambah lagi, dengan lokasi pinggir jalan utama yang strategis, kakak-kakakku dari luar kota bisa dengan mudah menemukan letaknya dan bisa parkir mobil di depan kos.

Tapi, aku harus latihan berada di udara dingin.... Soalnya kalo nanti bermukim di Eropa susah juga saat winter tiba. Apalagi kalo tinggalnya di London yang sering hujan dan berkabut, hehe... (hei, mimpi kan ga dosa!).

Udah dulu, ah... Eh, ini bukan keluhan, lho.... Meskipun aneh, tapi aku teteup hepi, koq! ^_^ Ada banyak kelebihan yang dianugerahkan-Nya padaku. Aku cuma pengen berbagi. Juga mana tau ada yang bisa kasih saran biar aku ga buta pohon lagi, misalnya. Ditunggu ya!

16 Desember 2009

(Bukan) Teman yang Baik

Bukankah tak ada manusia yang sempurna?

Dari ketidaksempurnaan inilah lahir sebuah kata bernama 'kritik'. Sebuah kata yang kadang menimbulkan perasaan bertolak belakang saat mendengarnya; rasa membutuhkan dan rasa membenci. Ya, kita memang membutuhkan kritikan agar bisa menjadi lebih baik. Dan ya, kita kadang tak siap mendengar keburukan-keburukan kita terungkap lewat 'pembacaan' orang lain.

Dan yang lebih lucu, kadang saat kita berbusa-busa mengatakan kritikan kita terhadap orang lain, kita lupa bercermin. Lupa melihat pada diri sendiri bahwa bukan hanya dia yang tidak sempurna, tapi kita juga. Ah, kenapa manusia diciptakan dengan settingan mudah menemukan sisi buruk dari segala sesuatu?

Aku baru membaca tulisan seseorang yang ditujukan untukku. Tulisan itu dibuat sudah lama, sebenarnya. Entah mengapa aku tak memperhatikan keberadaannya di inbox emailku. Selama beberapa waktu, emailku yang biasanya 'bersih' dari unread message, menjadi penuh gara-gara notifikasi dari si buku wajah. Dan karena koneksi internet lagi payah, aku jadi kian malas menghapus email-email itu.

Tapi tadi pagi, aku memutuskan melakukan pembersihan. Jadi, aku mengklik 'unread' dan melihat-lihat jika ada email yang perlu kubaca dulu sebelum kuhapus. Disanalah ia, terhimpit di antara notifikasi FB, adalah email dari seorang teman. Saat kubuka, awalnya masih biasa-biasa, tapi ujung-ujungnya.... owh, my good mood suddenly turned off.

Sederhana saja, dia mengungkapkan beberapa kekuranganku. Masalahnya, aku tidak merasa seperti yang dia gambarkan. Justru aku melihat gambaran itu pada dirinya. Aneh, kan? (Ah, bukan manusia namanya kalau tidak aneh). Yang aku tangkap (dia tak menuliskannya secara eksplisit, tentu saja), dia sering merasa sakit hati dengan sikapku. Dan memang sejak lama aku selalu merasa bahwa no matter what I do, I just can't get enough for you.

Apapun yang kulakukan, dia selalu melihat dari sisi lain dan akhirnya hal-hal yang tadinya kupikir 'those are what friends do' itu menjadi kebalikannya, menjadi sesuatu yang negatif. Aku sering tersentak dengan responnya. Dan berkali-kali berpikir, 'hey, aku ga bermaksud begitu!'. Dan capek rasanya kalau aku terus-menerus berusaha mendekat, meminta maaf atau memperlihatkan bahwa 'aku berusaha menjadi temanmu yang baik'. Sementara dalam hati akupun sering sakit hati dengan segala kritikannya.

Tapi, semua kekuranganku yang dia ungkapkan, menjadi bahan introspeksi bagiku. Inginnya aku memintanya melakukan introspeksi yang sama. Tapi kurasa, itu hanya akan memperburuk keadaan.

Untuk semua yang pernah terzhalimi oleh sifat-sifat burukku, aku minta maaf.... Kurasa aku perlu 'bercermin' dengan lebih baik lagi.

So, yeah.... I'm not a good friend. I'm not. But I've tried my best, really. If it's not enough, I'm sorry.... I can't be perfect. But then, you can't be either. I can accept it. Why can't you?

11 Desember 2009

Miss You, Riz....

It seems like yesterday when the first time i saw you....

Kau begitu cantik, mungil dan menggemaskan. Dengan kulit putih, bulu mata tebal dan lentik serta luar biasa cerewet (meskipun kata-katanya tidak dimengerti manusia dewasa ^_^), kau membuat jatuh cinta setiap orang yang melihatmu.

"Mbak Midaaa...!" Adalah kata-kata penuh semangat yang selalu kau teriakkan setiap kali kita bertemu. Di belakang, Dimdim, adikmu, berusaha mengikuti dengan berteriak, "Bida...bidaaaa...!". Matamu membulat dengan mulut mungil berceloteh lucu. Dan kita akan bermain, membuat para orang tua geleng-geleng kepala dengan keonaran yang kita buat, meninggalkan ruang demi ruang dalam keadaan berantakan sambil berkejaran riang gembira.

Secara silsilah, kau harusnya memanggilku 'tante'. Tapi, jarak umur yang tak jauh membuatmu lebih senang memanggilku 'mbak'. Dan siapa yang tak bangga diakui kakak oleh seseorang yang begitu cantik dan cerdas sepertimu? Meski, dengan perbedaan warna kulit yang seperti kue lapis (lapisan putih-milikmu; lapisan coklat tua-milikku), orang-orang sering menyangsikan bahwa kita bersaudara. Ah, jangankan denganmu, di keluargaku memang akulah anak perempuan dengan kulit tergelap dengan rambut bergelombang, sementara yang lain berambut lurus mulus seperti rambutmu. Papa dan Mama sering setengah mengejek, bahwa aku merupakan tiruan almarhumah nenek buyut (yang hidungnya pun -jika dilihat dari samping- konon tidak rata seperti hidungku, tapi bedanya punya almarhumah lebih mancung, hehe...).

Semakin beranjak besar, semakin jarang pertemuan kita, hanya terjadi di masa-masa libur sekolah. Tapi, itu tak pernah mengurangi keakraban yang ada. Diramaikan oleh Dimdim yang selalu berusaha mengikuti apapun yang kita lakukan. Begitu ceria, begitu menyenangkan. Pikirku, keceriaan ini takkan habis hingga kita tua.

Hingga kudengar kabar bahwa orang tuamu mengirimmu ke benua lain untuk melanjutkan sekolah. Astaga, kau bahkan baru kelas satu SMP, dan kau dilepaskan sendirian di negeri orang! Antara ngeri dan antusias dengan pengalaman baru, aku sering memikirkan keberadaanmu di sana. Seperti apa teman-temanmu? Apa yang kau makan di sana? Rindukah engkau pada rumah? Kabar-kabar tentang keberhasilanmu menjadi obat pertanyaan-pertanyaan kangenku. Kau ternyata berbakat di bidang seni, hingga salah satu lukisanmu dipajang di museum lokal di sana.

Pertemuan kita yang terakhir adalah saat kau lulus senior high, beberapa bulan sebelum aku mengundurkan diri dari kampusku yang lama dan memutuskan pindah ke Jogja. Aku ingat dengan kecanggungan yang tercipta saat malam itu kita duduk diam berdua di depan televisi, menonton acara musik. Benakku berputar-putar berusaha mencari bahan obrolan. Tapi, kita seolah telah berada di dua dunia yang begitu berbeda. Hanya beberapa kalimat yang terucapkan hingga aku memutuskan tidur lebih awal dengan menyimpan kekecewaan.

Sekarang.... Kau benar-benar menjadi asing bagiku. Bertahun-tahun aku kehilangan kontak denganmu. Saat seorang sepupu memperlihatkan fotomu, ah, kau telah menjelma menjadi perempuan dewasa yang begitu cantik. Dengan badan bongsor (seperti ayahmu), kulit putih dan rambut panjang dicat merah, kau bahkan lebih cantik dari semua wanita bule yang ada dalam fotomu. Mama bilang kau seperti fotomodel.

Dan kau kini kesulitan berbahasa Indonesia.

Aku berusaha mencari jejakmu di Google, Friendster dan Facebook. Kuketikkan nama lengkapmu, tapi selalu nihil. Terakhir, aku kembali iseng mencarimu. Lalu muncullah namamu di linked-in. Sebuah situs yang menghubungkan para pekerja profesional di seluruh dunia. Order Management at Reuters, Sidney based area adalah yang tertulis sebagai jabatan pekerjaanmu. Kau yang selalu hebat, tentu saja. Aku bangga padamu.

Beberapa waktu yang lalu, saat aku ke Jakarta menemui salah satu tante kesayanganmu, aku mendengar kabar tentangmu. Bahwa minum wine telah menjadi bagian dari gaya hidupmu. Bahwa baju-baju minim bahan, telah membuatmu merasa cantik. Bahwa bagimu, pergi haji ke Mekkah tak ada gunanya dibandingkan pergi berlibur keliling Eropa. Bahwa tiap orang harus mengurus urusannya sendiri dan tak perlu memikirkan masalah orang lain.

Masya Allah.... Sesuatu di sudut hatiku begitu sakit dan sedih. Aku tak rela kehilanganmu dan lebih tak rela mengetahui kau telah kehilangan agamamu. Ketika aku menemukan akun facebook-mu melalui profil seorang ponakan, aku memandang fotomu. Kau telah memotong rambutmu menjadi lebih pendek. Lucunya, aku memang selalu mengingatmu dengan gaya rambut seperti itu. Lalu kata demi kata kutuliskan dalam message, sambil membayangkan dirimu saat kecil dulu meneriakkan namaku dengan semangat. Dan begitu aneh rasanya karena sekarang aku harus 'berbicara' padamu dalam bahasa asing dengan grammar yang mungkin acak-acakan. Menanyakan kabarmu, dan bolehkah aku menambahkanmu di daftar pertemananku.

Hingga hari ini kau tak pernah membalasnya. Mungkin kau sibuk karena pekerjaanmu membuatmu sering bepergian antarnegara. Mungkin inbox-mu terlalu penuh hingga pesanku terkubur di dalamnya. Mungkin kau sedang mengingat-ingat tentang aku hingga kau memutuskan untuk menunda membalasnya. Atau mungkin, aku yang tak ada apa-apanya ini telah terhapus dari memorimu yang dipenuhi hal-hal lebih penting.

Ah, Riz.... Meskipun kau telah melupakanku dan menjalani peran asing yang sama sekali tak menyentuh kehidupanku, Tuhan Maha Tahu, aku selalu sayang dan bangga padamu....

24 November 2009

Takut Jatuh Cinta


Udah lama ga nulis soal cinta-cintaan, hihihi....

Kemarin aku iseng membuka file di sebuah folder yang aku beri judul 'gombel.txt' :D Aku udah lupa isinya. Ternyata di notepad itu, aku menulis kata-kata gombal yang aku temukan kalo lagi jalan-jalan di dunia maya, entah dari status pesbuk seseorang atau dari tulisan di blog/situs. Nah, terus.... aku nemu kata-kata ini (lupa dari mana, kalo ada yang merasa punya copyright-nya maaph ya... ^_^)

When I first saw you, I was afraid to talk to you....
When I first talked to you, I was afraid to like you....
When I first liked you, I was afraid to love you....
Now that I love you, I'm afraid to lose you....

Ehm....

Kata seseorang di pesbuk, kalo berani jatuh cinta, harus berani jatuh-bangun, hehehe.... Selalu ada resiko dalam setiap pilihan hidup, termasuk saat kita telah memilih untuk mencintai (wedew, sotoy gini.... Eh, btw, kita yang memilih untuk mencintai atau cinta yang memilih kita, sih? :D). Ketika kita jatuh cinta, siapkah kita jika suatu saat kehilangan dirinya?

Well, terus terang, saat ini aku tidak siap untuk patah hati.... karena itu aku begitu takut menyukai seseorang, meskipun orang itu memberikan begitu banyak perhatian. Gimana kalo dia cuma mempermainkan perasaanku? Gimana kalo aku salah paham tentang perhatiannya? Gimana kalo ternyata dia penuh dengan kebohongan dan aku hanya dianggap salah satu 'ban serep' yang bisa dipakai kapan saja dia butuh atau lagi bermasalah?

Kurasa aku bukan sedang trauma. Aku hanya berhati-hati, itu saja. Bukankah kita harus mengambil pelajaran dari setiap episode yang terjadi dalam hidup?

Eh, malah jadi dilema. Mau 'memupuk' dan membalas perasaan pada seseorang, takut terluka. Paling berat tuh, baris keempat, yang bagian 'Now that I love you, I'm afraid to lose you....'. Tapi, kalo takut terus, kapan dapat pasangannya dunk? Apalagi sepertinya setiap orang dalam keluargaku mulai bertanya-tanya tentang akhir status 'belum kawin' di KTP-ku, hehe... Yang paling getol bertanya kakakku yang nomer tiga dan kakak iparku (suami dari kakak nomer dua). Tiap kali ketemu, pasti soal ini ditanyain, deh.... Untung masih bisa aku jawab dengan santai.

Kurasa, aku jalanin aja deh, let it flow, let it burn (lho? Hihihi...). Iya, asik juga berbunga-bunga kayak ABG lagi :D Kata bosnya Jeng Ucan, sih, asiknya kayak lagi nyetir mobil di tikungan, hihihi....

Kalopun ternyata aku salah mengartikan rasa sayangnya, I guess I have nothing to loose. Aku masih bisa memilikinya sebagai teman (deuuu... basi, ah!). Tapi, beneran deh.... Keberadaan dia merupakan salah satu hal yang membuatku cepat sembuh dari luka hati sebelumnya, selain keluarga dan para sahabat tentunya. Aku dan wewe Linda menyebutnya 'si Pelipur Lara', hahaha.... (coba aja dia tau!). Dan aku bersyukur Allah masih memberiku seorang teman sebaik dia ^_^.

Jadi, aku memang masih takut untuk jatuh cinta. Tapi bukan berarti aku menutup kesempatan untuk 'ditemukan', dunk.... ^_^

28 Oktober 2009

Trekking to Cikuray


Seperti yang udah aku bilang di postingan sebelumnya, acara yang kami rencanakan selalu ga pasti. Ini contoh lainnya.

Sejak dua bulan sebelumnya, kami udah merencanakan untuk trekking ke gunung Merbabu. Udah ngumpulin artikel dan gambar-gambar, cari-cari info rental alat-alat trekking dan operatornya di sekitar Jogja, bahkan udah masang iklan flyer di website. Dua minggu sebelum acara... eng... ing... eng... Kami dikumpulkan di ruang meeting dan pakde bilang ga bisa naik ke Merbabu karena beliau ada meeting di Bandung. Agak susah untuk menempuh Jogja-Bandung dalam waktu cepat karena transportasi yang tersedia hanya jalur darat yang memakan waktu hingga 8 jam. Ada, sih, pesawat Trigana, tapi jadwalnya tidak setiap hari. Dan Pakde mana mau naik pesawat kecil kayak gitu, standar minimal manajer di sini kan Garuda ^_^

Jadi, kami mendadak "pindah gunung" biar pakde tetap bisa ikut. Maka, dicarilah gunung yang relatif dekat dari Bandung. Ibu kota Jabar ini memang dikelilingi gunung, tapi "pendek-pendek", hehe.... Kata pakde, sih, ga menantang ^_^ Pilihan akhirnya jatuh ke kota Garut. Kota ini juga dikelilingi gunung. Ada Papandayan yang terkenal dengan Pondok Salada-nya (padang bunga-bungaan - termasuk Edelweis - di dekat kawah), Gunung Guntur yang tandus dan airnya dimanfaatkan untuk daerah wisata Cipanas serta Gunung Cikuray yang misterius.

Setelah menimbang-nimbang beberapa jam (!), diputuskan kami akan menjajal Cikuray. Gunung mati ini memiliki tinggi 2821 mdpl (kata buku) atau 2818 mdpl (kata wikipedia). Gunung ini merupakan gunung tertinggi keempat di Jawa Barat setelah Ciremai, Pangrango dan Gede. Gunung ini jarang didaki, karena itu jalur hutannya masih rapat. Area kemah di sepanjang jalur juga tidak banyak tersedia. Selain itu, mirip dengan Ciremai yang bentuknya kerucut, di gunung ini tidak tersedia sungai atau mata air. Jadi, perbekalan air harus dibawa dari kaki gunung.

Aku sebenarnya lagi kurang fit, sejak acara workshop di Bandung itu batuk-batuk terus nggak sembuh-sembuh. Asalnya ditambah radang tenggorokan sampai kehilangan suara. Setelah ke dokter, alhamdulillah radangnya sembuh, tapi batuknya betah aja. Awalnya, aku berniat ke dokter lagi sebelum naik. Cuma karena tiap hari lembur jadinya lupa, deh...

So, hari Jum'at tanggal 23 Oktober sekitar jam 7 malam, aku pergi menjemput Yaroh di Bandung. Sebenarnya dia dari Jakarta, sih, cuma kasian juga kalo malam-malam gitu dia naik bis Jakarta-Garut sendirian. Jadilah dia naik travel ke Bandung lalu dijemput di daerah Cihampelas. Selesai makan dan shalat lalu mampir ke minimarket untuk membeli obat-obatan dan kopi panas buat pak sopirnya, kami melaju menuju tol Pasteur dan keluar di pintu tol Cileunyi. Bandung-Garut bisa ditempuh dalam waktu 2 jam aja.

Kami tiba di kota Garut sekitar jam 2 pagi. Harun bilang, meeting point di sebuah rumah makan, melewati "patung singa" di jalan menuju alun-alun kota Garut. Sialnya, kami tersesat. Nanya-nanya sama tukang ojek, sopir elf, penunggu kios, semua kebingungan ditanya soal patung singa ini. Nelpon Harun juga nggak jelas karena dia nggak tahu nama jalannya. Akhirnya kami menelpon Mas Rony dari Kelana Green yang menjadi operator trekking kali ini. Nah, dia juga nggak nyebutin jalan, cuma nyebutin nama daerahnya "Rengganis" (yang ternyata nama penginapan). Padahal kalo aja disebutin nama jalannya "Cimanuk", kami bisa menemukannya dengan mudah melalui GPS yang dibawa Yaroh. Kebiasaan orang Garut kali ya, ga mau nyebutin jalan.... Dan yang menyebalkan, "patung singa" yang disebut Harun ternyata patung harimau (dalam bahasa Sunda = maung), yang menjadi lambang Kodam Siliwangi (patung itu memang terletak di depan bangunan milik militer). Kenapa sih banyak orang ga bisa membedakan singa dan harimau? Meskipun sama-sama kucing besar nan lucu, tapi kan bentuknya beda banget!

Pokoknya setelah bertemu rombongan Mas Rony, kami kembali melaju ke arah Cilawu. Pendakian yang akan kami tempuh berawal di perkebunan teh Dayeuh Manggung di daerah Cilawu. Sempat tidur sebentar di mobil dan bangun untuk shalat Subuh di pos satpam di pintu masuk menuju perkebunan.

Mobil dan bis ditinggal di sini dan kami diangkut dengan L-300 pick up menuju titik awal pendakian di stasiun pemancar televisi (karena merupakan titik tertinggi di Garut, banyak stasiun televisi mendirikan pemancar di daerah ini). Jalannya menanjak, berkelok-kelok dan di beberapa bagian rusak parah.

Anggota Kelana Green mempersiapkan sarapan. Thank God, cowok-cowok itu bisa masak jadi nasi goreng "darurat"-nya enak ^_^ Waktu di Gunung Gede dan Ciremai, rasa nasinya selalu aneh, tapi kali ini tidak. Bahkan waktu di gunung, mereka menumis kornet dengan sosis dan potongan cabe rawit ditambah bumbu mie instan, enak juga! Hehehe....

Trekkingnya belom mulai jadi masih bisa nyengir

Kami mulai trekking hari Sabtu, sekitar pukul 9 pagi. Perjalanan awal melewati perkebunan teh udah bikin ngos-ngosan. Tapi pemandangannya indah dan hijau menyegarkan mata ^_^. Saat sampai ke pintu hutan, kami melihat sejenak ke arah bukit demi bukit yang telah dilewati. Menara pemancar di kejauhan terlihat kecil di antara hamparan kebun teh yang mirip karpet, lucu deh, hihihi....

Jalur awal melewati perkebunan teh udah bikin ngos-ngosan

Awalnya, tumbuhan masih berupa ilalang setinggi dada. Makin ke dalam hutan, pohonnya makin tinggi, rapat dan ditumbuhi lumut. Jalurnya... wuidiiiiih.... ga seperti gunung lain yang menanjak perlahan-lahan, jalur di gunung ini ga pake basa-basi, dari awal aja kemiringannya bisa lewat dari 70 derajat. Aku jadi sering merangkak kepayahan dan akhirnya muntah-muntah dua kali (oops!), hehehe.... Kombinasi antara batuk, masuk angin, kecapekan dan kedinginan :D Untungnya, teman-teman seperjalananku baik-baik. Mereka terus memberiku semangat. Kalo Yaroh, sih, bentuk perhatiannya ngomel-ngomel, hehehe.... Dan aku akhirnya minum tolak angin untuk menghindari omelan tingkat lanjutnya :D

Meskipun lemes, masih bisa gaya dunk ^_^

Menjelang Dhuhur, sering kedengaran gemuruh guntur di kejauhan (eh, ngomong-ngomong soal guntur, Guntur alias Gunle kali ini ga ikut pendakian karena harus memperbaiki laptopnya di Bandung, sekalian pacaran sama Nengnya kali, ya, hihihi.... Yaroh jadi kangen sama tu anak). Kami mempercepat langkah untuk menghindari hujan. Tapi, tak sampai satu jam kemudian gerimis mulai turun. Kami semua cepat-cepat memakai raincoat.

Kata Chippy, aku pake raincoat jadi mirip tukang ojek, bhuhuhu...

Hujan akhirnya turun dengan lebatnya, hiksss.... Jalur yang menanjak itu kini dialiri air hingga jalannya jadi licin. Kami terus melangkah perlahan dan hati-hati, soalnya kalo berhenti malah jadi menggigil kedinginan. Mantap, deh.... Waktu di bawah, Pakde sampai bilang kalo medan Cikuray lebih parah dibanding Gunung Slamet....

Hujannn....!

Hati-hati naiknya, ya!

Tadinya kami berencana berkemah di Puncak Cikuray. Namun, berhubung hujan dan angin dinginnya membuat jemari kami mulai kebas dan mati rasa, akhirnya tenda-tenda didirikan di areal yang dinamakan Puncak Bohong, sekitar pukul 3 sore. Api unggun agak susah dibuat karena kayu-kayunya basah. Tapi, api kecil dan penuh asap itu lumayan membantu menghangatkan telapak tangan. Tidur menggigil dengan sleeping bag di atas matras lembab membuatku semakin terbatuk-batuk heboh, sampai aku merengek pada Yaroh pengen pulang aja. Dan Harun dengan kalemnya menjawab, "Emang siapa yang mau nganterin turun?" Huhuhu.... Karena lemas dan kedinginan, aku jadi ogah naik ke Puncak esok paginya. Apalagi (karena ga bisa tidur sementara Yaroh di sebelahku bisa ngorok), aku nguping pembicaraan Harun dengan cowok-cowok lainnya, mereka ingin melihat sunrise di puncak, jadi trekking ke sana akan dilakukan jam 3 pagi. Hwaaaa.... Tega banget, sih....

Ah, ternyata mereka sepakat naik setelah Subuh. Setelah tidur ayam ga jelas, aku bangun ogah-ogahan jam 5 pagi. Selesai shalat, yang lain udah siap-siap naik. Aku masih mikir-mikir.... Puncak gunung ini sebenarnya salah satu tempat yang ingin dilihat Papaku (Papa selalu penasaran, kayak gimana, sih, puncak gunung yang bentuknya masih kerucut ini). Waktu aku mau pergi, Papa bahkan sampai ngiri pengen ikut, hihihi.... So, aku jadi termotivasi lagi, pengen cerita sama Papa. Apalagi udah sejauh dan secapek ini aku berjalan, udah sakit-sakitan, hujan-hujanan, masa mau nyerah di sini, sih? Tinggal dikit lagi....

Akhirnya, tanpa sarapan, aku berlari menyusul Yaroh cs. Eh, mereka cepet banget hilangnya, huhuhu.... Untung masih ada Mas Agung, Mas Susanto dan Kang Ade (guide dari Kelana Green) yang bersiap naik juga. Aku jadi ngintil-ngintil mereka. Biasanya kalo acara naik gunung gini, Mas Agung & Mas Susanto selalu jadi yang pertama sampai di Puncak. Mereka cepet banget, jalur yang menanjak cukup dilompati hup... hup... dan dalam waktu beberapa menit aja udah nyampe ratusan mdpl, hahaha.... Keberadaanku jelas jadi memperlambat mereka. Tapi mereka santai banget, malah heboh ngasih semangat, ngasih minum dan sekotak susu (gara-gara di tengah jalan lambungku berulah karena lupa sarapan ^_^). Sepanjang jalan aku banyak ketawa mendengar celetukan-celetukan Mas Susanto.

Untungnya jalur dari Puncak Bohong ke Puncak (yang asli, bukan bohong, hehe...) banyak yang landai. Dalam waktu kira-kira 90 menit, kami sudah sampai di atas. Karena gunung mati, gunung ini ga ada kawahnya. Puncaknya sempit, kira-kira hanya seluas lapangan futsal aja, dengan sebuah bangunan kecil bekas tempat pengontrolan menara pemancar (yang sekarang pemancar segede gaban itu udah raib entah ke mana, padahal di blog orang lain masih ada fotonya tuh) menjadi pemandangan ganjil di tepi puncak.


Yaroh nemu bendera rombeng di puncak

Tapi pemandangannya tetep asik. Ada lautan awan di bawah yang bergulung-gulung seperti di Puncak Ciremai. Ada hamparan kota Garut serta asap kawah Gunung Papandayan yang mengepul jauh di seberang. Ada Gunung Guntur yang kemerahan di sisi lainnya. Kabarnya kalo lagi cerah, kita juga bisa melihat batas Pantai Selatan. Namun, sepertinya saat itu Cikuray agak berkabut. Dan anginnyaaaa.... masya Allah, gede banget!!! Juga ga berhenti-berhenti! Brrr.... aku sering mojok berlindung di balik bangunan kecil untuk menghindari terjangan angin dingin. Suara angin yang menerpa pepohonan hutan Cikuray malah terdengar seperti suara ombak ^_^.

Lautan awan di belakang bagus, deh....

Puas berfoto-foto, kami kembali turun. Kali ini, aku jadi semangat lagi. Rasanya semua lelah terbayar lunas melihat pemandangan puncak. Dalam waktu satu jam, kami telah sampai kembali ke Puncak Bohong. Sarapan telah menunggu, yummm....

Setelah membereskan peralatan, kami mulai turun kembali ke bawah. Alhamdulillah cuaca cerah dan jalur ga terlalu licin. Perjalanan turun relatif cepat, hanya sekitar lima jam aja dari Puncak Bohong. Soalnya satu langkah turun aja udah setengah meter sendiri saking jalurnya curam, hehe.... Kalo naik kan lebih capek, kalo turun enak, begitu melihat turunan curam tinggal menggelosor aja kayak anak kecil, hihihi.... Tapi pernah tuh, aku menghindari jalur di pinggir jurang, jadi nekat naik ke cabang pohon yang melintang trus ceritanya mau loncat. Eh, taunya jalan di balik pohon itu lebih rendah dan licin. Jadi terjebak nangkring di pohon sambil merengek ga bisa turun. Yaroh sampe ketawa dengan puasnya. Bukannya nolongin, dia malah sempet-sempetnya ngambil fotoku lagi menderita gitu. Akhirnya aku turun dibantu Kang Ade, hehe....

Terjebak nangkring di pohon

Seru dan melelahkan. Tapi kalo diajakin lagi naik ke Cikuray pas musim hujan gitu, ogah ah.... Mendingan aku tidur guling-guling di rumah aja deh... :p

PS. All photos are courtesy of http://zahrohtul.multiply.com/

12 Oktober 2009

EO yang Selalu Tak Pasti

Tiap kali merencanakan workshop (dan hampir semua kegiatan lainnya), ga pernah tanggalnya langsung fix sekali aja, pasti acaranya mundur dan mundur lagi. Workshop terakhir diundur berkali-kali, tempatnya pun berubah-ubah (yang tadinya akan diadakan di Kuala Lumpur, gara-gara sentimen terhadap Malaysia jadi batal), sampai teman-teman begitu malu untuk menghubungi para pembicara. Secara para pembicara dan chairman itu orang-orang sibuk, beberapa di antaranya malah dari luar negeri. Kalau diundur terus, mereka jadi kesulitan mengatur ulang jadwal. Pengunduran terakhir gara-gara bom di Ritz Carlton-JW Marriot, karena semua pembicara dari luar negeri kena travel warning. Setelah me-reschedule, ditetapkan tanggal 5-6 Oktober field trip ke Pekanbaru, tanggal 7-9 Oktober workshop di Bukittinggi.

Begitulah, kita telah fix menyewa kamar-kamar dan ballroom di The Hills, bus-bus transportasi disiapkan, tiket-tiket Jakarta-Padang dipesan, undangan disebar dan buklet, backdrop serta pernak-pernik lainnya telah naik cetak.... Memang hanya Allah yang punya rencana. Malam hari begitu tersiar musibah gempa di Padang, kami semua jadi terpana....


Pagi-pagi sekali bos membuat keputusan bahwa workshop harus jalan terus hanya tempatnya dipindahkan ke Bandung. Kami jadi sibuk mengubah semuanya. Setelah menghubungi beberapa hotel, diputuskan acara diadakan di Holiday Inn Dago.

Ni hotelnya, ngambil dari web resmi ^_^

Karena mendadak, aku memang belum sempat survey tempat, foto pun tak ada. Maka ukuran backdrop, dekorasi, layout kursi dan segalanya harus bisa dibayangkan menurut denah yang mereka kirim. Dengan membandingkan ruangan di workshop sebelumnya di Jogja, aku memutuskan memesan backdrop ukuran 3x5 meter dua hari sebelum acara. Ingat waktu di Bali, bos rewel banget soal backdrop sampai harus pesan ulang segala. Maka aku juga jadi cerewet biar semuanya sesuai keinginan.

Hari Selasa, aku bertemu sales manager hotel yang mengantarku langsung ke ruang Zamrud yang kami pesan. Begitu melihat ruang, aku jadi sesak nafas gara-gara.... ruangannya kecil banget! Waduh, udah kebayang deh angkara murka Pakde (itu panggilan rahasia kami untuk bos). Bukannya kami pesan tiga ruang zamrud, ya, koq cuma dua? Si sales manager jadi ikutan pucat begitu menyadari bagian banquet hotel telat menerima memo susulan bahwa kami meminta ruang dengan kapasitas 70 orang, sementara yang tersedia hanya untuk 50 orang. Aku jadi pusing tujuh keliling gimana caranya nempatin backdrop yang lebih gede dari luas lantai kamar kosku di ruang sesempit itu. Belom lagi portable screen yang tersedia di hotel ukurannya kecil. Ditambah space untuk coffee break hanya berupa koridor sempit, meskipun jika pintu-pintu balkon yang menghadap kolam renang dibuka, aku tetap sulit membayangkan 70 orang mondar-mandir di situ untuk istirahat.

Setelah aku termenung-menung dan bolak-balik kayak setrikaan ga jelas, sales manager yang cowok dandy plus agak... ehm... (ga enak ah bilangnya) itu menemuiku dengan muka berkeringat. "Aduh say, dirimu membuatku berlari-lari...," katanya sambil melambaikan tangan. Dia rupanya membujuk klien di ruang Berlian yang lebih besar untuk bertukar tempat dengan kami karena peserta mereka berkurang. Alhamdulillah mereka mau.

Begitu melihat Ruang Berlian yang besar, aku langsung lega. Yep! Ga ada masalah. Bagian teknisi hotel juga ternyata bisa menyediakan screen ukuran 2x3 meter. Stage dan mini garden juga ok. Tinggal menunggu pesanan backdrop yang katanya baru bisa diantar jam 9 malam plus layout kursi yang masih diatur pihak banquet hotel.

Aku dan Vira akhirnya pergi ke hotel Utari untuk memesan kamar untuk para mahasiswa. Di jalan, kami sempat membeli donat sebelum kembali ke hotel. Belum sempat dinikmati, Vira memberi tahu, mobil Pakde sudah datang dengan membawa berkardus-kardus tas ransel untuk souvenir workshop. Setelah meminta bell boy untuk menyimpan tumpukan tas di kamarku, kupikir aku bisa istirahat sejenak. Nyatanya Vira kembali memberi tahu rombongan Mbak Muti dan Mas Erwin hampir tiba dari Cirebon dengan membawa banyak peralatan, terutama screen tambahan.

Aku kembali turun ke lobby dan menemukan Vira sedang negosiasi dengan fotografer acara. Rombongan Mbak Muti yang ditunggu malah tak kunjung tiba. Saat kuhubungi, ternyata mereka lagi nyangkut makan malam di mal BIP. Dasar! Sekalian aja aku pesan satu porsi, hehehe.... :p Saat mereka tiba, kami akhirnya kembali menyibukkan diri di Ruang Berlian. Rombongan Harun, Gunle dan Mas Santoso menyusul tak lama kemudian.

Dan, seperti biasa, saat Pakde meninjau ruangan, segalanya berubah drastis.

Pertama, layout kursi yang tadinya diset 10 orang dalam satu baris, diminta jadi hanya 6 orang saja. Sebelumnya, aku sempat meminta 8 orang dalam satu baris, tapi pihak banquet hotel keberatan karena mereka kehabisan meja. Memang lagi musim rapat kali, ya, semua ruang meeting hotel fully booked. Makanya, permintaan Pakde satu ini bikin aku pengen pulang tidur di rumah aja saking pusingnya.

Kedua, screen tambahan yang dibawa dari Cirebon ternyata besarnya na'udzubillah.... 3x4 meter! Mas dari teknisi hotel sampe nahan nyengir sambil berbisik padaku, seumur-umur baru kali itu dia lihat klien bawa screen segede itu. "Kayak mau nonton layar tancep," katanya. Kebayang, deh, tu screen saingan sama backdrop. Lebih parah, malah, karena tinggi screen ditambah penyangganya hampir menyentuh langit-langit. Menggesernya harus hati-hati karena ruangan dilengkapi banyak kandelar kristal yang harganya ampun-ampunan.

Aku dan Mas Erwin (juga pihak hotel) sudah menyarankan untuk 'mengorbankan' screen itu dan menggantinya dengan screen 2x3 meter seperti yang telah disediakan. Pakde menolak mentah-mentah. Maka, semua layout ruang plus dekorasi (termasuk mini garden) harus diobrak-abrik lagi demi si screen raksasa bisa nampang di ruangan. Rasanya pengen jungkir balik, deh, biar semua darah mengalir ke otak :p

Ketiga, ejaan tema workshop di backdrop ternyata ada yang salah. Waduh, padahal aku udah berulang kali mengecek tulisannya, koq bisa-bisanya salah. Kayaknya otakku memang perlu di-restart. Setelah diakali dengan tempelan guntingan bahan backdrop, tulisannya jadi kelihatan menyedihkan, meskipun ga kentara, sih. Orang harus benar-benar memperhatikan sebelum menyadari ada tempelan aneh di backdropnya.

Keliatan, ga, salahnya?


Untungnya kali ini buklet tak ada masalah. Tapi, teteppp... aku baru makan malam lewat jam dua belas dan kami baru bubar jam 3 pagi. Gunle malah sempat-sempatnya bermimpi pas ketiduran di meja Ruang Berlian sampe susah dibangunin, hehehe.... Para petugas banquet hotel dan pemasang backdrop sampai geleng-geleng kepala mengikuti keinginan Pakde yang cerdas dan perfeksionis itu. (Jangan kapok, yaaa... :p)


Akhirnya layout ruang jadi seperti ini. Liat screen-nya, dunk! ^_^

Alhamdulillah, meski ketegangan tetap hadir, namun semua berjalan lancar. Meski kurang tidur, namun kami semua bisa makan enak sepuasnya di hotel hingga kebutuhan gizi tetap terpenuhi, hihihi.... Plus, pembicara dari GeoMechanics Australia yang cute bangedh.... Wajah Spanish-nya itu, lho, ga kalah sama Fabregas, deh, hehehe.... Duh... duh.... sampe peserta dan usher aja ada yang minta futunya.

Bikin betah ikut acaranya, ya? ^_^

Makasih buat semuanya.... Well, semoga ini bukan workshop terakhir yang bisa kami selenggarakan....

07 September 2009

I Just Wanna Jump!


Aku sedang berada dalam zona tak nyaman. Uff... Diserang kejenuhan luar biasa terhadap berbagai hal dalam hidup. Apapun yang terjadi rasanya garink dan tak menarik lagi. Hari-hari berlalu tanpa ada yang istimewa.

Dalam keadaan seperti ini aku jadi lupa untuk bersyukur. Saat gempa terjadi, aku hanya bengong, melihat monitor dan lantai 3 tempatku berpijak bergoyang-goyang aneh. Lalu berceloteh seru dengan 'penduduk' kantor yang lain, dilanjutkan dengan merutuk dalam hati karena bos mengadakan rapat, membahas website dan rencana workshop beberapa saat setelah gempa terjadi (heran... kayaknya biar badai menghadang pun rapat harus tetap jalan, ya?)

Saat membaca status-status dan komentar teman-teman di facebook yang pada panik dan semua bersyukur karena masih diberi kesempatan hidup, aku jadi bingung... Sebegitunya ya? Lalu tersadar kalau aku belum mengucapkan hamdalah sama sekali dari tadi. Tapi beneran, deh... Meskipun goncangannya lumayan ajib, aku sama sekali tak merasa ketakutan. Mungkin karena aku pernah mengalami gempa yang lebih hebat di Jogja tiga tahun yang lalu, jadi kali ini tidak begitu panik. Ah, bahkan musibah seheboh itu pun terasa garink bagiku....

Aku jadi sedih sendiri, bertanya-tanya, aku ini kenapa sih?
Setiap hari kerjaanku hanya tidur dan tidur. Aku bahkan jadi susah bangun pagi. Harusnya udah ada di kantor jam 7 pagi, ini malah baru bangun.... Luar biasa bosan, tapi juga terlalu malas untuk melakukan apapun. Ujung-ujungnya jadi melamun lagi.... Memikirkan yang telah lalu dan sakit hati yang diakibatkannya yang tak kunjung sembuh. Ah, tuh, kan, mellow lagiiii....

Bahkan kegiatan menulis yang dulunya jadi pelarian menyenangkan jadi terasa membosankan juga. Pensil udah di tangan, kertas bersih terbuka di atas meja, ide berputar-putar di kepala, tapi hanya sanggup menghasilkan satu alinea dalam waktu berhari-hari....

Suasana baru jelas merupakan jawaban dari kebosananku. Dulu, waktu masih jadi mahasiswa, kalo lagi jenuh, aku sering 'mengutak-atik' kamar kosku. Dicat ulang, ganti rak, ganti posisi, tambah ini-itu. Ah, jadi teringat lagi dengan keinginanku yang belum tercapai: pengen jadi desainer interior! Hehehe... Aku bahkan googling dan 'mengintip' website kampus-kampus yang memiliki jurusan ini. Tapi, mengingat umurku yang udah uzur, masih pantas gitu ya jadi mahasiswa S-1?

Pengennya sih, segampang di pilem-pilem.... Begitu jenuh, patah hati, lari ke luar negeri, ketemu orang-orang baru, tantangan baru, pekerjaan baru, sekolah lagi, trus ketemu soulmate, hehehe... Asik ya kalo masalah hidup bisa selesai dalam durasi 100 menit ^_^

Jadi inget lagu dari Simple Plan, band favoritku, yang judulnya 'Jump' (herannya lagu-lagu mereka selalu mewakili cerita hidupku).

I dont wanna wake up today
Cause everyday's the same
And I'd been waiting so long
For things to change
I'm sick of this town
Sick of my job
Sick of my friends 'cause everyone's jaded
Sick of this place, I wanna break free
I'm so frustrated, I just wanna Jump! (Jump!)
Hmm.... Ada ide aku harus ngapain?

13 Agustus 2009

Tracing the Greatness of Ciremai Mt. (3078 M dpl)

Gunung Ciremai....

Siluet yang menjulang tinggi kebiruan itu selalu terlihat dari jendela kantor. Kadang puncaknya diselimuti kabut, kadang bentuknya terlihat sempurna di hari yang cerah dan panas. Siluet itu bagiku seperti sosok raksasa yang diam dan penuh misteri. Rasanya aneh karena di sekitarnya sama sekali tak ada gunung tinggi, hanya laut Jawa dan perbukitan rendah. Tapi, ia berdiri di sana, menyandang gelar sebagai gunung tertinggi di Jawa Barat.

Jum'at malam, aku berangkat menuju tempat berkemah di Curug Muara Jaya, Kabupaten Majalengka. Hati bahkan sempat ragu untuk ikut naik. Tubuhku rasanya kurang fit gara-gara lembur terus. Tapi, entahlah.... Ada begitu banyak dorongan untuk menaklukan gunung ini. Maka, dengan semangat dan stamina yang tersisa, aku tekadkan akan sampai di puncaknya, meskipun harus merangkak.... Aku tahu aku bisa!

Begitu sampai di pelataran parkir.... Busettt... Ternyata perkemahannya di siapkan ratusan meter di bawah, sedikit lebih rendah dari kaki air terjun. Untuk sampai ke sana, kami harus menuruni begitu banyak anak tangga di kegelapan malam. Membayangkan esok pagi harus dimulai dengan 'pemanasan' menaiki anak-anak tangga lagi untuk sampai ke parkiran mobil sedikit membuat perutku mulas... Ayolah, ini bahkan bukan merupakan bagian dari jalur pendakian, masa harus tepar duluan, nih....

Sambutan berupa minuman hangat dan ayam serta ikan gurame bakar cukup membuat hati kembali tenang, hehe... Agak mengecewakan, sih, soalnya aku membayangkan kami akan membakar ayam dan ikan bersama-sama di api unggun. Tapi, tak apa lah, mungkin crew-nya mengira kami akan terlalu lelah jadi makanannya sudah disiapkan duluan. Setelah makan dan sedikit mengobrol, mayoritas peserta memilih langsung tidur di tenda masing-masing. Aku dan Harun masih harus menunggu rombongan dari Jakarta yang keretanya baru tiba di Cirebon sekitar pukul sebelas malam karena keberangkatannya terlambat dari jadwal (Indonesia gitu lho... ^_^). Harun naik lagi ke tempat parkir untuk menyambut mereka, sementara aku menunggu di dekat api unggun untuk mengusir udara dingin. Saat berbaring, langit malam begitu bersih dan biru, dengan purnama bersinar terang di atas pucuk-pucuk pohon. Begitu sunyi....

Lewat tengah malam, barulah terdengar gemerisik suara rombongan menuruni tangga di kejauhan. Begitu mereka menyebrangi jembatan sungai, aku nyaris melompat senang karena mendengar suara tawa Yaroh, sobatku, di antara mereka. Hampir saja ia membatalkan rencana ikut pendakian karena ada meeting di Bogor. Ternyata di saat-saat akhir, rapatnya dibatalkan hingga ia langsung meluncur dari kantor menuju Cirebon. Okay, akhirnya aku bisa masuk tenda dan tidur sampai pagi....

Sarapan berupa tumis buncis dan bakso menjadi 'bahan bakar' untuk memulai perjalanan pagi menuju Air Terjun Muara Jaya. Cantik.... Tapi sayang, kami tak bisa menikmatinya berlama-lama agar bisa sampai di Goa Walet tepat waktu.

Aku dan Yaroh di depan air terjun atas


Aku dan Zem di depan air terjun bawah yang lebih rendah

Maka, kami terus naik ke atas, tempat dua mobil pick-up sudah menunggu untuk mengantarkan kami ke Pos pendakian pertama yang bernama Blok Arban (1.614 mdpl). Wuiiiih... jalan yang dilalui mobil ternyata begitu mengerikan. Jalanannya sempit, terjal dan berbatu-batu. Sepanjang jalan kami tertawa-tawa sambil menahan sakit karena terguncang-guncang tanpa henti.

Zem, Yaroh dan aku masih sempat narsis di tengah guncangan mobil ^_^


Karena jalannya jelek, mobil depan dua kali mogok

Ngeri juga, sih, kalo seandainya mobil tiba-tiba mogok dan mundur, jurang yang dalam siap menelan kami. Tapi, ada yang lucu.... Di dekat Blok Arban (yang nyata-nyata daerah kaki gunung agak terpencil), ternyata ada perkampungan warga yang padat. Saking padatnya, mobil harus melalui gang-gang kecil seperti di Bandung. Kami nyaris tak percaya kalau kami tengah berada di gunung....

Dari Blok Arban, kami mulai mendaki menuju pos kedua bernama Simpang Lima (1.915 mdpl). Oh, iya, jalur yang kami lalui dinamakan jalur Apuy yang panjang lintasannya menuju puncak Ciremai sekitar 6,9 km. Tak ada yang istimewa dari perjalanan menuju pos ketiga (Tegal Wasawa-2.400 mdpl) dan pos keempat (Tegal Jamuju-2.600 mdpl). Jalurnya berupa jalan setapak menanjak diapit semak-semak dan pepohonan hutan.

Dari pos empat ke pos lima, barulah tanjakannya mulai 'menggila'. Aku sempat berjalan sendirian karena tertinggal dari grup depan, sementara grup belakang belum sampai. Di suatu rekahan tanah, aku harus melompat dan terjatuh. Hufff... nyaris saja aku merosot ke jurang. Alhamdulillah masih sempat berpegangan pada batu dan akar. Dengan jantung masih deg-degan, aku memasuki jalur yang mirip terowongan terbentuk dari semak-semak tinggi di kiri-kanan yang seolah menyatu menjadi kanopi jalan. Hiii... aku sempat ragu, jangan-jangan aku tersesat. Akhirnya aku memutuskan menunggu grup di belakangku. Begitu mereka sampai, aku lega dan melanjutkan perjalanan.

Di tanjakan-tanjakan tertentu, aku harus merayap saking curamnya (dan saking lelahnya ^_^).
Di pos kelima (Sang Hyang Rangkah-2.800 mdpl), barulah aku bertemu kembali dengan grupku (Harun, Gunle, Yaroh, Zem, Acos dan Senky). Zem akhirnya menawariku untuk membawakan ransel agar aku bisa berjalan lebih cepat, gantian dengan Acos. Senangnya, hehe... ^_^ Tapi tetap aja, tanpa beban di punggung pun, jalanku tetap paling lambat di antara mereka....

Tanpa ransel, tetep kecapekan...

Menuju pos enam (Goa Walet-2.950 mdpl), tanjakannya ruarrrrr biasa.... berupa bongkahan batu-batu besar yang kemiringannya (menurutku) sekitar 70 derajat. Ampunnnnn.... tanjakan setan Gunung Gede lewat dah!!! Di atas pertemuan jalur Apuy dan Palutungan, kita bisa melihat lautan awan dengan matahari mulai terbenam ke dalamnya. Oh, God, indahnyaaaaa.... ^_^


Pertemuan jalur Apuy dan Palutungan


Aku dan Yaroh di depan lautan awan dan sunset

Saat metahari benar-benar tenggelam, udara mulai dingin dan aku mulai menggigil. Waduh, gawat! Jaket tebalku dititipkan pada porter. Dan para porter ga tau baru nyampe mana... Zem akhirnya meminjamkan jaket tebalnya padaku (kasihan, padahal dia sendiri cuma memakai sweater tipis). Kami bergegas turun menuju Goa Walet sambil menunggu yang lain. Beruntung, kami bertemu dua orang anak SMA yang menginap di sana. Kebaikan mereka membantu membuatkan api unggun menyelamatkan kami dari kedinginan (or worse, hipothermia, hiii....)

Handy Talkie yang dibawa Harun ternyata baterainya hampir habis. Jadinya kami hanya bisa mendengar tapi tak bisa menjawab. Dalam keadaan kalut dan menggigil, kami 'merapatkan barisan', duduk berdempetan di depan api, sambil mendengarkan seorang crew yang menyebalkan dan sok tau berkata, "Yang sudah sampai di pos enam ada berlima, dan jangan khawatir, Pak Harun sudah terlatih..." Apaaaa? Ada aku dan Yaroh, cewek-ceweknya ga dihitung! Dan terlatih apa? Kami sama sekali tak punya perbekalan berkemah, hanya makanan dan minuman seadanya serta baju ganti karena semua sudah dijanjikan ditanggung crew.


Tak lama, rombongan peserta lain menyusul sampai di Goa Walet. Bapak-bapak dari kampung daerah gunung Ciremai datang membawakan empat matras, dua buah tenda dan sekarung air mineral botol. Mereka juga membantu mencari kayu bakar agar api bisa bertahan semalaman. Ah, malaikat penolong! Sayangnya, dengan keterbatasan senter (cuma ada dua), tak ada yang berhasil mendirikan tenda dome karena tak ada yang mengerti....


Kami hanya bisa menunggu... Tapi yang ditunggu tak kunjung datang. Crew DPS yang seyogyanya bertanggung jawab dalam logistik perjalanan ini hanya sanggup sampai di pos lima dan memutuskan berkemah di sana! Halooooooo.... Para peserta sudah terdampar di Goa Walet yang dinginnya luar biasa (kata orang sana suhunya bisa sampai minus satu derajat Celcius!), tanpa tenda, matras, sleeping bag dan makanan memadai! Tubuhku, meski sudah memakai jaket dobel, masih saja tak bisa berhenti gemetaran menggigil sampai Yaroh memelukku dengan khawatir. FYI, aku memang lebih suka udara panas daripada dingin (karena itu aku bisa betah di kota-kota 'hangat' seperti Jogja dan Cirebon ^_^).


Akhirnya lewat tengah malam, Harun dan Acos memutuskan turun kembali ke pos lima. Katanya Harun udah emosi jiwa, sampai adu mulut di sana. Crew DPS mengaku kelebihan beban hingga mereka tak sanggup mendaki lagi (lho, harusnya kan mereka udah memperhitungkan jumlah beban dan jumlah orang sebelumnya?). Tapi, akhirnya beberapa crew bersedia naik dan sampai di Goa Walet sekitar jam 4 pagi. Mereka akhirnya mendirikan tenda dan memasak sarapan.


Suasana di Goa Walet setelah malam penuh penderitaan

Pagi hari, kami melanjutkan perjalanan ke puncak. Sebenarnya beberapa peserta (termasuk aku) udah drop semangatnya gara-gara kejadian semalam, apalagi jalur bebatuannya makin terjal. Tapi sayang, udah sejauh itu, masa harus menyerah? Tinggal sedikit lagi! Dan alhamdulillah... sampai juga! Yihaaaaa....


Acos, Zem, Gunle dan Senky di tanjakan batuan menuju puncak


Aku dan grupku (+ Mbak Lilis) di Puncak Ciremai

Setelah puas berfoto-foto, kami mulai turun melalui jalur Palutungan. Jalur ini lebih panjang ( 8,4 km) tapi lebih landai. Meski kaki mulai pegal-pegal, aku berusaha terus berjalan... Kapok, deh, berjalan di hutan malam-malam kayak dulu lagi. And guess what??? Lensa kontakku ilang sebelah lagi! (Bhuhuhu... hobi apa doyan, sih? Dasar ceroboh!) Makanya aku berusaha sampai di Palutungan sebelum maghrib, kalo nggak, aku harus dituntun kayak orang buta, hiks....
Sebenarnya ada cerita-cerita mistik selama perjalanan ini (untungnya aku nggak mengalami yang aneh-aneh), seperti peserta dan porter yag disesatkan jalannya hingga berputar-putar ke tempat itu-itu lagi, suara aneh yang terus mengikuti rombongan dengan gemerisik ranting patah (tapi makhluknya ngga keliatan), wah ngeri, deh! Tapi karena aku nggak mengalami itu, sebaiknya nggak dibahas, ah... Tatut... Hehe....