Wilujeng Sumping...

Ini blog seorang mida, yang -seperti manusia lainnya- punya banyak kisah dan masalah untuk diceritakan dalam perjalanan hidupnya. Silakan masuk, duduk di mana aja dan baca-baca sesuka hati. Mau teh atau kopi? ^_^

15 Mei 2009

Cinta Atau Sayang?



Kemarin Mimi bertanya padaku, "Milih mana, Nok, cinta atau sayang?"

Tanpa pikir panjang, aku menyahut, "Sayang!"
Mimi mengangguk. Sebenarnya aku sudah tahu alasannya, tapi tetap kutanyakan lagi, hanya untuk menghilangkan rasa penasaran, "Emang bedanya di mana, Mi?"

"Cinta itu bisa habis," jawab Mimi dengan mata menatap ke kejauhan. "Daripada cakep tapi cintanya cepat habis, mending yang jelek tapi sayang...." Aku terkekeh mendengarnya. Ya, aku telah belajar, jauh sebelum aku bertemu dengan sosok ibu yang kupanggil Mimi, bahwa cinta memang bisa luntur dan akhirnya habis. Tapi rasa sayang, menurutku, nyaris tak berbatas dan abadi....

Kisah cinta Mimi adalah salah satu buktinya. Suami pertama Mimi meninggal karena kecelakaan, beberapa hari setelah Mimi melahirkan putra pertama mereka. Aku membayangkan (biassaaa... drama queen gitu loh! Hehe...), Mimi muda pastilah amat menderita karena tiba-tiba kehilangan 'pegangan'. Hampir seluruh harta benda diambil oleh pihak keluarga almarhum suaminya (yang menurut Mimi memang tidak pernah menyetujui pernikahan mereka), padahal bayi yang baru lahir jelas membutuhkan biaya banyak. Untunglah masih ada simpanan kalung yang tersisa. Dengan modal itulah Mimi berjualan rujak.

Ternyata datang seorang laki-laki yang menyayangi Mimi dan putranya. Mulanya Mimi tak memiliki perasaan apapun padanya. Namun, kebaikan hati laki-laki itu meluluhkan hati Mimi, dan itu bukanlah cinta. Semuanya berawal dari rasa iba yang tumbuh menjadi sayang. Lihatlah, pernikahan mereka tetap awet hingga usia senja. "Kayak kakak-ade," tambah Mimi tersenyum.

Sedangkan pasangan yang mulanya dilanda cinta menggebu, dalam hitungan tahun, bahkan mungkin bulan, tiba-tiba berpisah seolah perasaan berbunga-bunga yang dulu pernah ada menguap begitu saja tanpa jejak.

Iya, cinta akan mempermanis sebuah hubungan, tentu saja. Hampir semua pasangan yang ada di dunia mengawali kisahnya dengan rasa cinta dan itu sungguh indah. Tapi, lagi-lagi menurutku, perekatnya adalah sayang. Dengan rasa sayang, setiap pasangan akan bertahan, menerima, memaafkan dan menumbuhkan lagi kebahagiaan. Di atas kebahagiaan itu akan tersemai kembali rasa cinta. Ketika cinta mulai jenuh dan membeku, rasa sayanglah yang akan membuatnya kembali penuh dan hangat.

Andai saja... Andai saja ada seseorang yang mampu mencintaiku dan mengikatku dengan rasa sayang seperti itu. Dan andai aku mampu mencintai dan menyayanginya dengan cara yang sama...

Sudahkah kalian menemukannya? :)

Sumber foto: lupa, euy! :D

11 Mei 2009

Inilah Jalan yang Kupilih!

Banyak yang bingung dengan jalan pikiranku, beberapa mengatakan mereka tak bisa memahamiku. Padahal, begitu sederhana sebenarnya. Hidup hanya sekali, jika kita menjalaninya dengan sebuah keterpaksaan, tak sesuai kata hati, kita tak akan memiliki kesempatan untuk mengulang hidup dari awal lagi. Ya, kadang kita memang perlu berkompromi dan melakukan sesuatu yang tak sesuai keinginan demi kebaikan yang lebih besar, tapi ada kalanya kita harus bertindak ekstrim untuk meraih yang dicita-citakan. Dan cita-citaku mudah saja: aku ingin bahagia dengan caraku.

Itulah yang mendorongku meninggalkan kuliahku di sebuah perguruan tinggi yang (mungkin) merupakan Institut Terbaik Bangsa. Aku telah berusaha menjalaninya selama tiga tahun dan selama itu pula aku tertekan. Mulanya, seperti banyak remaja sekolah lainnya, aku kadang memang masih plin-plan menentukan pilihan. Ingin menjadi sinematografer (karena keliatannya keren :p), desainer interior, dokter hewan, hehe... namun tak sekalipun terbersit keinginan menjadi engineer. Ketika mengatakan keinginanku untuk sekolah sinematografi di Jakarta, orang tuaku keberatan dengan biayanya yang, untuk ukuran keluarga pas-pasan seperti kami (pas butuh pas ada, hehe...), teramat mahal.

Akhirnya aku disarankan masuk perguruan tinggi negeri yang biayanya lebih murah (zaman angkatanku, biayanya masih di bawah Rp 500.000,00/semester!). Dengan memilih jurusan yang tidak banyak saingan (satu-satunya PTN yang memiliki jurusan itu hanya ada di Bandung) dan kesempatan mendulang dollar jika diterima bekerja di perusahaan asing, aku bisa sekolah lagi di sekolah manapun dengan uangku sendiri.

Itulah kesalahan pertama yang kubuat. Aku kuliah disana tidak dengan niat untuk meraih ilmu dan mengamalkannya. Aku hanya melihat iming-iming materi yang bisa kuperoleh jika aku lulus dari sana. Akhirnya, aku jadi merasa terjebak dalam ironi. Untuk pertama kalinya, aku takut menjadi kaya. Aku banyak menemukan orang-orang yang sukses secara materi menjadi kurang sensitif dengan kehidupan 'kelas bawah', betapa orang-orang kaya semakin sibuk dengan kekayaannya, semakin tak mengenal kaum miskin yang sebagian rezekinya dititipkan pada mereka. Betapa mereka memiliki rumah indah, anak-anak yang lucu, tapi banyak ditinggalkan demi tuntutan pekerjaan. Apa yang sebenarnya mereka kejar dengan gaji setinggi itu?

Hal ini diperparah dengan minatku yang lebih cenderung ke arah seni (meskipun tidak berbakat ya, tolong dicatat :p) dan benci setengah mati pada Fisika. Dosen-dosenku mungkin heran, soalnya pas ujian, kadang aku tak mengerjakan jawabannya, malah sibuk menggambar kucing, hihihi.... Aku masih bisa menikmati Matematika, tapi merasa nggak punya urusan dengan Bernoulli, Darcy, atau tetek bengek sumur pemboran :D

Harus kutekankan, aku tidak mengatakan bahwa semua yang kudapatkan di sana itu buruk. Sama sekali tidak. Aku bisa bertahan kuliah di sana selama tiga tahun karena aku memiliki teman-teman yang teramat baik (love them so much!) dan lingkungan yang menyenangkan. Hanya saja, aku merasa itu bukan jalanku. Sepertinya, aku salah belok jadi harus memutar untuk mendekati tujuanku. Masalahnya, tujuanku apa, sih?

Setelah banyak berpikir (dengan IQ jongkokku, hehe...), aku menyimpulkan bahwa aku paling senang dengan kreativitas menggambar dan menulis. Jadi, aku mulai mengintip-intip jurusan yang berkaitan dengan itu. Untuk ikut SPMB, umurku sudah expired :'( Untuk masuk ke jurusan seni, tidak cukup berbakat. Untuk masuk ke PTS bergengsi, tak kuat biayanya. Akhirnya aku menemukan sekolah (yang sekarang jadi almamaterku ^_^) di Jogja. Dengan biaya relatif terjangkau, biaya hidup lebih murah dan yang paling penting, konsentrasi kuliahnya adalah desain grafis dan multimedia periklanan.

Jadi, begitulah. Dengan 'menutup kuping' dan meneguhkan diri menerima semua resikonya, aku meninggalkan kampus megah bereputasi tinggi menuju sebuah kampus tak dikenal di Kabupaten Sleman (hihihi.... maaph kalo perbandingannya terlalu merendahkan... *peace*).

Dan inilah lucunya (sampai-sampai Jeng Yaroh menertawakanku dengan puas), ujung-ujungnya aku mendarat dan bekerja di sebuah tempat ber-'minyak', bertemu dengan senior-senior dan teman-teman kampusku yang dulu, tapi yang kukerjakan seputar grafis, ikut mengelola content web dan menulis di blog. So weird how destiny had brought me here, but so grateful for that ^_^

Kejadian-kejadian itu membuatku lebih memahami dan mudah menerima saat seseorang menentukan pilihan yang tidak sesuai dengan harapan banyak orang. Gelar sarjana tapi hanya jadi ibu rumah tangga, why not? Profesi seorang ibu adalah yang paling rumit sekaligus mulia. Lulus dari kampus terkenal tapi memilih menjadi aktivis mesjid, kenapa harus dicibir? Setiap orang punya hak untuk berbahagia dengan pilihannya, selama pilihan itu tidak menyalahi aturan. Toh, dalam Islam, yang paling penting adalah sejauh mana seseorang itu bermanfaat bagi orang lain di sekitarnya, bukan sehebat apa jabatan dan kekayaannya. Betul? ^_^

08 Mei 2009

Isengku....






Sebenarnya gambar-gambar ini udah aku taro di FS. Tapi mana tau ada lewat blog ini trus suka, silakan ambil aja.... But please... kalo mau ambil bilang dulu ya, gratis koq, hehe... ^_^

Untuk melihat ukuran aslinya, tinggal klik aja di bagian gambarnya, ok?

07 Mei 2009

Klub Patah Hati

Hehehe... Mentang-mentang lagi patah hati gitu ya, trus bacaannya begini... :">

Well, nggak juga sih... Sebenarnya buku satu ini udah selesai kubaca berbulan-bulan yang lalu. Lucu aja pas nemu buku ini terpajang di rak toko, judulnya itu lho, bikin aku nyengir... Tapi ternyata isinya lebih serius dari yang kuduga, meskipun bahasanya tetep bergaya chicklit dengan umpatan-umpatan British style seperti 'Bloody h*ll!!!' (Ooops!) Ga nyangka sekarang malah jadi bahan referensi, hihihi....

Saat kita terbiasa dengan kehadiran seseorang yang kita sayangi, pasti akan terasa aneh ketika tiba-tiba dia dan segala yang berkaitan dengannya menghilang. Diperlukan waktu untuk menangis, memaafkan, dan beradaptasi dengan situasi yang baru. Mungkin ada benarnya ungkapan bahwa waktu akan menyembuhkan segalanya.... Ya, tapi pertanyaannya, bagaimana dan berapa lama?.

Rebecca baru putus dengan Patrick, pacar yang teramat dicintainya. Rebecca merasa baik-baik saja dan ia pikir wajar jika ia membutuhkan waktu beberapa lama untuk 'masa berkabung'. Tapi Davey, sahabatnya, menilai Rebecca sudah keluar jalur karena setelah tiga bulan, rumah dan kamarnya telah menjadi kuil pemujaan dengan foto Patrick dipajang dimana-mana lengkap dengan lilin-lilin dan bergelas-gelas anggur merah yang diminum Rebecca sambil menangisi mantan kekasihnya itu. Tak hanya itu, Rebecca juga selalu melihat 'hantu Patrick'. Setiap ia melihat pria berambut panjang dikuncir, Rebecca akan berusaha mengejarnya, sebelum akhirnya ia sadar bahwa pria itu bukanlah Patrick.

Terinspirasi dari Alcoholic Anonymous yang diikuti Davey (ia mengaku menjadi pecandu alkohol setelah putus dari kekasihnya, Jenna), Davey mengusulkan dibentuk Exes Anonymous, perkumpulan untuk orang-orang yang berusaha sembuh dari luka patah hati. Bersama Daisy (sobat karib Rebecca yang pirang, langsing dan cantik tapi selalu disia-siakan pria), serta Finn (atasan Rebecca yang pacarnya direbut kakaknya sendiri), mereka mengiklankan klub Exes Anonymous dan menyaring anggota-anggota yang akan melakukan pertemuan rutin seminggu sekali.

Mulanya mereka bingung dengan program kegiatan klub ini hingga isinya hanya sesi bercerita, mengeluarkan uneg-uneg tentang mantan masing-masing (lengkap dengan sumpah serapah kalau perlu :D) lalu dikomentari yang lain. Tapi seiring waktu, mereka menemukan cara untuk saling menguatkan, bersama-sama melewati tahap demi tahap penyembuhan luka patah hati, berpikir lebih positif serta berusaha meraih cinta yang baru.

Hm... ide yang unik sebenarnya karena bagi beberapa orang, akhir sebuah hubungan dianggap sebagai akhir dunia. Lebih gawat lagi jika hal itu terjadi, kita malah jauh dari DIA, Sang Pemilik Cinta itu sendiri hingga berbuat hal-hal nekad yang kadang tidak masuk akal dan dilarang agama. Dengan adanya klub dengan kegiatan positif seperti ini, bisa jadi banyak orang yang bisa terbantu masalahnya.

Sejauh ini, alhamdulillah aku merasa baik-baik aja, meskipun masih suka mellow dan lebay, mengasihani diri sendiri, males-malesan sambil ngelamun, kamar kayak sarang tikus dan selera makan menurun drastis... (bagus juga jadi ga perlu diet, hehe...), but I know I'll be fine...

Hari ini, cukup sudah masa berkabungnya!

04 Mei 2009

You're the Result of Yourself

by Pablo Neruda

Don't blame anyone, never complain of anyone or anything

Because basically you have made of your life what you wanted.

Accept the difficulties of edifying yourself

And the worth of starting to correct your character.

The triumph of the true man arises from the ashes of his mistakes.

Never complain of your loneliness or your luck.

Face it with courage and accept it.

Somehow, they are the result of your acts and

It shows that you'll always win.

Don't feel frustrated of your own failures, neither unload them to someone else.

Accept yourself now or you'll go on justifying yourself like a child.

Remember that any time is good to start

And that no time is so good to give up.

Don't forget that the cause of your present is your past,

As the cause of your future will be your present.

Learn from the brave, from the strong,

From who doesn't accept situations

From who will live in spite of everything.

Think less of your problems and more of your work.

Learn to arise from your pain,

And to be greater than the greatest of your obstacles.

Look at the mirror of yourself and you'll be free and strong

And you'll stop being a puppet of circumstances.

For you yourself are your destiny.

Wake up and stare at the sun in the mornings and breathe the sun of dawn.

You're part of the strength of your life now,

Rise up, fight, walk, be sure and you'll win in life.

Don't ever think of 'fate'

For fate is the excuse of failures.