Wilujeng Sumping...

Ini blog seorang mida, yang -seperti manusia lainnya- punya banyak kisah dan masalah untuk diceritakan dalam perjalanan hidupnya. Silakan masuk, duduk di mana aja dan baca-baca sesuka hati. Mau teh atau kopi? ^_^

29 April 2010

The Duyfken: Kisah Si 'Merpati Kecil' Belanda



We shall build good ships here.
At a profit - if we can.
At a loss - if we must.
But always good ships.

Bait kata penuh tekad di atas diucapkan oleh Collis Potter Huntington (1821 – 1900), ‘raja kapal’ Amerika yang terkenal di masanya. Namun, jauh sebelum Collis Huntington lahir, bangsa Belanda telah membangun kapal-kapal tangguh untuk mengarungi dunia dengan teknologi seadanya.

Dokumen-dokumen dari abad ke-17 menjadi saksi sejarah tertulisnya ketangguhan armada kapal Belanda. Bahkan Spanyol, yang sedang berperang dengan Belanda, tak bisa mengusir kapal-kapal Belanda dari pelabuhannya sendiri karena mereka sangat bergantung pada pasokan padi-padian yang dibawa kapal-kapal itu dari wilayah Baltik.

Majunya ekonomi negara kecil bernama Belanda ini mungkin membuat kita bertanya, apa sih yang dimiliki mereka? Cadangan minyak berlimpah? Tanah luas yang subur dengan aneka ragam hasil bumi? Laut yang kaya? Ah, jika dibandingkan, kita memiliki semua kandungan berharga itu dalam jumlah lebih banyak. Lalu mengapa Belanda bisa menjadi sebuah bangsa yang besar dan makmur?

Kurasa, kekayaan sejatinya memang tidak berasal dari dalam bumi, melainkan tertanam di dalam diri manusianya.

Sejak dahulu, mereka adalah bangsa petualang. Tidak semua orang mendapatkan kehormatan seperti ini. Dibutuhkan karakter kompleks untuk menjadi seseorang yang berani menjelajahi bumi, bahkan sebelum mereka tahu apa yang akan dihadapi di depan. Keberanian, ketangguhan, kecerdasan dan bahkan kesabaran merupakan sebagian karakter yang harus dimiliki.

Semangat negeri kecil yang cantik ini tergambar dalam kisah sebuah kapal bernama The Duyfken (berasal dari kata Duifken atau Duijfken yang berarti merpati kecil). Kapal yang dibangun sekitar tahun 1595 ini dirancang untuk berlayar ribuan mil jauhnya menuju negeri rempah-rempah yang kelak bernama Indonesia.

Namun, tidak seperti kapal layar lain seperti galleon milik bangsa Spanyol atau Portugis yang berukuran besar, Duyfken – dengan berat 110 ton, panjang 65.4 ft (19.9 m) dan lebar 19.7 ft (6 m) - merupakan kapal kecil yang cepat untuk ukuran kargo sekelasnya, dirancang mampu berlayar di perairan dangkal dan dilengkapi persenjataan ringan berupa 8 buah meriam.

Dibangun dengan metode plank-first, yaitu pemasangan papan kayu dilakukan sebelum adanya kerangka yang akan membentuk lambung kapal. Metode ini dianggap ketinggalan zaman dan merupakan kebalikan dari frame-first yang sedang populer pada saat itu. Namun orang Belanda, tidak terpengaruh oleh trend baru pembuatan kapal, berinovasi dengan cara pemasangan papan yang lebih baik dan lebih ekonomis tanpa harus mendobrak tradisinya. Metode ini membebaskan mereka untuk membentuk kapal yang menurut mereka paling bagus tanpa harus dibatasi oleh rancangan gambar.

Replika The Duyfken juga dibuat dengan cara plank-first

Meskipun kecil dan dibangun dengan cara sederhana, namun jangan pernah meremehkan kapal Duyfken. Setelah tahun 1596 sukses mengarungi samudera dan tiba di wilayah Indonesia, tahun 1601, kapal di bawah pimpinan Kapten Willem Cornelisz Schouten ini kembali berlayar dari kota Texel, Belanda, menuju Bantam (kini Banten) bergabung dengan armada Moluccan. Armada yang terdiri dari 5 kapal termasuk Duyfken, berhasil mengalahkan 30 kapal milik armada Portugis dan mengakhiri dominasi bangsa Iberia (Portugis-Spanyol) di jalur perdagangan rempah-rempah Eropa.

Setelah bergabung dengan VOC di Hindia Belanda, kapal The Duyfken ditugaskan untuk mencari negara-negara yang terletak lebih jauh di timur dan selatan untuk memperluas perdagangan. Tahun 1605, di bawah pimpinan Kapten Willem Janszoon, kapal ini bertolak dari Bantam menuju Banda, dilanjutkan ke Kepulauan Kei lalu menyusuri bagian selatan Papua Nugini. Di bagian timur, Janszoon kemudian membawa The Duyfken menyeberangi Laut Arafura tanpa menyadari adanya Selat Torres (selat ini memang dinamai Torres dari Luiz Vaez de Torres yang melakukan ekspedisi ke wilayah ini di tahun yang sama, namun nyatanya The Duyfken telah mencapai selat ini bulan Maret 1606, beberapa minggu lebih awal dibanding Torres) . Mereka tiba di Tanjung Carpentaria, memasuki Sungai Pennefather pada tanggal 26 Februari 1606 dan mencapai bagian barat sebuah tanjung yang kelak dinamakan Cape York of Peninsula oleh James Cook.

Apakah kau tahu di mana letak tanjung ini?

Australia!

Ya! The Duyfken digoreskan dalam sejarah dunia sebagai kapal Eropa pertama yang menemukan sebuah benua baru bernama Australia. Meskipun sang kapten sama sekali tidak menyadari hal itu, karena ia mengira daratan yang ditemukannya masih merupakan bagian dari Papua Nugini. Namun, catatan yang dibuat kapal ini membuat Letnan James Cook dengan kapal HM Bark Endeavour-nya yang legendaris tak berhak menyandang gelar sebagai orang Eropa pertama yang tiba di Australia karena ia terlambat 164 tahun dari The Duyfken(!).

Si ‘Merpati Kecil’ pembuat sejarah dunia ini hanya sebuah contoh dari majunya industri perkapalan Belanda. Hingga kini, Belanda masih tercatat sebagai salah satu pembuat kapal terbaik, terutama untuk produksi kapal-kapal yacht yang mewah. Salah satu inovasi yang dibuat Belanda akhir-akhir ini adalah tugboat (kapal kecil untuk mengarahkan kapal lebih besar dengan cara menarik atau mendorong) yang diberi nama Carrousel Tug, pemenang Maritim Innovation Award di ajang Dutch Maritime Innovation Awards Gala tahun 2006.

Teramat banyak yang bisa dipelajari dari Koninkrijk der Nederlanden ini, apalagi karena negara kita tercinta juga merupakan negara maritim. Di atas tanah kerajaan ini berdiri universitas-universitas terbaik dunia. Reputasi Universitas Utrecht, Universitas Amsterdam, Universitas Teknik Delft dan banyak universitas lainnya telah terjaga baik hingga ratusan tahun. Di sanalah para ilmuwan terkenal dunia pernah mendapatkan ‘kursi’-nya – baik sebagai pelajar, pengajar atau peneliti.

Belanda bagaikan sebuah rumah yang menawarkan kehangatan, kenyamanan dan banyak ilmu untuk dibagi. Dan pintu-pintu mereka akan selalu terbuka lebar, menyambut ramah para ‘petualang’ asing dari negeri lain yang haus akan pengetahuan. Apakah kamu salah satu dari calon petualang itu?

Referensi:

http://www.duyfken.com/

06 April 2010

Edisi Jogja: Memanjakan Lidah

Sebagai penikmat makanan yang nggak terlalu rese (asal halal, ga menjijikkan dan bukan ikan air tawar), mencoba makanan atau menu di tempat makan baru merupakan kegiatan yang menyenangkan, apalagi jika ditemani sahabat yang mempunyai kegemaran yang sama. Dan Jogja adalah sebuah kota yang menjadi lahan subur bagi begitu banyak tempat makanan enak dengan harga terjangkau.

Namun, berhubung rencana perjalanan ke kota ini memang telah berantakan dari awal, aku akhirnya tidak terlalu ngotot lagi ingin mencoba tempat makan baru. Tadinya, makan malam di Restoran Bale Raos yang menyediakan menu khusus kesukaan para Sultan Kerajaan Yogyakarta ada di top list-ku. Nyatanya, karena tak membawa kendaraan sendiri dan tak ada teman untuk mencicipi menu di sana, rencana itu gagal. Akhirnya aku menyerah, hanya ingin bersantai dengan 'rasa' yang telah dikenal lidahku sebelumnya. Jadi, inilah tempat makan yang kudatangi selama akhir minggu kemarin.

Nanamia Pizzeria


Berhubung aku baru sampai di Jogja pas Maghrib, lalu mengobrol ngalor-ngidul dengan si Botak yang udah lama ga ketemu, kami baru keluar untuk makan malam jam 20.30 WIB. Lalu lintas masih ramai dengan turis yang tumpah ruah di jalanan. Karena bingung memutuskan tempat makan, si Botak akhirnya mengajakku ke Mal Galleria. Di mal itu ada tempat makan favorit kami waktu kuliah: Bee's. Restoran ini merupakan 'fast food' untuk masakan-masakan Asia, mulai dari Malaysia, Thailand hingga India. Harganya antara belasan hingga puluhan ribu, masih setara lah dengan McD. Well, dengan harga segitu, jangan harap bumbu asli negara asalnya bakal terasa :) Tapi lumayan enak, koq. Yang kurang kusuka, ada beberapa menu yang masih disajikan di kotak styrofoam, selain ga go green *haiyah*, rasanya kurang mantap aja. Masa sih, makan di warung aja pake piring, di sana cuma pake styrofoam? :D Ternyata, menu yang tersedia tinggal Gold dan Platinum Box (semacam paket hematnya). Si Botak menggeleng, jadi kami keluar dari sana.

"WS aja," kata si Botak. WS itu singkatan Warung Steak yang udah terkenal di seantero Jogja sebagai tempat makan berbagai macam steak dengan harga mahasiswa. Aku ngikut aja, deh. Eh, baru menginjakkan kaki di pintu masuk, si Mas waiter-nya langsung mendekat dan memberitahukan menu di sana sudah habis. Uah, memble deh....

"Nanamia aja, yuk!" Ajakku pas di parkiran. Mumpung tempatnya dekat dari situ. Kami akhirnya meluncur ke Jl. Moses Gatotkaca yang terletak di sebelah Jogjakarta Plaza Hotel (awal aku kuliah namanya Hotel Radisson). Di dalam restoran masih ramai dengan bule-bule yang lagi asik kongkow-kongkow sambil minum bir.

Tempat makan ini relatif baru. Meskipun banyak bule berkunjung ke sini, jangan bayangkan tempatnya luas dan mewah. Ukuran restonya kecil dengan kursi dan meja sederhana terbuat dari kayu. Desainnya hangat dan homy banget. Alunan musik yang upbeat seperti Samba selalu mengiringi gelak tawa pengunjung.

Yang istimewa di sini memang makanannya. Berbeda dengan Pizza Hut, pizza di sini benar-benar dibuat ala Italia dengan roti yang tipis-renyah dan guyuran saus dengan rempah-rempah seperti oregano dan basil yang cukup kuat plus keju mozarella yang hmmm.... Dipanggang di tungku besar dengan bahan bakar kayu. Pelayannya -meskipun tidak full senyum- tapi sangat sigap. Saat hendak memesan, si Mas pelayan bilang pizza-nya sudah habis, tinggal tersisa pasta Lasagna. Si Botak protes karena Lasagna yang biasanya cuma seukuran 15x15 cm itu ga bakal membuatnya kenyang. Tapi aku udah capek banget jadi kubilang aja abis dari sini dia beli nasi goreng lagi buat dimakan di rumah, hehe....

Kalo mau ngintip menunya ada di sini. Jangan khawatir, harganya hampir sama koq dengan Pizza Hut atau Papa Ron's.

RM Padang Murah Meriah

Apa istimewanya rumah makan yang satu ini? Jawabnya: nggak ada, hahaha.... Ini tempat makan yang sering kukunjungi di sela-sela kuliah dulu karena letaknya di dekat kosku, di belakang pasar Condong Catur. Kangen aja sama tempat satu ini.

Seperti hampir semua RM Padang lainnya di Jogja, bumbunya tidak terlalu asin dan pekat atau kental, sudah bercampur citarasa Jawa yang agak manis. Tapi, setelah mencoba-coba di tempat lain, di tempat ini bagiku rasanya pas banget, jadi aku selalu datang lagi ke sini. Tempatnya terang, bersih dan pelayanannya cepat. Harganya jelas murah meriah dunk. Satu porsi nasi+ayam+sayur+sambal ga lebih dari Rp 6.000,00. Sayang, mereka ga sedia sate Padang T_T.

Rumah Coklat

Cafe di Jl. Cik Di Tiro ini sudah membuatku penasaran sejak dulu. Pernah aku dan Een ngebela-belain menyisihkan uang kiriman bulanan biar bisa makan di cafe yang kayanya tempat kongkow para mahasiswa tajir ini. Pas nyampe sana, ternyata tutup karena lagi direnovasi. Asemmm!!! Hahaha... (Inget, ga, En?).

Sebelum pulang ke Cirebon, aku dan Icha menyempatkan diri mampir ke sini. Dari luar aja udah kelihatan tempatnya cukup eksklusif, tapi harganya ternyata ga semahal yang kukira dulu, masih murah di sini dibanding setarbak mah :). Karena dilengkapi hot spot, beberapa muda-mudi asik berselancar dengan laptop masing-masing di sofa-sofa empuk ala lounge. Memang asik kalo ngenet gratis ditemani cemilan dari coklat plus secangkir cappuccino, hmmm....

Menu yang ditawarkan ternyata tak hanya seputar coklat. Seingatku memang tidak ada nasi, tapi ada beberapa pilihan pasta seperti fettuccini carbonara (bisa pilih tuna/sapi) dan camilan agak berat, seperti mayo chicken stick (sekilas mirip nugget dilengkapi saus mayonaise), french fries, croissant dan... apalagi ya? Banyak juga, sih....

Karena aku memang lagi pengen ngemil, aku memesan mix cake dan secangkir hot caramel coffee. Tapi, dipikir-pikir, karena takut kelaparan di perjalanan pulang ke Cirebon, aku juga memesan mini butter croissant. Mix cake itu sepotong cake yang bisa dipilih di counter ditambah satu scoop es krim vanila, ditaburi chocochips dan dihias sepotong biskuit oreo. Karena pelayannya bilang mix cake favorit di situ adalah Mediterranean, aku mengikuti sarannya. Sementara Icha memesan Lasagna dan minuman Cold Choco Royale (coklat dingin yang rasanya coklat banget!)

Saat pesanan datang, aku sumringah melihat lapisan cake dan krim coklat berselang-seling yang ditata cantik dengan hiasan cherry dan kepingan dark chocolate yang dibentuk abstrak berdiri di atas krim putih. Rasanya ga akan mengecewakan penggemar coklat, deh.... Tapi....

Kuenya mirip-mirip gini, deh (piringnya juga mirip, hehe...)

"Ini rasa apa ya? Kismis?" Tanya Icha saat dia mencicipi cake itu.

"Kismis?" Tanyaku bingung karena memang tak menemukan butiran kismis di manapun.

"Ini, agak asam gimana gitu...," katanya sambil mengunyah dan berpikir, "kayak rhum?"

Hah? Aku ikut menyendok lagi dan mulai memperhatikan rasa asing tapi wanginya cukup familiar itu. Soalnya, beberapa kali aku menemukan wangi yang sama di vla di dalam kue sus atau vla puding untuk menghilangkan bau amis kuning telur. Aku sepakat dengan Icha, itu rhum.

Saat pelayan datang mengantarkan lasagna, aku bertanya padanya, "Mbak, maaf, aku boleh nanya, ya? Cake-nya dikasih rhum, ya?" Si Mbak meng-iya-kan. "Alkohol?" Tanyaku lagi.

"Iya. Tapi, kan alkohol buat makanan, Mbak," katanya.

Teteup aja aku ga bisa makan, sesedikit apapun alkohol dari rhum ya haram. Icha udah nahan ketawa melihat wajahku yang langsung kecewa karena terpaksa bilang bubbye sama cake nan lezat menggoda itu. Kenapa harus pake alkohol, sih? Gerutuku sebal. Aku akhirnya hanya menghabiskan es krim-nya. Untung masih ada mini butter croissant (yang ternyata bentuknya ga mini :p) dihias lelehan coklat di atasnya. Kopinya juga enak, bukan kopi instan. Lasagna-nya masih lebih berbumbu yang di Nanamia, tapi enak juga, sayang pas disajikan udah agak dingin.

Pas bayar di kasir, aku melirik sebal ke arah counter yang berisi berbagai macam cake menawan tapi ga bisa dimakan itu, hiks.... Karena penasaran, aku tanya lagi sama kasirnya, "semua cake di sini pake rhum, ya, Mas?"

"Iya, Mbak," jawabnya ramah.

"Tetep aja aku ga bisa makan," kataku rada manyun.

"Kan rhum yang buat makanan, Mbak."

"Alkohol apa essens?" Tanyaku lagi.

"Essens," jawabnya senyum. Hiiiih.... makin sebel lah dirikyu. Kalo essens kan insya Allah halal. Teringat lagi potongan besar cake yang tadi kucuekin.

"Mbak-nya nggak nanya, sih...," kata Mas di kasir lagi, kali ini sambil nyengir.

Hwah.... Laen kali aku mau pesan yang lain aja lah, biar ga ragu-ragu :)