Wilujeng Sumping...

Ini blog seorang mida, yang -seperti manusia lainnya- punya banyak kisah dan masalah untuk diceritakan dalam perjalanan hidupnya. Silakan masuk, duduk di mana aja dan baca-baca sesuka hati. Mau teh atau kopi? ^_^

22 Maret 2010

Lomba Review Buku "Start Young"



DATA BUKU

  • Judul Buku: Start Young

  • Genre: Motivasi

  • Penulis: Dedy Dahlan

  • Penerbit: Grasindo

  • Cetakan Pertama: Juli 2009

  • Bahasa: Indonesia

  • Tebal Buku: 140 Halaman

  • Dimensi Buku (P x L): 15 x 23 cm

  • Website Resmi Penerbit: http://www.grasindo.co.id

  • Website Resmi Penulis: http://www.dedydahlan.com

  • No. ISBN: 978-979-02-5765-8

  • Harga:

      • Gramedia: Rp.27.000


PERATURAN EVENT
Peraturan Umum:

  • Peserta lomba akan diminta untuk menulis review/ulasan/resensi tentang buku ‘Start Young’.

  • Review terdiri dari minimal 250 kata.

  • Review harus hasil pemikiran pribadi peserta, bukan tulisan orang lain.

  • Review ditulis menggunakan bahasa yang sopan, tidak sinis ataupun kasar.


Peraturan Khusus:
  • Peserta lomba akan diminta menulis review di blog miliknya, dengan judul: Lomba Review Buku ‘Start Young’, Hanya di Kitareview.com!

  • Bila peserta lomba tidak memiliki blog, peserta akan menulis review-nya di note pada Facebook, dengan judul yang sama seperti di atas.

  • Peserta wajib memasukkan cover depan buku ‘Start Young’ di dalam halaman review-nya. Cover depan buku ‘Start Young’ silahkan unduh di sini atau di sini. Posisi cover Buku bebas (boleh di atas Review, atau di bawah Review).

  • Peserta wajib memasukkan Data Buku ‘Start Young’ di dalam halaman review-nya (mulai dari Judul Buku hingga Harga), seperti yang dicontohkan di atas. Posisi Data Buku bebas (boleh di atas Review, atau di bawah Review).

  • Di dalam halaman review tersebut, peserta diwajibkan memasang banner ‘lomba review kitareview.com’, yang me-link ke halaman event kitareview.com, yaitu:http://kitareview.com/events.php?id=4. Banner silahkan unduh di sini. Banner ini bebas diposisikan dimanapun, asalkan tetap menjadi bagian dalam review.

  • Peserta kemudian mengirimkan email konfirmasi, yang berisi: nama lengkap , tempat & tanggal lahir, alamat, no. telp/hp, dan alamat blog/note Facebook miliknya, ke alamat email: event@kitareview.com, dengan judul email: ‘Kitareview.com Event 1 – Start Young’.


SISTEM PENJURIAN EVENT
Tahap 1
Penjurian Tahap 1 akan terdiri dari 3 orang, dengan detail sebagai berikut:
  • 1 orang juri wakil dari kitareview.com

  • Penulis Dedy Dahlan

  • 1 orang juri wakil dari Sponsor


Penilaian Tahap 1 akan diberikan berdasarkan:
  • Ke-original-an tulisan

  • Informatif

  • Struktur bahasa

  • (Keputusan dewan juri bersifat mutlak dan tidak dapat diganggu gugat)

Dari seluruh peserta yang mengikuti event, akan dipilih 9 review terbaik. 9 review terbaik tersebut akan lolos ke Tahap 2.

Tahap 2

  • 9 review terbaik yang telah terpilih, kemudian akan di-publish di halaman review kitareview.com, kategori Hall of Fame – Event 1.

  • Di halaman review tersebut, masing-masing review akan memiliki kesempatan untuk di-rating oleh khalayak umum (siapapun boleh ikut me-rating).

  • Dari 9 review tersebut, yang memiliki nilai rating tertinggi akan dinobatkan menjadi Juara 1, yang memiliki rating tertinggi kedua akan dinobatkan menjadi Juara 2, dan memiliki rating tertinggi ketiga akan dinobatkan menjadi Juara 3.


PERIODE EVENT
    ‘Kitareview.com Event 1 – Start Young’ ini, diselenggarakan terhitung mulai hari Kamis, 11 Maret 2010, dan batas waktu/deadline penulisan review dan pengiriman email konfirmasi adalah Selasa, 11 Mei 2010, pukul 24.00 WIB.

    Pengumuman pemenang ‘Kitareview.com Event 1 – Start Young’ Tahap 1, akan diumumkan pada hari Selasa, 25 Mei 2010. Kemudian pada hari Rabu, 26 Mei 2010, 9 review pemenang Tahap 1 akan di-publish di halaman review kitareview.com, kategori Hall of Fame – Event 1.

    Setelah 9 review tersebut di-publish, masyarakat umum dipersilahkan untuk me-rating. Batas waktu melakukan rating adalah Selasa, 1 Juni 2010, pukul 24.00 WIB. Setelah batas waktu tersebut, pihak kitareview.com akan langsung mencatat hasil rating dari 9 review tersebut. Hasil rating tersebutlah yang akan menjadi dasar penentuan Juara 1, 2, dan 3 untuk Tahap 2.

    Apabila terjadi perubahan nilai rating, setelah batas waktu yang telah ditentukan, nilai rating tersebut tidak dianggap sah.



HADIAH EVENT
Hadiah Tahap 1
9 peserta yang lolos Tahap 1, masing-masing akan mendapatkan:
  • Souvenir berupa kaos, dari Dedydahlan.com

  • Souvenir berupa tas, pulpen, dan pin, dari Qwords.com


Hadiah Tahap 2
Juara 1:

  • Paket buku-buku terbaru dari Penerbit Grasindo, senilai Rp.500.000

  • Voucher foto dari Papyrus Photo, senilai Rp.350.000

  • Uang tunai dari Dedydahlan.com, senilai Rp.250.000

  • Paket Domain & Hosting PremiumIndoA 1 tahun, dari Qwords.com

Juara 2:
  • Paket buku-buku terbaru dari Penerbit Grasindo, senilai Rp.500.000

  • Voucher foto dari Papyrus Photo, senilai Rp.350.000

  • Paket StandardIndo 6 bulan + Domain 1 tahun, dari Qwords.com

Juara 3:
  • Paket buku-buku terbaru dari Penerbit Grasindo, senilai Rp.500.000

  • Paket Starter 6 bulan + Domain 1 tahun, dari Qwords.com


INFO EVENT
  • Semua pertanyaan yang berhubungan mengenai event ini, dapat ditanyakan melalui email: ask.event@kitareview.com

  • Bagi Anda yang kesulitan mendapatkan buku ‘Start Young’ di toko buku, Anda dapat memesannya melalui email: book.startyoung@kitareview.com

  • Seluruh peserta diharapkan untuk terus mengecek halaman ini, agar dapat mengikuti perkembangan terbaru apabila ada update mengenai event.

01 Maret 2010

Sebuah Pertunjukkan

Be yourself.

Kalimat ini sungguh familiar. Terdengar di mana-mana, diucapkan banyak orang, di banyak tempat. Kita mungkin telah mengenalnya, jauh sebelum bisa mengucapkan dan mengerti artinya dengan benar. Entah jenius mana yang menemukan rangkaian kata ini pertama kali. Tapi, aku yakin, ia mengeluarkan pikiran ini karena manusia kadang lupa untuk menjadi dirinya sendiri dalam kehidupan sehari-hari.

The life we’re living, it’s all a masquarade. Hidup ini bak pesta topeng. Lagu lama yang telah dinyanyikan puluhan bahkan ratusan kali. Pagi hari, ketika kita memutuskan memakai baju tertentu, kita siap untuk berpesta di panggung besar bernama dunia dengan skenario kehidupannya. Kita tampil menjadi wanita kuat, meskipun semalam air mata tertumpah di atas bantal. Kita siap menjadi seorang yang disibukkan pekerjaan dan terlihat smart, meskipun di saat sendiri, kita merutuki diri sebagai manusia paling bodoh dan paling malang sejagat raya.

Lalu kapan kita benar-benar jujur menjadi diri sendiri? Saat merasa tak ada seorang pun melihat kita? Saat di kamar mandi? Oh, yeah, aku yakin setiap orang pernah mengalami fase ‘melarikan diri dari dunia dan pergi ke kamar mandi’. Untuk menangis, atau hanya sekedar mencuci muka agar emosi menjadi reda. Lalu melihat cermin, berusaha mengenali diri kita kembali. Namun bayangan di cermin hanya mampu memberikan wajah dengan ekspresi yang sulit untuk dijelaskan – amarahkah itu? Atau kesedihan?

Keluar dari kamar mandi, kita kembali bersandiwara. Pertanyaan, “kamu nggak apa-apa?” takkan dijawab, “aku jelas APA-APA, aku bahkan hampir gila!” meskipun dalam hati kita menjerit-jerit setengah mati. Tidak, kita tetap berusaha tesenyum dan berkata, “nggak… nggak apa-apa.” Setengah untuk menguatkan diri, setengahnya karena drama yang sedang dimainkan tidak membutuhkan aktor/aktris pengecut dan cengeng. Mainkan atau menyingkir dari sini!

Barulah, ketika semua orang telah pulang, ketika kita kembali sendirian di kamar, kejujuran itu akan tergali lagi. Emosi yang terserap sepanjang hari diputar ulang hingga pikiran kita menjelajah waktu; mengorek-ngorek masa lalu kemudian mengerutkan kening untuk mencari cara mempertahankan diri di masa depan.

Beruntunglah mereka yang memiliki orang-orang tercinta. Karena semua kegilaan dari akting semu itu hilang begitu saja saat memandang wajah polos anak-anak dalam kedamaian mimpi masa kecil mereka. Atau sekedar ucapan selamat tidur dari kekasih yang terpisah jarak. Bahkan dengkuran halus ayah dan ibu yang menandakan nafas mereka masih ada untuk mencintai kita di usia yang tersisa.

Beruntunglah mereka yang mengenal Tuhan. Karena dengan curangnya kita selalu menjadikan Ia sebagai pelarian terakhir. Ah, memangnya mau ke mana lagi? Tempat terbaik untuk melepaskan segala topeng, kostum dan kebohongan hanyalah saat kita benar-benar menghadirkan diri di hadapan-Nya. Raga mungkin diam, tapi hati meleleh, mencair dan mengalir deras seiring do’a dan permohonan untuk keluar dari segala himpitan.

Lalu berusaha memejamkan mata. Dan kembali memakai kostum sandiwara keesokan harinya.

Kurasa, kita memang tak bisa menjadi diri sendiri sepanjang waktu, 24 jam setiap hari. Tak ada cerita mempertahankan ego sebesar planet Jupiter dengan pembenaran ‘inilah aku apa adanya’. Ada bagian yang harus ditunjukkan, ada yang harus disembunyikan dan ada yang harus diubah. Living wild and free sebagai ekspresi kemurnian diri tetap mengikuti takaran ‘seberapa wild’ dan ‘seberapa free’ karena kita bukanlah binatang yang tak tahu aturan.

Kita manusia. Dan kita memang memiliki peran dan skenario masing-masing dengan agama sebagai panduan. Tinggal pilih, menjadi protagoniskah? Atau antagonis? Atau jadi penonton apatis yang tak mau terlibat apapun?

Hanya nurani yang tahu jawabannya.

Gambar diambil dari

15 Februari 2010

Tak Sekedar Memberi


Sore hari, saat warung Mimi sedang sepi pembeli, tiba-tiba sebuah motor menepi. Gadis pengendara motor itu menyerahkan bungkusan plastik besar pada Mimi.

"Siapa itu, Mi?" Tanyaku.
"Itu anaknya langganan Mimi," jawabnya sambil membuka plastik yang ternyata isinya sekumpulan kantong plastik bekas kusut. Dengan telaten, Mimi merapikan satu persatu plastik itu meskipun raut wajahnya terlihat tak suka.

"Mimi nggak berani ngasih rujak pake kantong plastik kayak gini, nanti disangka nggak menghargai pembeli," ujar Mimi. Kantong-kantong itu memang sangat kusut dan beberapa malah terlihat kotor. "Disangkanya kita nggak sanggup beli plastik ya, Nok. Padahal kantong plastik kayak gini dua ribu lima ratus udah dapat dua," sambung Mimi sambil menunjuk satu pak kantong plastik hitam baru.

Akhirnya, ghibah jadi tak terhindarkan....

Hmmm.... Aku menceritakan kembali di sini agar kita bisa sama-sama mengambil pelajaran.

Ibu yang memberi plastik itu, sebut saja Ibu A, hidupnya sangat berkecukupan. Dia sering memesan masakan khusus pada Mimi, misalnya pepes rajungan, sop ceker, pepes ikan kembung, dan lainnya. Yang Mimi keluhkan, si Ibu ini suka banget menawar. Padahal Mimi sudah mempertimbangkan harga tanpa mengambil untung banyak.

Contoh, untuk pepes ikan kembung yang harga ikan mentahnya aja Rp 10.000,00 setengah kilo (kira-kira sebanyak 7 ekor), satu bungkus pepesnya Mimi jual Rp 2.000,00. Wajar, kan? Ditambah bumbu, daun pisang pembungkus, bahan bakar dan tenaga, secara keseluruhan, Mimi hanya mengambil untung kurang lebih Rp 3.000,00 aja. Bagiku itu udah murah. Tapi, Ibu itu nggak mau tahu, ia keukeuh menawar sebungkusnya Rp 1.750,00. Mimi geleng-geleng kepala. Seberapa berartinya, sih, Rp 250,00 untuk orang sekaya dia?

Aku mendengar cerita Mimi sambil memperhatikan plastik-plastik yang tengah dirapikannya. Di antara plastik itu, selain berlogo nama-nama supermarket atau minimarket terkenal, terselip juga kantong besar dari Holland Bakery dan Dunkin Donuts. Aku nyengir masam, berpikir, apakah si Ibu A itu juga menawar harga sebuah donatnya jadi Rp 3.000,00 perbiji? Apalagi dengan ukuran kantong sebesar itu, minimal ia harus membeli setengah lusin donat.

Ironis, ya? Untuk membeli produk kapitalis yang pemiliknya udah jelas-jelas kaya, kita bersedia merogoh kocek tanpa pikir ulang. Tapi, saat membeli produk pedagang kecil seperti Mimi, kita tawar-menawar setengah mati. Yah, kecuali kalo harganya memang sengaja untuk ditawar seperti Malioboro atau Pasar Baru Bandung, sih....

Di lain waktu, si Ibu A pernah memberikan dua buah ayam goreng bagian dada pada Mimi. Setelah dicicipi, ayamnya ternyata 'beraroma' minyak tanah cukup menyengat. Dede Rusdy yang ikut mencicipi malah ngomel karena disangkanya Mimi yang memasak ayam rasa minyak tanah itu. "Mungkin ayamnya jatuh atau gimana, ya, Nok. Duh, pengennya suruh si Ibu itu makan sendiri aja."

Untuk ayam goreng dan sekumpulan plastik kusut yang diberikannya, aku tahu niat Ibu A baik. Dipikirnya, daripada dibuang, mungkin berguna untuk pedagang seperti Mimi. Tapi, kalau memang sudah berniat akan memberikan plastik-plastik itu, apa salahnya jika terlebih dahulu dilipat dan disimpan dengan rapi, dipisahkan palstik yang sudah sobek dan kotor, jadi si penerimanya juga senang. Dan makanan yang memang sudah tidak layak makan, bagiku tak ada jalan lain kecuali membuangnya. Kalaupun sebelum dibuang ada yang meminta, jelaskan dulu padanya kondisi makanan itu bisa membawa penyakit.

Dalam memberi, dibutuhkan lebih dari sekedar niat baik. Perhatikan juga barang yang akan kita berikan, jangan jadikan orang yang tak mampu sebagai 'tempat sampah'!. Cara memberikannya juga harus baik, jangan sampai menyinggung perasaan atau harga dirinya. Oh, ya, manusia kecil seperti kami juga punya perasaan dan harga diri!

Gambar diambil dari api.ning.com

03 Februari 2010

Oscar, Kucing yang Mampu Memprediksi Kematian


He's soooo cute, isn't he?

Oscar adalah kucing yang diadopsi dari tempat penampungan hewan dan dibesarkan sebagai therapy cat (kucing yang kadang digunakan oleh pihak rumah sakit untuk menenangkan pasien, terutama anak-anak, yang dirawat di sana) di Steere House Nursing and Rehabilitation Center di Providence, Rhode Island. Namun saat umurnya enam bulan, staf di sana menangkap kebiasaan aneh Oscar: si imut ini selalu tidur melingkar dengan pasien yang akan meninggal. Ia seolah bisa 'merasakan' pasien mana yang akan menemui kematian lebih dulu. Kebiasaannya ini menjadikan Oscar dijuluki malaikat kematian berkaki empat. Hingga saat ini, Oscar bisa memprediksi 50 kematian secara akurat (!).

Oscar bahkan pernah 'diuji'. Ia ditempatkan bersama seseorang yang sakit parah hingga diperkirakan usianya tak lama lagi. Namun Oscar menolak, ia malah pergi lalu berbaring di tempat tidur pasien lain. Dan terbukti, pasien yang ditemani Oscar memang meninggal lebih dulu.

Dr. David Dosa, yang menuliskan kemampuan Oscar dalam sebuah paper yang diterbitkan New England Journal of Medicine tahun 2007, mengatakan bahwa ia tidak bermaksud menjadikan Oscar terdengar sebagai kucing yang menyeramkan atau menjadikan kedatangannya ke sisi tempat tidur seseorang mendapat respon negatif. Melalui bukunya "Making Rounds With Oscar: The Extraordinary Gift of an Ordinary Cat", Dr. David Dosa berharap kebiasaan kucing ini bisa dilihat dari sudut pandang yang lebih baik, terutama bagi keluarga pasien. Dengan adanya Oscar, pasien yang diperkirakan akan segera meninggal bisa didampingi orang-orang tercinta yang memberikan kasih sayang dan perhatian penuh di saat-saat akhir hidupnya.

Subhanallah.... Emang agak-agak gimana... gitu membaca berita tentang si Oscar ini; antara menyeramkan dan takjub. Tapi Dr. Dosa (btw nama koq dosa, sih? :D) benar, kita bisa mengambil hikmah dari kemampuan Oscar ini. Andaikan pasien itu muslim, keluarganya bisa membimbing si sakit untuk mengisi saat-saat akhir hidupnya dengan lafadz ilahiyah. Dan itu membuatku berpikir, jika Oscar datang dan aku tahu hidupku tak lama lagi... akankah aku lebih berani dan ikhlas menerima kedatangan sang malaikat pencabut nyawa? Ya Allah, semoga hidupku husnul khatimah... Amin....

Sumber: news.yahoo.com

28 Januari 2010

Tentang Mimi

Selapis dingin masih tergantung di udara luar, sisa hujan sore tadi. Siapapun hanya ingin bersembunyi di balik selimut hangat dan benderang lampu di dalam rumah yang nyaman. Namun, ketukan pelan di pintu kosku memberitahu tentang kedatangan seseorang istimewa di baliknya. Lirih ia memanggilku agar –jika aku tengah tertidur- suaranya tak menggangguku. Lekas kubuka pintu dan menyambut perempuan istimewa setengah baya itu.

Ia langsung membuka jilbabnya dan rebahan di kasurku. Aku sedikit tersenyum, agaknya suasana hati Mimi , panggilan ‘ibu’ untuknya, sama tak nyamannya dengan udara dingin di luar.

“Mimi tadi pagi ke sini, nggak?” Tanyaku, khawatir tak mendengarnya datang saat aku tengah mandi. Mimi selalu mengantarkan sarapan untukku tanpa mau dibayar. Sederhana, memang. Nasi jamblang khas Cirebon, nasi kuning, nasi uduk, lontong sayur, atau kadang saat Mimi sedang berhemat, ia memasakkanku nasi goreng tanpa lauk, yang membuatnya tak enak hati. Ah, semoga Allah memberkahimu, Mi… Setiap butir nasi yang Mimi sediakan telah menguatkan tubuhku untuk memulai aktivitas hari itu.

“Nggak, Nok. Tadi pagi ibunya Mamak jatuh di kamar mandi, jadi Mimi ke sana dulu.”

Mamak merupakan panggilan untuk suami Mimi. Ibunya yang telah sepuh tinggal di rumah berjarak tak seberapa jauh dari rumah Mimi, ditemani salah seorang putranya, kakaknya Mamak. Namun, saat kejadian itu, sang putra tengah mengunjungi anaknya yang telah berumah tangga. Mimi membatalkan rutinitasnya ke pasar untuk mengurus ibunya Mamak.

“Sekarang di rumah sakit?”

“Diurut aja, Nok. Saudara-saudaranya Mamak juga datang, termasuk yang dari Villa Intan.” Mimi terdiam sejenak. “Tadi Mimi baru jualan jam setengah sebelas, Nok. Tadinya ragu mau jualan atau nggak. Tapi, dipikir-pikir ngapain juga diam di rumah. Ya, wis, jualan aja.”

Mimi berjualan rujak (semacam gado-gado) di sebuah warung sederhana di dekat kosku. Di situlah pertama kalinya aku mengenal Mimi. Warung tanpa dinding, beratapkan terpal plastik warna biru yang telah bocor di beberapa titik. Sebagian jualannya disimpan di sebuah roda tua. Sebagian lagi disimpan di atas meja panjang yang dilengkapi bangku untuk tempat makan para langganannya. Musim hujan seperti ini, Mimi harus tutup lebih cepat karena warungnya diciprati butiran air tanpa ampun. Allah Maha Baik dengan menurunkan hujan di sore hari, jadi Mimi masih bisa berjualan dari pagi hingga waktu Ashar.

“Tadi tuh, Nok, sampai sore Mimi cuma dapat empat puluh ribuan. Eh, tau-tau datang mobil, parkir di depan warung, isinya penuh anak-anak sekolahan. Ya udah, pada minum kopi sama kerupuk dan roti, jadinya dapat lagi dua puluh dua ribu, Alhamdulillah….”

“Anak-anak sekolah minum kopi?” Tanyaku bingung membayangkan anak-anak berseragam SD atau SMP menyeruput kopi di warung.

“Iya, seumuran Rusdy gitu, Nok. Nggak tahu lah, mungkin anak kuliahan.”

Oh…. Rusdy itu putra Mimi paling bungsu, yang juga kuanggap adikku. Ia tamat SMA tahun kemarin dan sekarang bekerja di sebuah minimarket. Meskipun jahil, dia baik dan penurut. Dia sering bilang aku kakak yang menyebalkan karena bisa lebih jahil darinya, hehe…. Putra Mimi ada tiga orang; yang sulung, Mas Dwi, merupakan anak dari suami pertamanya yang meninggal karena kecelakaan saat mas Dwi baru lahir; Rusdy dan kakaknya, Mas Tris, adalah putra dari Mamak. Aku paling dekat dengan Rusdy, dia yang suka mengantarku ke mana-mana (termasuk ke salon ^_^) atau menjemputku di terminal saat aku pulang malam setelah mengunjungi kakakku di luar kota.

Well, kembali ke Mimi. Rata-rata Mimi mendapatkan hasil sekitar tujuh puluh ribu rupiah perhari. Setelah dipotong untuk belanja bahan-bahan rujak untuk jualan keesokan harinya, membayar kue-kue atau gorengan titipan, es balok, dan kreditan barang-barang seperti gelas, sandal dan segala macamnya, barulah Mimi membeli beras dan lauk untuk makan malam dan sarapan, termasuk untukku. Kadang, saat aku makan atau ngemil di warungnya, Mimi mematok harga sekenanya alias murah banget. Aku suka memaksa agar ia menerima uang lebih, tentu saja. Yang kadang ia kembalikan ke dalam dompetku dengan tak kalah paksa. Saat aku pulang ke Bandung atau ke tempat kakak, Mimi akan membekaliku oleh-oleh khas Cirebon, seperti kerupuk melarat atau intip buatan orang Gunung Jati. Dan nantinya Mama akan balik membekaliku oleh-oleh untuk Mimi.

Winda, calon ibu pejabat yang dulu satu kos denganku sampai nyeletuk, “dasar kamu anak kesayangan Mimi.” Hehehe…. Rusdy pun kadang ngiri juga karena Mimi suka menyimpan lauk lebih banyak untukku. “Mentang-mentang anak cewek, lebih disayang,” omelnya.

Ya, Mimi adalah ibu lain yang kumiliki di sini. Aku tak ingat lagi bagaimana semua mengalir hingga aku menjadi dekat dengannya. Tapi yang jelas, aku tahu Allah begitu Maha Kasih hingga Ia menjagaku melalui rasa sayang Mimi di sebuah kota yang sebelumnya sama sekali asing buatku. Saat aku sakit atau tak enak badan, saat aku ingin berbagi kebahagiaan, bahkan saat aku patah hati, ada pelukan dan tangan-tangannya yang tak halus namun penuh cinta terulur untukku. Alhamdulillah….

“Mimi nggak pengen makan?”

“Makan apa, Nok?”

“Enaknya apa, ya… Duitku juga dah abis, Mi,” kataku nyengir.

“Mie ayam di seberang, cuma empat ribu.”

“Yuk!”

Kami pun menembus sisa hujan, menikmati semangkuk mie ayam dan segelas teh panas, menu yang tak biasa untuk makan malam Mimi. Tak banyak kemewahan yang bisa kuusahakan untuknya. Tapi ‘menikmati’ wajah Mimi yang asyik menyeruput mie merupakan hadiah indah untuk mengakhiri malam itu. Kalau udah gajian, insya Allah menunya martabak manis kesukaan Mimi, ya!

22 Januari 2010

Obsesi Terbaru (Ga Dosa, Kan?)

Awalnya, perasaanku masih biasa-biasa aja. Iya, sih, ada rasa suka melihatnya yang begitu indah namun tak pernah sanggup kumiliki. Tapi, entah kenapa akhir-akhir ini ia selalu datang menggoda pikiranku. Seakan ia memanggil-manggil, bahwa ia kini bersedia untuk menemaniku, menebus kesombongannya di masa-masa dahulu saat aku hanya mampu menatapnya tak berdaya, sebelum Mama menarikku menjauh dan memaksaku melupakannya.

Dialah Barbara Millicent Roberts alias BARBIE! Heuheu.... :D

Terlepas dari pro kontra tentang pengaruh negatif boneka cantik ini terhadap anak-anak, aku memiliki sudut pandang tersendiri tentang Barbie. Bagiku, ia merupakan sebuah karya indah, hasil kreativitas para pembuatnya, Harold Mattson serta pasangan suami istri Ruth & Elliot Handler (perusahaan Mattel yang memproduksi Barbie berasal dari singkatan nama MATTson dan ELliot). Maksudku, liat, deh, keindahannya yang dibuat detail banget. Dari mulai gaya rambut, warna lipstik, baju, aksesoris, sepatu. Butuh kerja keras dan kreativitas tinggi untuk menciptakan mainan secantik itu. Dan selain faktor keindahan, aku juga membutuhkan Barbie sebagai seorang teman curhat.

Haaa??? Serius lo, Mid???

Hehe.... Tenang... tenang... Aku masih normal koq, alhamdulillah. Mbak Mut2 sampe nanya, apa belom cukup semua teman dan blog yang kumiliki untuk dijadikan tempat curhat? Hmm.... Gini, deh... Aku sangat sangat berterima kasih dan bersyukur atas keberadaan semua keluarga dan teman yang kumiliki. Tapi, dalam keadaan tertentu, aku benar-benar ingin bicara sesuka hati tanpa harus membuat teman bicaraku jadi bosan atau bete. Kalian kan tidak bisa stand by untukku sepanjang waktu 24 jam? Nah, boneka ini bisa.... Tadinya terpikir olehku untuk membeli boneka kucing (boneka kucing kembarku ketinggalan di Jogja, hiks....). Tapi, aku membutuhkan girls talk. Jadi, lebih cocok kalo aku 'ngobrol' (lebih tepat disebut monolog, sebenarnya, ya, hihihi...) dengan cewek daripada dengan kucing. Maka, pilihanku jatuh pada si cantik ini.

Membeli boneka Barbie asli menjadi salah satu resolusi tahun ini. Yup, harus yang asli! Mungkin bagi yang lain rasanya ga penting. Itu relatif, sih. Alasanku adalah mimpi. Mimpi masa kecil. Dan insya Allah tahun ini aku merasa sanggup mewujudkannya (meskipun harus jungkir balik dulu ngumpulin uangnya - maklum cuma tukang sablon ^_^). Ada memang seri Barbie yang dijual di Indomaret dengan harga di bawah seratus ribu, tapi terlalu biasa *belagu.com*.

Maka, aku berselancar ke sana kemari. Seri Barbie Dolls of the World bikin aku terpesona. Liat, deh seri Cina, Korea dan Rusia ini:




Gemesin banget! Harganya berkisar dari US$ 30 hingga US$ 125. Masih ada seri yang lain, bahkan ada seri Sumatra Indonesia yang memakai gaun biru selutut terbuat dari sejenis kain songket kecil lengkap dengan hiasan kepalanya (tapi wajahnya kurang meng-Indonesia, ya, hehe...)


Aku kembali mengubek-ubek dunia boneka dengan bantuan Mbah Google. Seri yang membuatku kembali terpesona adalah Barbie yang mengenakan gaun-gaun rancangan desainer ternama. Dan aku memutuskan, inilah Barbie yang akan kuperjuangkan (halah!!!):
Barbie ini dibalut gaun Vera Wang. THE Vera Wang. Setiap gadis Amerika sepertinya bermimpi untuk menikah dalam gaun rancangannya. Dan yang aku suka, saat diwawancara Oprah, tampilannya bersahaja tapi begitu elegan. Kalo aja dia mau ngerancang baju pengantin muslim ya.... *ngayal*. Mau aja kali, kalo ongkosnya cocok, hehehe.... Ah, kembali ke boneka ini. Again, the details! Sebagai seorang yang cenderung perfeksionis, aku suka banget melihat hasil karya yang dibuat begitu baik hingga ke detailnya. Brokatnya, renda dan pita yang sesuai skala, terlihat anggun, mewah, tapi tidak berlebihan. Meskipun tipe tubuhku yang bulat jelas ga akan cocok memakai model mermaid begini, hehehe.... (lagipula kan terbuka atasnya).

Lalu... lalu... Aku berpikir, alangkah cantiknya kalo ada Barbie dalam balutan baju pengantin muslim atau yang berkebaya. Voila! Sampailah aku di Arrosa....

Tapi yang lebih heboh, aku menemukan rancangan kebaya Barbie yang cantik-cantik di Link Barby. Awesome!!!



Hmm... dengan obsesi seperti ini, kurasa aku harus lebih banyak berinfak. Ga lucu kan, aku beli mainan semahal itu, tapi ada tetangga yang masih kelaparan.... Ah, dilema....

Koleksi Arrosa: http://www.arrosa.net/
Koleksi Barbie lengkap: http://www.angelicdreamz.com/
Koleksi Barbie dan kebaya Barbie: http://www.linkbarby.com/
Koleksi baju dan aksesoris Barbie murah: http://jualbarbie.blogspot.com/
Koleksi baju dan aksesoris Barbie murah: http://www.infinity-gift.com/
Koleksi baju rajutan Barbie: http//moms-idea.blogspot.com/

19 Januari 2010

Santapan Cinta


Biasaaaa... Kalo lagi butek, bacaannya yang agak ringan begini... Hehe...

Tadinya kupikir novel The Food of Love atau Santapan Cinta ini bergenre chicklit. Ternyata bukan. Ini novel roman tapi 'kemasan' dan desain sampulnya mirip chicklit. Mengambil setting Kota Roma yang klasik dengan kulinernya yang terkenal di dunia, cerita bergulir di antara satu cewek dan dua cowok yang terlibat cinta segitiga.

Tommaso Massi, adalah tipikal cowok Italia yang sering kutemui di cerita-cerita: tampan, menyukai sepakbola, tertarik menjalin hubungan singkat dengan turis-turis cantik dan romantis. Ia naksir Laura, cewek cantik dari Amerika yang sedang belajar sejarah seni di Roma. Saat Laura sedang menelpon temannya, Tommaso yang menguping pembicaraan mereka akhirnya mengetahui bahwa Laura ingin berkencan dengan seorang chef.

Tommaso kemudian membujuk sahabatnya, Bruno, untuk melakukan konspirasi (halah). Bruno merupakan salah satu chef di restoran Templi, restoran yang terkenal di kalangan atas Italia. Namun, tanpa sepengetahuan Tommaso, diam-diam Bruno juga jatuh cinta pada Laura. Namun, ia minder karena tak setampan sahabatnya. Maka, ia setuju untuk memasakkan makanan lezat bagi Laura -yang akan diakui Tommaso sebagai hasil kreasinya- sebagai ungkapan cintanya yang mendalam pada gadis itu. Dari sinilah konflik dimulai.

Aku membenci sekaligus mengagumi novel ini. Kok bisa?

Yep. Aku suka novel ini karena membahas kuliner khas Italia, terutama dari daerah Roma, secara mendetail. Jujur aja, selama ini aku bahkan ga pernah ingat nama-nama pasta, kecuali spaghetti dan lasagna. Begitu disebut fetuccini, misalnya, ga ngeh lagi yang bentuknya gimana, hehe... Begitu juga dengan kopi. Kupikir, espresso dan machiatto udah yang paling pahit. Ternyata ada lagi ristretti yang jauh lebih pahit dan kental hingga dijuluki 'adrenalin cair', wewww... (kalo minum itu pasti lambungku langsung ngamuk).

Melihat nama pengarangnya yang berbau Italia, kupikir pastilah dia lahir dan besar di sana, jadi bisa menulis seluk-beluk Italia dan makanannya dengan sangat baik. Ternyata, dia lahir di Uganda, sodara-sodara! :D Dia juga kuliahnya di Oxford. Dan setelah mikir lagi (kegiatan yang jarang kulakukan sejak lulus kuliah, hehehe...), aku yang lahir dan besar di Bandung pun belum tentu bisa menulis kuliner dan seluk-beluk Jawa Barat sebaik itu. So, salute to Mr. Capella!

Tapi, aku juga benci novel ini karena membuatku bosan di tengah-tengah cerita. Puncak konfliknya diulur-ulur terus dengan adegan-adegan memasak dan adegan percintaan yang vulgar (yeah, namanya juga bule yang nulis). Penyelesaiannya juga kurang seru. Meskipun bisa ditebak ceritanya bakalan happy ending, setidaknya aku berharap sesuatu yang lebih mengejutkan telah menantiku di akhir... Yang ternyata tidak.

Ya, setidaknya melalui buku ini, wawasanku mengenai negeri Italia jadi bertambah. Jadi, ga terlalu mengecewakan lah.