Wilujeng Sumping...

Ini blog seorang mida, yang -seperti manusia lainnya- punya banyak kisah dan masalah untuk diceritakan dalam perjalanan hidupnya. Silakan masuk, duduk di mana aja dan baca-baca sesuka hati. Mau teh atau kopi? ^_^

28 Desember 2009

Si Aneh yang Selalu Hepi!

Hola!!! (lagi seneng nyapa orang dengan kata ini, padahal jarang nonton Dora :D)

Aku lagi pengen membuka aib sendiri, heuheu.... Soalnya... well, kalo kamu mengenal seorang mida, kelihatannya sih biasa-biasa aja, padahal.... Ewwwwwhhh, banyak banget keanehanku yang kadang bikin aku merasa aneh (Nah, udah aneh, merasa aneh, jadi aneh kuadrat dunk!). Ini dia:

Suaraku kayak anak kecil

Apalagi kalo di telepon. Jaman sekolah dulu, sebelom HP jadi bawaan wajib, aku dan teman-teman sering ngerumpi pake telepon rumah. Pertama mendengar suaraku, biasanya mereka shock dulu, atau ketawa sampe sakit perut, soalnya katanya suaraku mirip boneka Susannya Ria Enes (btw, kemana dia sekarang, ya?). Aku sampe berusaha merekam suaraku sendiri dan terbengong-bengong karena hasilnya memang ajaib.

Kadang kalo iseng, aku suka mengaku 'adenya mida' kalo ada yang nelpon. Yang udah tahu aku anak bungsu sih langsung protes. Satu-satunya ade sepupu yang udah kuanggap ade sendiri tuh cowok (btw, band-nya dia lumayan keren, liat di sini deh...). Tapi, kalo yang ga tahu, ya percaya-percaya aja aku kerjain gitu, hehehe...

Aku ga bisa naik sepeda dan ga berminat untuk bisa

Terakhir kalinya aku punya sepeda, sepeda roda tiga buat balita :D. Sejak itu, mungkin karena ketiga kakakku masih sekolah lalu ketiganya kuliah dan jelas membutuhkan biaya banyak, ortu menganggap sepeda sebagai barang mewah yang tak perlu. Dan karena aku anak rumahan, jarang main keluar, aku juga tak pernah menginginkan sepeda. Yang kuinginkan cuma buku-buku cerita dan majalah (itupun biasanya dibelikan yang bekas), boneka cantik sejenis barbie (versi tiruannya, tentu) lengkap dengan baju-bajunya (yang dijahit mama atau tetehku dari kain-kain sisa, but they're awesome!) , berbagai macam kertas unik+lem kayu+bunga edelweis kering untuk membuat kartu-kartu ucapan, atau alat-alat menggambar. Semua barang itu bisa membuatku betah berkutat di kamar seharian. Untungnya, aku ga jadi autis, sih, hehe... alhamdulillah... Dan hingga detik ini, aku masih mikir, 'emang perlu, ya, belajar naik sepeda?'. Kalau emang perlu, sih, mungkin harus aku masukkan ke resolusi tahun 2010 ^_^.

Aku buta pohon

Ini baru aku sadari saat SMA. Bagiku hampir semua pohon itu kelihatannya sama (batang coklat-banyak daun ijo). Nah, waktu di SMA, pernah diadakan psikotes yang salah satu sesinya adalah menggambar pohon dikotil dan harus diberi keterangan nama pohonnya. Aku kebingungan, apa bedanya pohon mangga sama alpukat, atau rambutan, atau jambu, atau...? Aku hanya mengenali pohon yang memang bentuknya benar-benar berbeda, benar-benar spesifik (seperti pohon pisang, kelapa, cemara, dkk), atau kalau buahnya sudah terlihat, hehe.... Jadi aku sering gondok kalau ada yang bilang:

+"kosmu yang ada pohon mangganya, ya?" (euh, berbulan-bulan aku ngekos di situ baru tau ternyata itu pohon mangga)

+"rumahku yang ada pohon rambutannya" (nah, kalo tetangga-tetangganya punya pohon juga, aku pasti ga bakal bisa nemu rumahnya)

+"kalo udah berbuah, asik tuh" (aku harus berimajinasi kira-kira pohon itu akan menghasilkan buah apa)

Wah, payah, deh.... Pernah belajar mengenali pohon dari bentuk daunnya. Akhirnya aku hapal --bukan karena mengenali daunnya, tapi karena letaknya ^_^ (yang di depan rumah bu anu itu pohon A, yang deket masjid itu pohon B). Jadi begitu nemu pohon baru di tempat lain, wassalam aja.... Hehehe.... Ada yang tau cara "ngobatinnya"?

Aku suka nyasar

Ini, sih, kayanya ga terlalu aneh. Aku ga bisa cepat menghapal jalan atau arah. Harus berkali-kali lewat, baru 'ngeh'. Awal-awal aku di Cirebon, aku sering be-te kalo naik angkot. Angkot yang lewat sini cuma jalur GG. Kalo mau ke tempat lain yang tidak dilalui jalur GG, harus disambung. Masalahnya, angkot GG ini bisa melewati jalur-jalur tertentu by request (can u believe that???). Asal sopirnya mau dan penumpang lain tidak keberatan, ya okeh-okeh aja lewat mana pun juga. Jadi kalo hari ini angkotnya lewat pelabuhan dulu, kali lain bisa lewat stasiun, pasar pagi, grage, ya.... tergantung kebutuhan penumpang dan mood sopirnya aja. Aku jadi pusing. Tapi lama-lama hapal juga, sih, hehe.... Karena jalannya ternyata melingkar di situ-situ juga.

Eh, tapi ada pengecualian, sih.... Aku justru cepat hapal dengan letak dan arah toko-toko kalau lagi di Pasar Baru atau mal :D Jadi, saat belanja dengan kedua tetehku berburu pernak-pernik cewek, biasanya aku yang paling ingat jalan. Cuma, kalau tempatnya segede Mangga Dua, ga janji lah ya....

Aku senang minum air putih panas

Ini aneh, ga, sih? Soalnya aku belum pernah nemu orang dengan kesenangan yang sama. Bagiku, menyesap air putih panas (apalagi kalo cuaca lagi dingin) sama nikmatnya dengan menyesap teh atau kopi atau bandrek panas buatan Mimi. Rasanya menenangkan.... Dan tentu saja lebih aman buat lambung, hehe...

Aku senang udara panas

Tapi ga sepanas neraka dunk ya... (Na'udzubillah, deh). Maksudku, aku merasa lebih nyaman di udara panas daripada udara dingin. Diam di udara dingin tanpa kehangatan yang mencukupi (halah!) membuatku gelisah dan pengen nangis. Ini agak membingungkan karena aku belasan tahun hidup di Bandung yang adem. Bertahun-tahun kos di Jogja, kemudian di Cirebon yang panas, aku tak pernah punya kipas angin, apalagi AC. Di dekat kantor sebenarnya ada tempat kos yang dilengkapi AC dan TV dengan harga yang sama dengan kamarku sekarang (tapi ukuran kamarnya lebih kecil dan lokasinya masuk gang). Hampir semua pegawai kantor nge-kos di daerah itu. Cuma aku sama Winda aja yang alien, hehe....

Bagiku tak ada AC dan kipas angin tak masalah, asal kamarnya nyaman dan aku mendapatkan privasi yang kubutuhkan. Tambah lagi, dengan lokasi pinggir jalan utama yang strategis, kakak-kakakku dari luar kota bisa dengan mudah menemukan letaknya dan bisa parkir mobil di depan kos.

Tapi, aku harus latihan berada di udara dingin.... Soalnya kalo nanti bermukim di Eropa susah juga saat winter tiba. Apalagi kalo tinggalnya di London yang sering hujan dan berkabut, hehe... (hei, mimpi kan ga dosa!).

Udah dulu, ah... Eh, ini bukan keluhan, lho.... Meskipun aneh, tapi aku teteup hepi, koq! ^_^ Ada banyak kelebihan yang dianugerahkan-Nya padaku. Aku cuma pengen berbagi. Juga mana tau ada yang bisa kasih saran biar aku ga buta pohon lagi, misalnya. Ditunggu ya!

16 Desember 2009

(Bukan) Teman yang Baik

Bukankah tak ada manusia yang sempurna?

Dari ketidaksempurnaan inilah lahir sebuah kata bernama 'kritik'. Sebuah kata yang kadang menimbulkan perasaan bertolak belakang saat mendengarnya; rasa membutuhkan dan rasa membenci. Ya, kita memang membutuhkan kritikan agar bisa menjadi lebih baik. Dan ya, kita kadang tak siap mendengar keburukan-keburukan kita terungkap lewat 'pembacaan' orang lain.

Dan yang lebih lucu, kadang saat kita berbusa-busa mengatakan kritikan kita terhadap orang lain, kita lupa bercermin. Lupa melihat pada diri sendiri bahwa bukan hanya dia yang tidak sempurna, tapi kita juga. Ah, kenapa manusia diciptakan dengan settingan mudah menemukan sisi buruk dari segala sesuatu?

Aku baru membaca tulisan seseorang yang ditujukan untukku. Tulisan itu dibuat sudah lama, sebenarnya. Entah mengapa aku tak memperhatikan keberadaannya di inbox emailku. Selama beberapa waktu, emailku yang biasanya 'bersih' dari unread message, menjadi penuh gara-gara notifikasi dari si buku wajah. Dan karena koneksi internet lagi payah, aku jadi kian malas menghapus email-email itu.

Tapi tadi pagi, aku memutuskan melakukan pembersihan. Jadi, aku mengklik 'unread' dan melihat-lihat jika ada email yang perlu kubaca dulu sebelum kuhapus. Disanalah ia, terhimpit di antara notifikasi FB, adalah email dari seorang teman. Saat kubuka, awalnya masih biasa-biasa, tapi ujung-ujungnya.... owh, my good mood suddenly turned off.

Sederhana saja, dia mengungkapkan beberapa kekuranganku. Masalahnya, aku tidak merasa seperti yang dia gambarkan. Justru aku melihat gambaran itu pada dirinya. Aneh, kan? (Ah, bukan manusia namanya kalau tidak aneh). Yang aku tangkap (dia tak menuliskannya secara eksplisit, tentu saja), dia sering merasa sakit hati dengan sikapku. Dan memang sejak lama aku selalu merasa bahwa no matter what I do, I just can't get enough for you.

Apapun yang kulakukan, dia selalu melihat dari sisi lain dan akhirnya hal-hal yang tadinya kupikir 'those are what friends do' itu menjadi kebalikannya, menjadi sesuatu yang negatif. Aku sering tersentak dengan responnya. Dan berkali-kali berpikir, 'hey, aku ga bermaksud begitu!'. Dan capek rasanya kalau aku terus-menerus berusaha mendekat, meminta maaf atau memperlihatkan bahwa 'aku berusaha menjadi temanmu yang baik'. Sementara dalam hati akupun sering sakit hati dengan segala kritikannya.

Tapi, semua kekuranganku yang dia ungkapkan, menjadi bahan introspeksi bagiku. Inginnya aku memintanya melakukan introspeksi yang sama. Tapi kurasa, itu hanya akan memperburuk keadaan.

Untuk semua yang pernah terzhalimi oleh sifat-sifat burukku, aku minta maaf.... Kurasa aku perlu 'bercermin' dengan lebih baik lagi.

So, yeah.... I'm not a good friend. I'm not. But I've tried my best, really. If it's not enough, I'm sorry.... I can't be perfect. But then, you can't be either. I can accept it. Why can't you?

11 Desember 2009

Miss You, Riz....

It seems like yesterday when the first time i saw you....

Kau begitu cantik, mungil dan menggemaskan. Dengan kulit putih, bulu mata tebal dan lentik serta luar biasa cerewet (meskipun kata-katanya tidak dimengerti manusia dewasa ^_^), kau membuat jatuh cinta setiap orang yang melihatmu.

"Mbak Midaaa...!" Adalah kata-kata penuh semangat yang selalu kau teriakkan setiap kali kita bertemu. Di belakang, Dimdim, adikmu, berusaha mengikuti dengan berteriak, "Bida...bidaaaa...!". Matamu membulat dengan mulut mungil berceloteh lucu. Dan kita akan bermain, membuat para orang tua geleng-geleng kepala dengan keonaran yang kita buat, meninggalkan ruang demi ruang dalam keadaan berantakan sambil berkejaran riang gembira.

Secara silsilah, kau harusnya memanggilku 'tante'. Tapi, jarak umur yang tak jauh membuatmu lebih senang memanggilku 'mbak'. Dan siapa yang tak bangga diakui kakak oleh seseorang yang begitu cantik dan cerdas sepertimu? Meski, dengan perbedaan warna kulit yang seperti kue lapis (lapisan putih-milikmu; lapisan coklat tua-milikku), orang-orang sering menyangsikan bahwa kita bersaudara. Ah, jangankan denganmu, di keluargaku memang akulah anak perempuan dengan kulit tergelap dengan rambut bergelombang, sementara yang lain berambut lurus mulus seperti rambutmu. Papa dan Mama sering setengah mengejek, bahwa aku merupakan tiruan almarhumah nenek buyut (yang hidungnya pun -jika dilihat dari samping- konon tidak rata seperti hidungku, tapi bedanya punya almarhumah lebih mancung, hehe...).

Semakin beranjak besar, semakin jarang pertemuan kita, hanya terjadi di masa-masa libur sekolah. Tapi, itu tak pernah mengurangi keakraban yang ada. Diramaikan oleh Dimdim yang selalu berusaha mengikuti apapun yang kita lakukan. Begitu ceria, begitu menyenangkan. Pikirku, keceriaan ini takkan habis hingga kita tua.

Hingga kudengar kabar bahwa orang tuamu mengirimmu ke benua lain untuk melanjutkan sekolah. Astaga, kau bahkan baru kelas satu SMP, dan kau dilepaskan sendirian di negeri orang! Antara ngeri dan antusias dengan pengalaman baru, aku sering memikirkan keberadaanmu di sana. Seperti apa teman-temanmu? Apa yang kau makan di sana? Rindukah engkau pada rumah? Kabar-kabar tentang keberhasilanmu menjadi obat pertanyaan-pertanyaan kangenku. Kau ternyata berbakat di bidang seni, hingga salah satu lukisanmu dipajang di museum lokal di sana.

Pertemuan kita yang terakhir adalah saat kau lulus senior high, beberapa bulan sebelum aku mengundurkan diri dari kampusku yang lama dan memutuskan pindah ke Jogja. Aku ingat dengan kecanggungan yang tercipta saat malam itu kita duduk diam berdua di depan televisi, menonton acara musik. Benakku berputar-putar berusaha mencari bahan obrolan. Tapi, kita seolah telah berada di dua dunia yang begitu berbeda. Hanya beberapa kalimat yang terucapkan hingga aku memutuskan tidur lebih awal dengan menyimpan kekecewaan.

Sekarang.... Kau benar-benar menjadi asing bagiku. Bertahun-tahun aku kehilangan kontak denganmu. Saat seorang sepupu memperlihatkan fotomu, ah, kau telah menjelma menjadi perempuan dewasa yang begitu cantik. Dengan badan bongsor (seperti ayahmu), kulit putih dan rambut panjang dicat merah, kau bahkan lebih cantik dari semua wanita bule yang ada dalam fotomu. Mama bilang kau seperti fotomodel.

Dan kau kini kesulitan berbahasa Indonesia.

Aku berusaha mencari jejakmu di Google, Friendster dan Facebook. Kuketikkan nama lengkapmu, tapi selalu nihil. Terakhir, aku kembali iseng mencarimu. Lalu muncullah namamu di linked-in. Sebuah situs yang menghubungkan para pekerja profesional di seluruh dunia. Order Management at Reuters, Sidney based area adalah yang tertulis sebagai jabatan pekerjaanmu. Kau yang selalu hebat, tentu saja. Aku bangga padamu.

Beberapa waktu yang lalu, saat aku ke Jakarta menemui salah satu tante kesayanganmu, aku mendengar kabar tentangmu. Bahwa minum wine telah menjadi bagian dari gaya hidupmu. Bahwa baju-baju minim bahan, telah membuatmu merasa cantik. Bahwa bagimu, pergi haji ke Mekkah tak ada gunanya dibandingkan pergi berlibur keliling Eropa. Bahwa tiap orang harus mengurus urusannya sendiri dan tak perlu memikirkan masalah orang lain.

Masya Allah.... Sesuatu di sudut hatiku begitu sakit dan sedih. Aku tak rela kehilanganmu dan lebih tak rela mengetahui kau telah kehilangan agamamu. Ketika aku menemukan akun facebook-mu melalui profil seorang ponakan, aku memandang fotomu. Kau telah memotong rambutmu menjadi lebih pendek. Lucunya, aku memang selalu mengingatmu dengan gaya rambut seperti itu. Lalu kata demi kata kutuliskan dalam message, sambil membayangkan dirimu saat kecil dulu meneriakkan namaku dengan semangat. Dan begitu aneh rasanya karena sekarang aku harus 'berbicara' padamu dalam bahasa asing dengan grammar yang mungkin acak-acakan. Menanyakan kabarmu, dan bolehkah aku menambahkanmu di daftar pertemananku.

Hingga hari ini kau tak pernah membalasnya. Mungkin kau sibuk karena pekerjaanmu membuatmu sering bepergian antarnegara. Mungkin inbox-mu terlalu penuh hingga pesanku terkubur di dalamnya. Mungkin kau sedang mengingat-ingat tentang aku hingga kau memutuskan untuk menunda membalasnya. Atau mungkin, aku yang tak ada apa-apanya ini telah terhapus dari memorimu yang dipenuhi hal-hal lebih penting.

Ah, Riz.... Meskipun kau telah melupakanku dan menjalani peran asing yang sama sekali tak menyentuh kehidupanku, Tuhan Maha Tahu, aku selalu sayang dan bangga padamu....