Wilujeng Sumping...

Ini blog seorang mida, yang -seperti manusia lainnya- punya banyak kisah dan masalah untuk diceritakan dalam perjalanan hidupnya. Silakan masuk, duduk di mana aja dan baca-baca sesuka hati. Mau teh atau kopi? ^_^

24 Juli 2009

Memorable Moments at Gede Mountain

Wew... Lama banget ga ngeblog...
Gara-gara manajemen waktu yang amburadul, susye ngatur kerjaan sama kesenangan....

Jum'at, tanggal 3 Juli malam hari... setelah saling tunggu-menunggu ga jelas, aku dijemput Vira di pintu tol Cileunyi, Bandung. Ajegile... Mobil Ford Everest punya kantor yang ngejemput ternyata penuh barang buat peserta trekking. Akhirnya kita duduk berdesak-desakan. Putri yang terlebih dulu dijemput di Jatinangor Square sampe harus duduk miring gara-gara space kursi di tengah ga cukup buat berempat, hehehe... Lumayan deh, selama tiga jam perjalanan ke Bogor kita serasa jadi tempe penyet. Begitu sampe di vila, rasanya lega banget! Istirahat sebentar, persiapan ini-itu, baru berangkat lagi ke basecamp Gunung Putri, tempat awal pendakian ke Gunung Gede.

Sampe di basecamp, mobil si bos dari Jakarta udah datang duluan, ditemani Gunle yang malang (selama event ini dia harus nemenin bos di mobil tambah bawa-bawa spanduk organisasi sepanjang pendakian, hihihi... Nasibmu, Nak!). Di basecamp juga sudah berkumpul para guide dan porter yang akan membantu pendakian, plus suguhan camilan+teh panas, menghangatkan badan dari serangan udara gunung tengah malam yang dingin. Basecamp Gunung Putri terletak di ketinggian sekitar 1850 mdpl. Nyampe sini, sinyal HP udah pada ilang ga tau kemana, hehe... Pada ga bisa update status FB tuh... :D

Gunle, pembawa bendera (maaf ya, Neng, Aa' Gunle-nya aku tampangin di blogku, hihihi....)

Sekitar jam 2 malam baru pendakian dimulai. Aku ada di grup enam, grup terakhir. Baru awal pendakian aja, aku udah nyesel setengah mati ga pernah olahraga. Tanjakan yang mudah aja udah bikin ngos-ngosan. Otakku jadi terlibat perang saudara, yang satu pengen tidur, yang satunya pengen membuktikan diri bisa menaklukkan gunung, hehe... lebay.co.id. Jadinya kakiku setengah diseret-seret biar mau terus jalan. Untung ada Yaroh, sobatku, my guardian angel, yang terus nyemangatin dan menjaga langkahku biar ga jatuh.... Huhuhu.... Luv u, Sis!

Pengennya, sih, pas sunrise kita ada di Puncak Gede.... Minimal di alun-alun Surya Kencana lah! Apa daya, dengan gaya jalanku yang kayak siput, ditambah tiap liat tanjakan rasanya pengen nangis melulu, baru menjelang tengah hari sampai di Surya Kencana. Tempatnya berupa padang yang luaaaasss... banget. Ditumbuhi banyak pohon edelweis dan dikelilingi gunung. Nyampe di tempat itu, aku agak kecewa.... Kirain bakal banyak bunga warna-warni kayak di Gunung Papandayan. Ternyata hanya rumput, semak dan edelweis.... Kalo ditambahin jerapah sama singa kayaknya serasa di Afrika, deh!

Dengan kaki dan punggung pegal-pegal, capek luar biasa, aku agak terganggu dengan kehebohan para cewek yang pengen difoto begini-begitu. Duh... pengen istirahat koq malah pada centil dan berisik! Sebel deh... Aku akhirnya menjauh dari rombongan dan entah kenapa tiba-tiba nangis.... Merasa terlupakan, merasa... aneh dan kesepian di tempat asing seperti itu.... Udah gitu, gara-gara terakhir makan nasi jam 5 sore sebelum pergi ke Bogor, lambungku tiba-tiba sakit. Lebih lengkap lagi, di perjalanan ke puncak, lensa kontakku copot sebelah. Mmmm... indahnya dunia....

Waktu aku nangis ternyata difoto...

Dari alun-alun Suryakencana menuju ke Puncak Gunung Gede sebenarnya udah deket, tapi tanjakannya.... masya Allah! Sampai ada yang dinamain tanjakan setan oleh para pendaki, hehehe... Ga ada datar-datarnya, nanjak terus, bos! Tapi begitu sampai di puncak (yang hanya berupa jalanan kecil di pinggir kawah), wowww!!! Kawahnya megah banget! Sang Pencipta alam memang Maha Besar dan Maha Indah!

Dari Puncak Gede, kami turun ke Kandang Badak untuk berkemah. Jalurnya mula-mula berupa turunan ekstrim dipenuhi batu dan kerikil muntahan kawah. Harus hati-hati melangkah, soalnya batu-batunya ga stabil untuk diinjak, jadi kita akan mudah jatuh terguling-guling (padahal di kiri-kanan jurang menganga). Setelah itu, kami kembali memasuki hutan, mirip dengan jalur pendakian Gunung Putri.
Tiba di Kandang Badak sudah malam, aku sempat dipijat refleksi untuk meredakan sakit lambung karena jika dibiarkan terkena dingin, katanya perutku bisa kram. Sampe mengaduh-aduh ga karuan, deh, pas dipijat, hehe.... Setelah makan malam (nasi+mie rebus instan+kornet+teh hangat), hampir semua peserta terkapar di tenda masing-masing.

Esok paginya, beuuuhhh... dalam keadaan dingin, aku menahan pipis (soalnya di kawasan berkemah ga ada toilet, hanya ada sumber air terbuka dibatasi tembok rendah). Terpaksa deh para cewek antri di semak-semak sambil bawa-bawa air di botol plus tisu basah antiseptik, hehe...

Sarapannya kembali nasi+mie rebus instan+kornet, tapi kali ini tambah sosis.

Dari ki-ka: Mumun, Yaroh, Shanty dan aku

Kami turun ke arah Cibodas sekitar pukul 7 pagi, melewati air terjun air panas (yang menurutku lebih mirip taman buatan di halaman rumah ^_^).

Rame-rame foto di depan air terjun mini ^_^

Setelah itu, ada lereng curam air panas. Hati-hati saat melangkah, selain batu-batu pijakannya licin, airnya juga terasa sangat panas saat menyentuh kaos kakiku. Di sepanjang 'penyebrangan' air panas itu, terdapat tali untuk membantu para trekker.

Perjalanan turun dilanjutkan ke Panyangcangan. Dari sini, terdapat belokan ke kiri menuju air terjun Cibeureum yang cantik. Langsung pada narsis dunk... jepret sana jepret sini... ^_^

Nampang bareng Putri dan Winda (trio chubby ^_^)

Puas bermain di air terjun, kami kembali ke Panyangcangan lalu menyusuri jalan jembatan kayu menyebrangi rawa-rawa. Berhenti sebentar di Telaga Biru (sayangnya kotor jadi terlihat butek), diteruskan melalui jalur undakan batu-batu kecil hingga ke Cibodas. Selama menuruni undakan-undakan itu, kaki rasanya sakit banget, udah pegel sisa kemarin ditambah telapak kaki menginjak batu-batu kecil... rasanya kayak pijat refleksi lagi, hehe....

Alhamdulillah sampai ke basecamp Cibodas sekitar pukul 13.00 WIB. Langsung dibagi kaos dan nasi padang yang udah disiapin Vira yang ga ikutan trekking. Nyammm...

[Sorry, last part of this post has been deleted]

Photos are courtesy of Nor Hidayatullah
'Breakfast' photo is courtesy of Shanty Mulandhary

09 Juni 2009

Nightmares in Bali

Satu hal yang teramat dirindukan selama di Bali adalah suara adzan. Syukurlah ada manusia bumi yang berinisiatif memasukkan fasilitas alarm ke dalam HP, hingga aku bisa bangun pagi meskipun sedang 'libur'. Mulanya agak-agak kehilangan orientasi gara-gara perbedaan waktu satu jam lebih cepat, tapi lama-lama terbiasa juga.

Sarapan pertama di hotel, aku bertanya bisik-bisik pada karyawan di situ apakah daging yang digunakan daging sapi? Dia tersenyum dan mengatakan bahwa masakan itu dari daging sapi dan dirinya juga muslim hingga aku tak usah khawatir dengan masakan di sana. Btw roti lilitnya enak banget... apa ya namanya? Diolesin salted butter, yummm... ^_^

Selesai sarapan, kami bertemu pihak Hotel Patra untuk mem-fix-kan beberapa hal (boring deh...). Kami juga memesan mobil sewaan untuk menjemput para bos di bandara. Begitu para pejabat itu datang, ternyata mobilnya jadi penuh dengan barang-barang bawaan mereka. Terpaksalah Mbak Muti dan Vira naik taksi, sementara aku terjebak sendiri di dalam mobil yang mengantar para bos ke hotel. Hwah, mati gaya, deh... Setelah berputar-putar ke Hard Rock lalu Aston, bosku yang sudah kupesankan kamar di Hotel Kartika Discovery malah langsung ke Hotel Patra untuk mengecek persiapan ruangan. Yah, dan mimpi buruk pun dimulai....

Pertama aku ditegur karena backdrop yang diantar ternyata dilipat, bukan digulung, hingga bos memaksa untuk menyetrika backdrop segede gaban itu agar terlihat rapi (akhirnya dipesan lagi backdrop yang lebih bagus dengan harga 3,5 juta di percetakan lain... Ye... salah sendiri, aku ga tau apa-apa soal percetakan di Bali mendadak dangdut disuruh pesen dari Cirebon, ketemu di internet yang harganya hampir sama dengan percetakan disini ya langsung pesen aja daripada telat). Udah gitu, aku ditegur lagi karena buklet workshop yang dibawa dari Cirebon ternyata potongannya ga rapi dan kurang kertas kosong. Aku kemudian ditugaskan mencari percetakan yang bisa membongkar semua buklet dan menjilid ulang dalam waktu semalam.

Diantar Bli Ketut Wira, aku mencari percetakan yang masih buka menjelang maghrib. Tiap nemu tanda percetakan langsung berhenti dan harus kecewa karena rata-rata percetakan di sana tutup jam 5 sore. Ada yang masih buka, ga punya alat buat ngejilid pake ring kawat. Setelah berputar-putar, ketemu tempat penjilidan yang masih buka di Denpasar. Mereka mematok harga dua kali lipat tambah uang lembur karena diperkirakan buklet selesai tengah malam. Karena pusing, aku menyanggupi.

Ketika kembali ke hotel, aku kembali ditegur bos karena harusnya aku menunggu hingga mereka menyelesaikan satu buklet sebagai contoh. Gila... Udah gitu aku lupa kalo kamar yang dipesankan untuk bos harusnya dikonfirmasi sebelum jam enam sore, kalo nggak, reservasinya bakal dihapus (secara harga kamar per malamnya setara gajiku sebulan). Mati... mati...! Dengan panik luar biasa, aku menelpon hotel Kartika yang ternyata bagian reservasinya udah tutup. Ketika tersambung dengan bagian resepsionis, bicaraku udah ga karu-karuan. Untunglah dia bilang kamarnya masih available... Alhamdulillah.... Kalo nggak, besoknya aku jadi pengangguran gara-gara bos ga dapet kamar. Fiuhhh....

Selesai dengan urusan hotel untuk bos, aku kembali diantar oleh Bli Ketut ke tempat percetakan. Karena bos tak ingin pemotongan kertas dilakukan dengan cutter manual, aku minta mereka mengerjakan ulang pembongkaran buklet agar bisa dipotong dengan mesin potong (yang ternyata masih manual juga). Menunggu hasilnya, Bli Ketut mengajakku makan di sebuah warung Jawa Timur yang ayam gorengnya enak banget. Sepanjang jalan aku dan dia jadi curhat-curhatan. Untunglah dia menghiburku hingga aku masih bisa ketawa-ketawa meskipun kepalaku rasanya udah penuh api dan asap (halah...).

Selesai makan, kami kembali ke tempat percetakan dan menunggu hingga buklet selesai. Lewat tengah malam, ketika seluruh buklet selesai dijilid ulang, kami langsung menuju Jimbaran untuk menempel stiker sponsor di bagian covernya. Aku mendapat sms bahwa bos ingin melihat buklet yang telah selesai. Busetttt....! Jam setengah tiga aku ke Hotel Kartika, cenga-cengo karena hotel udah sepi, tinggal beberapa bule masih kongkow-kongkow di lobby. Tengsin berat, aku menanyakan nomor kamar bosku ke resepsionis. Ampyun deh... disangka aku cewek panggilan kali ya, dateng jam segitu nanyain kamar bos...

Buklet s**lan itu jadinya masih amburadul karena pisau mesin potongnya tumpul. Bos melihat hasilnya dengan kecewa tapi tetap berterima kasih padaku (entah untuk apa). Jam tiga pagi aku kembali ke Hotel Patra dan menemukan Vira serta Putri tertidur di ruang Klungkung. Mas Santoso, yang membawa mobil dari Cirebon berisi barang-barang keperluan sekretariat tiba tak lama kemudian. Baru jam empat pagi kami pulang bersama-sama ke Palm Beach.

Bayangin, deh, harusnya sebelum jam delapan kami sudah stay tune di tempat workshop. Begitulah, kami semua bangun kesiangan.... Dan sepanjang hari itu (juga hari-hari berikutnya) semua berjalan kacau... Ada banyak kemarahan, emosi, stres, saling menyalahkan, kesalahpahaman... Hingga di hari terakhir workshop aku menyempatkan diri lari ke toilet buat nangis saking ga tahan lagi dengan semua kekacauan ini (cengeng, deh...). Acaranya terlalu dipaksakan dan anggotanya belum kompak, sementara para bos menginginkan perfection (not only excellence) hingga ke tiap detailnya (well, every boss acts like it, right?).

Sampai-sampai Pak Umar, driver dari kantor Cirebon yang sering mengantarku keluar-masuk percetakan, menghiburku dengan kata-kata bijaknya melihatku menahan amarah dan tangis begitu. Lillaahi ta'ala, katanya, pasti ada hikmah yang bisa diambil dari semua kejadian ini. Begitu pula Mama yang menghiburku lewat telepon. Alhamdulillah aku masih memiliki orang-orang tercinta di sekitarku.

Hari Sabtunya, karena semua workshop udah selesai, aku dan Mbak Mutia memutuskan memanjakan diri seharian. Tawaran bos untuk ikut rafting di Telagawaja kami tolak dengan mantap. Kami bangun siang, berfoto-foto di pantai, pergi membeli oleh-oleh ke Pasar Sukowati (naik taksi sampe kantong jebol), berdesak-desakan di Joger dan makan malam di mall Discovery. Seumur hidup baru kali ini, deh, nemu mall yang pintu belakangnya langsung ke pantai yang indah banget!

Ah sayang, besok paginya kami sudah berlari-lari di bandara kayak orang gila gara-gara telat check in, hampir ketinggalan pesawat. Udah gitu, cuaca buruk bikin pesawat goyang terus sampe Mbak Muti ga henti-hentinya komat-kamit berdzikir. Sampai di Cengkareng langsung carter mobil APV menuju stasiun Gambir. Berangkat setelah makan siang, kereta Cirebon Express yang kami tumpangi tiba di Cirebon sekitar pk. 16.30 WIB. Di dalam mobil menuju kantor, kami semua hanya bisa tertawa dengan penampilan kami yang kusut banget. Orang lain kalo pulang dari Bali bawaannya keren dan cerah ceria. Sementara kami pulang dengan wajah stres, kurang tidur dan sakit hati karena hampir seminggu berada di romantisme Bali tanpa pasangan.

Ah, Bali... Lain kali aku akan mengunjungimu dengan membawa cinta yang banyak, insya Allah... ^_^

Bali Blues

Tanggal 31 Mei, hujan turun dengan derasnya menjelang dini hari. Mataku kayak dilem, susah banget ngebukanya... padahal aku udah janji mau pergi ke kantor sebelum tengah malam gara-gara persiapan workshop gila itu (benci, deh, kalo mengingat pekerjaan yang dilakukan tanpa persiapan dan koordinasi yang cukup begitu). Akhirnya aku terjaga sekitar pukul 02.30, mengumpulkan nyawa lalu mandi dan membangunkan seseorang lewat telepon untuk sahur. Jam 03.30 baru aku berangkat ke kantor.

Di sana, kutemui wajah-wajah kuyu kurang tidur. Tak banyak yang bisa kulakukan gara-gara printer ngadat, padahal pekerjaanku banyak tergantung pada benda itu. Pukul 05.00 aku kembali ke kos untuk mengambil travel bag. Pukul 05.30, aku, Mbak Mutia dan Putri pun meluncur menuju Jakarta, mampir di kantor pusat di Patra Jasa untuk mengambil beberapa barang lalu ke bandara. Perasaanku campur aduk, antara kesal dan ngeri mengingat banyak pekerjaan yang belum terselesaikan, padahal kami hanya punya waktu satu hari lagi.

Gawatnya, tak ada seorang pun yang ngeh kami dipesankan pesawat apa. Begitu sampai di bandara, dengan terburu-buru kulihat amplop tiket dan muncul logo Lion Air. Tak banyak waktu lagi untuk check in, maka kami segera menuju terminal 1A dan shock melihat antriannya.... Gile... hari Senin begini orang-orang pada mau ke mana, sih?

Setelah antri lama, berpanas-panas ria dan perut keroncongan karena belum makan dari malam sebelumya, ternyataaa.... Mbak di counter Lion Air itu memberitahukan bahwa tiket Lion Air yang kami punya untuk penerbangan Denpasar-Jakarta, bukan sebaliknya. Penerbangan Jakarta-Denpasar ternyata menggunakan Batavia Air. Ah, monyong! Kami jadi berjalan tergesa-gesa menuju terminal 1B. Untunglah di sana tidak ada antrian. Selesai check in, kami langsung membeli donat sebungkus. Baru makan setengah biji, udah boarding. Nasib... Nasib....

Menginjak tanah Bali, koq rasanya biasa aja ya... Padahal ini pertama kalinya aku ke sana, lho! Yang tergambar di pikiranku malah pekerjaan dan pekerjaan. Dijemput oleh Pak Nyoman dan langsung diantar menuju hotel Palm Beach, hotel 'bunga' yang letaknya berdekatan dengan Holiday Inn. Kamar panitia di Hotel Patra Bali harus rela digusur gara-gara peserta workshop banyak yang menginginkan menginap di sana.

Tapi fasilitas kamar tetap oke, sih, menurutku. Ada AC dan bathtub dengan air panas. Cuma chanel TV-nya lokal (ga masalah, toh aku juga jarang nonton TV). Pemandangan ke swimming pool juga lumayan dengan pohon-pohon rindang tumbuh di sekitarnya.

Malam pertama di Bali.... Wkwkwkwk... kesannya...
Yupz, malam yang pertama di Bali ini aku dan Mbak Mutia kebingungan mencari makanan halal. Kami memutuskan berjalan kaki dan akhirnya menemukan rumah makan Padang yang pemiliknya orang Jawa, hehe... Jauh-jauh ke Bali makannya nasi Padang juga....

Acara berikutnya berjalan kaki menuju hotel Patra, melewati jalan setapak dengan lampu-lampu taman di Pantai Segara yang indaaaaaaaaah... banget. Agak menyedihkan, sih, seperti Harun bilang, ke Bali itu harus dengan pasangan. Suasana kafe dengan lampion-lampion dan lilin di pinggir pantai, alunan musik easy listening, kerlipan lampu-lampu di kejauhan, bintang-bintang di langit dan deburan lembut ombak, ya ampyunnnnnnnnn.... romantis banget.... Mana bule-bule itu juga pada berpasang-pasangan lagi.... Bikin ngiri aja...


Setelah mengecek barang-barang yang telah dikirim ke hotel dan mengecek ruangan untuk acara, kami kembali ke hotel Palm Beach. berusaha mengistirahatkan pikiran dan menyongsong esok yang penuh drama karena para big boss empunya acara akan datang menggunakan pesawat siang.

08 Juni 2009

Rafting di Ciberang



Hwaa... Hampir sebulan ini ga ngisi blog... padahal banyak banget yang mau diceritakan....

Cerita yang ini udah agak basi, sih, tapi nggak apa-apa lah... ^_^ Setelah gonta-ganti tanggal, akhirnya diputuskan tanggal 17 Mei 2009 lalu, kami berangkat ke Banten untuk rafting di Sungai Ciberang. Menjelang musim kemarau, grade sungai ini "cuma" 2 sampai 3+. Awalnya aku agak under estimate gitu, soalnya waktu rafting di Sungai Citanduy, Tasikmalaya, yang sungainya lebih dalam dan grade-nya lebih tinggi, pengarungannya kurang seru.

Dengan meminjam mobil kantor, kami berempat (aku, Mbak Mutia, Harun dan Irfan) berangkat dari Cirebon pk. 11.00 WIB, mengambil jalur Indramayu-Cikampek-Jakarta-Banten. Banyaknya perbaikan jalan membuat perjalanan terhambat karena terhadang macet. Kami akhirnya sampai di Jakarta menjelang sore. Menurutku, ibukota terlihat lebih indah kalo malam (ga terlalu sumpek, ga keliatan sampah-sampah dan manusia-manusia diburu waktu dan uang, ai... ai...). Aku sampai berkomentar bahwa aku lebih suka membesarkan anak-anakku kelak di kampung, bukan di kota besar yang sumpek dan materialistis seperti Jakarta. Biar dia masih bisa bermain di sawah, melihat kerbau dan malamnya mengaji di musala (yang langsung diketawain Harun dan Mbak Muti). Ye... namanya juga pendapat, boleh dunk... ^_^

Setelah keluar-masuk pintu tol, kami keluar dari tol Balaraja Timur menuju Takara Golf-Tenjo-Jasinga-Cipanas. Meeting point disepakati di basecamp Banten Rafting. Dari Cipanas ke meeting point, kami melewati pesantren modern La Tansa yang luasnya berhektar-hektar dan terletak di lembah sehingga mudah terlihat dari jalan, wuiiii.... Kayaknya asik juga tuh mondok di situ, asal kuat aja menahan keinginan ke mall atau bioskop XXI, hehe...

Kami tiba sekitar waktu Isya. Langsung disuguhi ubi rebus dan teh panas di saung-saung yang ada di basecamp. Dilanjutkan dengan makan malam ala Sunda (termasuk sambal dan karedok, nikmat banget!!!). Selesai makan, kami berendam di kolam Cipanas. Eh, lagi asik menikmati suasana Cipanas malah mati lampu, hahaha... Kasian yang lagi pada berendam. Tapi taburan gemintang di langit jadi terlihat jelas... Indahnyaaaaaaaa.... ^_^

Udah kenyang, udah berendam air panas, tinggal kantuk yang tersisa. Kami tidur di lantai atas rumah kayu milik Banten Rafting. Bergelimpangan begitu saja di lantai kayu, padahal dini hari udaranya dingin sampai kita menggigil... Tapi mata udah ga kuat melek lagi, hehe...

Minggu pagi... Rencananya, sih, kita mau jalan ke air terjun sambil menunggu rombongan dari Jakarta. Taunya, rencana tinggal rencana... Selesai sarapan, para cowok malah pada merem lagi... Jadilah aku sama Mbak Muti turun ke pinggiran sungai terus jadi banci tampil alias foto-foto, hihihihi... dasar centil! ^_^


Rombongan dari Jakarta baru sampai ke meeting point sekitar pukul sepuluh. Saat pemanasan, hujan turun tanpa diduga. Tapi ternyata Tuhan berbaik hati, begitu selesai pemanasan dan kami siap 'terjun' ke sungai, hujan berhenti dan cuaca menjadi cerah kembali, alhamdulillah...

Tak seperti Sungai Cimanuk Garut dan Citanduy Tasik yang airnya berwarna coklat, Sungai Ciberang terlihat jernih. Meskipun grade-nya rendah, ternyata jeram-jeramnya asik buat dilalui. Skipper-nya juga banyak yang iseng. Instruksi-instruksi yang diberikan malah sengaja membuat perahu kami menabrak batu, saling bertabrakan dengan perahu lain atau bahkan membalikkan perahu hingga semua rafter tercebur ke sungai. Saat games, aku juga sempat panik saat terjatuh dari perahu. Untungnya Harun yang sama-sama terjatuh mengingatkanku untuk tetap tenang dan mengingatkan posisi tubuh yang aman agar aku bisa terapung dengan life jacket yang kupakai, hehe... Jadi malu.... Soalnya ternyata sungainya lebih dalam dari yang kukira.

Setelah beristirahat menikmati kelapa muda dan games di tengah sungai, kami bersiap-siap melalui jeram yang tingginya lebih dari semeter, wuiii... deg-degan, deh! Tangan udah memegang tali perahu erat-erat, kaki udah berusaha rileks biar ga keseleo... begitu sampai di jeram langsung teriak sekenceng-kencengnya! Seruuu...! Tapi Indira yang duduk di sebelahku ternyata gusinya berdarah-darah gara-gara dia salah pegangan tali perahu. Waktu di jeram dia terdorong ke depan dan menabrak Harun. Alhasil, dua orang itu meringis kesakitan dan kita malah tertawa-tawa... abisnya gigi Indira sempat menancap di pundak belakang Harun, kayak drakula aja, hahaha....

Selesai rafting, kita 'rafting' di jalan. Sama ngerinya. Kita diangkut pake mobil bak terbuka, melewati jalanan rusak dan sempit sementara di kanan jalan banyak jurang menganga. Di sebuah tanjakan, mobilnya malah sempat mundur lagi karena ga kuat. Alhamdulillah selamat sampai di meeting point lagi hehe... Kalo nggak, aku ga bisa ngeblog lagi dunk... ^_^

Habis berendam (lagi) di Cipanas, rombongan kembali berpisah. Sampe di Cirebon jam 11 malam... Sialnya kosku udah dikunci pintu masuknya. Duh... duh... kesel banget, deh... Udah capek, kekunci di luar, nelpon temen kosku juga ga diangkat-angkat. Untungnya, setelah bertanya sana-sini, aku mendapat nomor mas Slamet yang jaga kos. Pfff... akhirnya bisa tidur di kamar... lumayan bisa tidur beberapa jam sebelum masuk kerja lagi jam 7 paginya... ^_^

15 Mei 2009

Cinta Atau Sayang?



Kemarin Mimi bertanya padaku, "Milih mana, Nok, cinta atau sayang?"

Tanpa pikir panjang, aku menyahut, "Sayang!"
Mimi mengangguk. Sebenarnya aku sudah tahu alasannya, tapi tetap kutanyakan lagi, hanya untuk menghilangkan rasa penasaran, "Emang bedanya di mana, Mi?"

"Cinta itu bisa habis," jawab Mimi dengan mata menatap ke kejauhan. "Daripada cakep tapi cintanya cepat habis, mending yang jelek tapi sayang...." Aku terkekeh mendengarnya. Ya, aku telah belajar, jauh sebelum aku bertemu dengan sosok ibu yang kupanggil Mimi, bahwa cinta memang bisa luntur dan akhirnya habis. Tapi rasa sayang, menurutku, nyaris tak berbatas dan abadi....

Kisah cinta Mimi adalah salah satu buktinya. Suami pertama Mimi meninggal karena kecelakaan, beberapa hari setelah Mimi melahirkan putra pertama mereka. Aku membayangkan (biassaaa... drama queen gitu loh! Hehe...), Mimi muda pastilah amat menderita karena tiba-tiba kehilangan 'pegangan'. Hampir seluruh harta benda diambil oleh pihak keluarga almarhum suaminya (yang menurut Mimi memang tidak pernah menyetujui pernikahan mereka), padahal bayi yang baru lahir jelas membutuhkan biaya banyak. Untunglah masih ada simpanan kalung yang tersisa. Dengan modal itulah Mimi berjualan rujak.

Ternyata datang seorang laki-laki yang menyayangi Mimi dan putranya. Mulanya Mimi tak memiliki perasaan apapun padanya. Namun, kebaikan hati laki-laki itu meluluhkan hati Mimi, dan itu bukanlah cinta. Semuanya berawal dari rasa iba yang tumbuh menjadi sayang. Lihatlah, pernikahan mereka tetap awet hingga usia senja. "Kayak kakak-ade," tambah Mimi tersenyum.

Sedangkan pasangan yang mulanya dilanda cinta menggebu, dalam hitungan tahun, bahkan mungkin bulan, tiba-tiba berpisah seolah perasaan berbunga-bunga yang dulu pernah ada menguap begitu saja tanpa jejak.

Iya, cinta akan mempermanis sebuah hubungan, tentu saja. Hampir semua pasangan yang ada di dunia mengawali kisahnya dengan rasa cinta dan itu sungguh indah. Tapi, lagi-lagi menurutku, perekatnya adalah sayang. Dengan rasa sayang, setiap pasangan akan bertahan, menerima, memaafkan dan menumbuhkan lagi kebahagiaan. Di atas kebahagiaan itu akan tersemai kembali rasa cinta. Ketika cinta mulai jenuh dan membeku, rasa sayanglah yang akan membuatnya kembali penuh dan hangat.

Andai saja... Andai saja ada seseorang yang mampu mencintaiku dan mengikatku dengan rasa sayang seperti itu. Dan andai aku mampu mencintai dan menyayanginya dengan cara yang sama...

Sudahkah kalian menemukannya? :)

Sumber foto: lupa, euy! :D

11 Mei 2009

Inilah Jalan yang Kupilih!

Banyak yang bingung dengan jalan pikiranku, beberapa mengatakan mereka tak bisa memahamiku. Padahal, begitu sederhana sebenarnya. Hidup hanya sekali, jika kita menjalaninya dengan sebuah keterpaksaan, tak sesuai kata hati, kita tak akan memiliki kesempatan untuk mengulang hidup dari awal lagi. Ya, kadang kita memang perlu berkompromi dan melakukan sesuatu yang tak sesuai keinginan demi kebaikan yang lebih besar, tapi ada kalanya kita harus bertindak ekstrim untuk meraih yang dicita-citakan. Dan cita-citaku mudah saja: aku ingin bahagia dengan caraku.

Itulah yang mendorongku meninggalkan kuliahku di sebuah perguruan tinggi yang (mungkin) merupakan Institut Terbaik Bangsa. Aku telah berusaha menjalaninya selama tiga tahun dan selama itu pula aku tertekan. Mulanya, seperti banyak remaja sekolah lainnya, aku kadang memang masih plin-plan menentukan pilihan. Ingin menjadi sinematografer (karena keliatannya keren :p), desainer interior, dokter hewan, hehe... namun tak sekalipun terbersit keinginan menjadi engineer. Ketika mengatakan keinginanku untuk sekolah sinematografi di Jakarta, orang tuaku keberatan dengan biayanya yang, untuk ukuran keluarga pas-pasan seperti kami (pas butuh pas ada, hehe...), teramat mahal.

Akhirnya aku disarankan masuk perguruan tinggi negeri yang biayanya lebih murah (zaman angkatanku, biayanya masih di bawah Rp 500.000,00/semester!). Dengan memilih jurusan yang tidak banyak saingan (satu-satunya PTN yang memiliki jurusan itu hanya ada di Bandung) dan kesempatan mendulang dollar jika diterima bekerja di perusahaan asing, aku bisa sekolah lagi di sekolah manapun dengan uangku sendiri.

Itulah kesalahan pertama yang kubuat. Aku kuliah disana tidak dengan niat untuk meraih ilmu dan mengamalkannya. Aku hanya melihat iming-iming materi yang bisa kuperoleh jika aku lulus dari sana. Akhirnya, aku jadi merasa terjebak dalam ironi. Untuk pertama kalinya, aku takut menjadi kaya. Aku banyak menemukan orang-orang yang sukses secara materi menjadi kurang sensitif dengan kehidupan 'kelas bawah', betapa orang-orang kaya semakin sibuk dengan kekayaannya, semakin tak mengenal kaum miskin yang sebagian rezekinya dititipkan pada mereka. Betapa mereka memiliki rumah indah, anak-anak yang lucu, tapi banyak ditinggalkan demi tuntutan pekerjaan. Apa yang sebenarnya mereka kejar dengan gaji setinggi itu?

Hal ini diperparah dengan minatku yang lebih cenderung ke arah seni (meskipun tidak berbakat ya, tolong dicatat :p) dan benci setengah mati pada Fisika. Dosen-dosenku mungkin heran, soalnya pas ujian, kadang aku tak mengerjakan jawabannya, malah sibuk menggambar kucing, hihihi.... Aku masih bisa menikmati Matematika, tapi merasa nggak punya urusan dengan Bernoulli, Darcy, atau tetek bengek sumur pemboran :D

Harus kutekankan, aku tidak mengatakan bahwa semua yang kudapatkan di sana itu buruk. Sama sekali tidak. Aku bisa bertahan kuliah di sana selama tiga tahun karena aku memiliki teman-teman yang teramat baik (love them so much!) dan lingkungan yang menyenangkan. Hanya saja, aku merasa itu bukan jalanku. Sepertinya, aku salah belok jadi harus memutar untuk mendekati tujuanku. Masalahnya, tujuanku apa, sih?

Setelah banyak berpikir (dengan IQ jongkokku, hehe...), aku menyimpulkan bahwa aku paling senang dengan kreativitas menggambar dan menulis. Jadi, aku mulai mengintip-intip jurusan yang berkaitan dengan itu. Untuk ikut SPMB, umurku sudah expired :'( Untuk masuk ke jurusan seni, tidak cukup berbakat. Untuk masuk ke PTS bergengsi, tak kuat biayanya. Akhirnya aku menemukan sekolah (yang sekarang jadi almamaterku ^_^) di Jogja. Dengan biaya relatif terjangkau, biaya hidup lebih murah dan yang paling penting, konsentrasi kuliahnya adalah desain grafis dan multimedia periklanan.

Jadi, begitulah. Dengan 'menutup kuping' dan meneguhkan diri menerima semua resikonya, aku meninggalkan kampus megah bereputasi tinggi menuju sebuah kampus tak dikenal di Kabupaten Sleman (hihihi.... maaph kalo perbandingannya terlalu merendahkan... *peace*).

Dan inilah lucunya (sampai-sampai Jeng Yaroh menertawakanku dengan puas), ujung-ujungnya aku mendarat dan bekerja di sebuah tempat ber-'minyak', bertemu dengan senior-senior dan teman-teman kampusku yang dulu, tapi yang kukerjakan seputar grafis, ikut mengelola content web dan menulis di blog. So weird how destiny had brought me here, but so grateful for that ^_^

Kejadian-kejadian itu membuatku lebih memahami dan mudah menerima saat seseorang menentukan pilihan yang tidak sesuai dengan harapan banyak orang. Gelar sarjana tapi hanya jadi ibu rumah tangga, why not? Profesi seorang ibu adalah yang paling rumit sekaligus mulia. Lulus dari kampus terkenal tapi memilih menjadi aktivis mesjid, kenapa harus dicibir? Setiap orang punya hak untuk berbahagia dengan pilihannya, selama pilihan itu tidak menyalahi aturan. Toh, dalam Islam, yang paling penting adalah sejauh mana seseorang itu bermanfaat bagi orang lain di sekitarnya, bukan sehebat apa jabatan dan kekayaannya. Betul? ^_^

08 Mei 2009

Isengku....






Sebenarnya gambar-gambar ini udah aku taro di FS. Tapi mana tau ada lewat blog ini trus suka, silakan ambil aja.... But please... kalo mau ambil bilang dulu ya, gratis koq, hehe... ^_^

Untuk melihat ukuran aslinya, tinggal klik aja di bagian gambarnya, ok?