Wilujeng Sumping...

Ini blog seorang mida, yang -seperti manusia lainnya- punya banyak kisah dan masalah untuk diceritakan dalam perjalanan hidupnya. Silakan masuk, duduk di mana aja dan baca-baca sesuka hati. Mau teh atau kopi? ^_^

28 Oktober 2009

Trekking to Cikuray


Seperti yang udah aku bilang di postingan sebelumnya, acara yang kami rencanakan selalu ga pasti. Ini contoh lainnya.

Sejak dua bulan sebelumnya, kami udah merencanakan untuk trekking ke gunung Merbabu. Udah ngumpulin artikel dan gambar-gambar, cari-cari info rental alat-alat trekking dan operatornya di sekitar Jogja, bahkan udah masang iklan flyer di website. Dua minggu sebelum acara... eng... ing... eng... Kami dikumpulkan di ruang meeting dan pakde bilang ga bisa naik ke Merbabu karena beliau ada meeting di Bandung. Agak susah untuk menempuh Jogja-Bandung dalam waktu cepat karena transportasi yang tersedia hanya jalur darat yang memakan waktu hingga 8 jam. Ada, sih, pesawat Trigana, tapi jadwalnya tidak setiap hari. Dan Pakde mana mau naik pesawat kecil kayak gitu, standar minimal manajer di sini kan Garuda ^_^

Jadi, kami mendadak "pindah gunung" biar pakde tetap bisa ikut. Maka, dicarilah gunung yang relatif dekat dari Bandung. Ibu kota Jabar ini memang dikelilingi gunung, tapi "pendek-pendek", hehe.... Kata pakde, sih, ga menantang ^_^ Pilihan akhirnya jatuh ke kota Garut. Kota ini juga dikelilingi gunung. Ada Papandayan yang terkenal dengan Pondok Salada-nya (padang bunga-bungaan - termasuk Edelweis - di dekat kawah), Gunung Guntur yang tandus dan airnya dimanfaatkan untuk daerah wisata Cipanas serta Gunung Cikuray yang misterius.

Setelah menimbang-nimbang beberapa jam (!), diputuskan kami akan menjajal Cikuray. Gunung mati ini memiliki tinggi 2821 mdpl (kata buku) atau 2818 mdpl (kata wikipedia). Gunung ini merupakan gunung tertinggi keempat di Jawa Barat setelah Ciremai, Pangrango dan Gede. Gunung ini jarang didaki, karena itu jalur hutannya masih rapat. Area kemah di sepanjang jalur juga tidak banyak tersedia. Selain itu, mirip dengan Ciremai yang bentuknya kerucut, di gunung ini tidak tersedia sungai atau mata air. Jadi, perbekalan air harus dibawa dari kaki gunung.

Aku sebenarnya lagi kurang fit, sejak acara workshop di Bandung itu batuk-batuk terus nggak sembuh-sembuh. Asalnya ditambah radang tenggorokan sampai kehilangan suara. Setelah ke dokter, alhamdulillah radangnya sembuh, tapi batuknya betah aja. Awalnya, aku berniat ke dokter lagi sebelum naik. Cuma karena tiap hari lembur jadinya lupa, deh...

So, hari Jum'at tanggal 23 Oktober sekitar jam 7 malam, aku pergi menjemput Yaroh di Bandung. Sebenarnya dia dari Jakarta, sih, cuma kasian juga kalo malam-malam gitu dia naik bis Jakarta-Garut sendirian. Jadilah dia naik travel ke Bandung lalu dijemput di daerah Cihampelas. Selesai makan dan shalat lalu mampir ke minimarket untuk membeli obat-obatan dan kopi panas buat pak sopirnya, kami melaju menuju tol Pasteur dan keluar di pintu tol Cileunyi. Bandung-Garut bisa ditempuh dalam waktu 2 jam aja.

Kami tiba di kota Garut sekitar jam 2 pagi. Harun bilang, meeting point di sebuah rumah makan, melewati "patung singa" di jalan menuju alun-alun kota Garut. Sialnya, kami tersesat. Nanya-nanya sama tukang ojek, sopir elf, penunggu kios, semua kebingungan ditanya soal patung singa ini. Nelpon Harun juga nggak jelas karena dia nggak tahu nama jalannya. Akhirnya kami menelpon Mas Rony dari Kelana Green yang menjadi operator trekking kali ini. Nah, dia juga nggak nyebutin jalan, cuma nyebutin nama daerahnya "Rengganis" (yang ternyata nama penginapan). Padahal kalo aja disebutin nama jalannya "Cimanuk", kami bisa menemukannya dengan mudah melalui GPS yang dibawa Yaroh. Kebiasaan orang Garut kali ya, ga mau nyebutin jalan.... Dan yang menyebalkan, "patung singa" yang disebut Harun ternyata patung harimau (dalam bahasa Sunda = maung), yang menjadi lambang Kodam Siliwangi (patung itu memang terletak di depan bangunan milik militer). Kenapa sih banyak orang ga bisa membedakan singa dan harimau? Meskipun sama-sama kucing besar nan lucu, tapi kan bentuknya beda banget!

Pokoknya setelah bertemu rombongan Mas Rony, kami kembali melaju ke arah Cilawu. Pendakian yang akan kami tempuh berawal di perkebunan teh Dayeuh Manggung di daerah Cilawu. Sempat tidur sebentar di mobil dan bangun untuk shalat Subuh di pos satpam di pintu masuk menuju perkebunan.

Mobil dan bis ditinggal di sini dan kami diangkut dengan L-300 pick up menuju titik awal pendakian di stasiun pemancar televisi (karena merupakan titik tertinggi di Garut, banyak stasiun televisi mendirikan pemancar di daerah ini). Jalannya menanjak, berkelok-kelok dan di beberapa bagian rusak parah.

Anggota Kelana Green mempersiapkan sarapan. Thank God, cowok-cowok itu bisa masak jadi nasi goreng "darurat"-nya enak ^_^ Waktu di Gunung Gede dan Ciremai, rasa nasinya selalu aneh, tapi kali ini tidak. Bahkan waktu di gunung, mereka menumis kornet dengan sosis dan potongan cabe rawit ditambah bumbu mie instan, enak juga! Hehehe....

Trekkingnya belom mulai jadi masih bisa nyengir

Kami mulai trekking hari Sabtu, sekitar pukul 9 pagi. Perjalanan awal melewati perkebunan teh udah bikin ngos-ngosan. Tapi pemandangannya indah dan hijau menyegarkan mata ^_^. Saat sampai ke pintu hutan, kami melihat sejenak ke arah bukit demi bukit yang telah dilewati. Menara pemancar di kejauhan terlihat kecil di antara hamparan kebun teh yang mirip karpet, lucu deh, hihihi....

Jalur awal melewati perkebunan teh udah bikin ngos-ngosan

Awalnya, tumbuhan masih berupa ilalang setinggi dada. Makin ke dalam hutan, pohonnya makin tinggi, rapat dan ditumbuhi lumut. Jalurnya... wuidiiiiih.... ga seperti gunung lain yang menanjak perlahan-lahan, jalur di gunung ini ga pake basa-basi, dari awal aja kemiringannya bisa lewat dari 70 derajat. Aku jadi sering merangkak kepayahan dan akhirnya muntah-muntah dua kali (oops!), hehehe.... Kombinasi antara batuk, masuk angin, kecapekan dan kedinginan :D Untungnya, teman-teman seperjalananku baik-baik. Mereka terus memberiku semangat. Kalo Yaroh, sih, bentuk perhatiannya ngomel-ngomel, hehehe.... Dan aku akhirnya minum tolak angin untuk menghindari omelan tingkat lanjutnya :D

Meskipun lemes, masih bisa gaya dunk ^_^

Menjelang Dhuhur, sering kedengaran gemuruh guntur di kejauhan (eh, ngomong-ngomong soal guntur, Guntur alias Gunle kali ini ga ikut pendakian karena harus memperbaiki laptopnya di Bandung, sekalian pacaran sama Nengnya kali, ya, hihihi.... Yaroh jadi kangen sama tu anak). Kami mempercepat langkah untuk menghindari hujan. Tapi, tak sampai satu jam kemudian gerimis mulai turun. Kami semua cepat-cepat memakai raincoat.

Kata Chippy, aku pake raincoat jadi mirip tukang ojek, bhuhuhu...

Hujan akhirnya turun dengan lebatnya, hiksss.... Jalur yang menanjak itu kini dialiri air hingga jalannya jadi licin. Kami terus melangkah perlahan dan hati-hati, soalnya kalo berhenti malah jadi menggigil kedinginan. Mantap, deh.... Waktu di bawah, Pakde sampai bilang kalo medan Cikuray lebih parah dibanding Gunung Slamet....

Hujannn....!

Hati-hati naiknya, ya!

Tadinya kami berencana berkemah di Puncak Cikuray. Namun, berhubung hujan dan angin dinginnya membuat jemari kami mulai kebas dan mati rasa, akhirnya tenda-tenda didirikan di areal yang dinamakan Puncak Bohong, sekitar pukul 3 sore. Api unggun agak susah dibuat karena kayu-kayunya basah. Tapi, api kecil dan penuh asap itu lumayan membantu menghangatkan telapak tangan. Tidur menggigil dengan sleeping bag di atas matras lembab membuatku semakin terbatuk-batuk heboh, sampai aku merengek pada Yaroh pengen pulang aja. Dan Harun dengan kalemnya menjawab, "Emang siapa yang mau nganterin turun?" Huhuhu.... Karena lemas dan kedinginan, aku jadi ogah naik ke Puncak esok paginya. Apalagi (karena ga bisa tidur sementara Yaroh di sebelahku bisa ngorok), aku nguping pembicaraan Harun dengan cowok-cowok lainnya, mereka ingin melihat sunrise di puncak, jadi trekking ke sana akan dilakukan jam 3 pagi. Hwaaaa.... Tega banget, sih....

Ah, ternyata mereka sepakat naik setelah Subuh. Setelah tidur ayam ga jelas, aku bangun ogah-ogahan jam 5 pagi. Selesai shalat, yang lain udah siap-siap naik. Aku masih mikir-mikir.... Puncak gunung ini sebenarnya salah satu tempat yang ingin dilihat Papaku (Papa selalu penasaran, kayak gimana, sih, puncak gunung yang bentuknya masih kerucut ini). Waktu aku mau pergi, Papa bahkan sampai ngiri pengen ikut, hihihi.... So, aku jadi termotivasi lagi, pengen cerita sama Papa. Apalagi udah sejauh dan secapek ini aku berjalan, udah sakit-sakitan, hujan-hujanan, masa mau nyerah di sini, sih? Tinggal dikit lagi....

Akhirnya, tanpa sarapan, aku berlari menyusul Yaroh cs. Eh, mereka cepet banget hilangnya, huhuhu.... Untung masih ada Mas Agung, Mas Susanto dan Kang Ade (guide dari Kelana Green) yang bersiap naik juga. Aku jadi ngintil-ngintil mereka. Biasanya kalo acara naik gunung gini, Mas Agung & Mas Susanto selalu jadi yang pertama sampai di Puncak. Mereka cepet banget, jalur yang menanjak cukup dilompati hup... hup... dan dalam waktu beberapa menit aja udah nyampe ratusan mdpl, hahaha.... Keberadaanku jelas jadi memperlambat mereka. Tapi mereka santai banget, malah heboh ngasih semangat, ngasih minum dan sekotak susu (gara-gara di tengah jalan lambungku berulah karena lupa sarapan ^_^). Sepanjang jalan aku banyak ketawa mendengar celetukan-celetukan Mas Susanto.

Untungnya jalur dari Puncak Bohong ke Puncak (yang asli, bukan bohong, hehe...) banyak yang landai. Dalam waktu kira-kira 90 menit, kami sudah sampai di atas. Karena gunung mati, gunung ini ga ada kawahnya. Puncaknya sempit, kira-kira hanya seluas lapangan futsal aja, dengan sebuah bangunan kecil bekas tempat pengontrolan menara pemancar (yang sekarang pemancar segede gaban itu udah raib entah ke mana, padahal di blog orang lain masih ada fotonya tuh) menjadi pemandangan ganjil di tepi puncak.


Yaroh nemu bendera rombeng di puncak

Tapi pemandangannya tetep asik. Ada lautan awan di bawah yang bergulung-gulung seperti di Puncak Ciremai. Ada hamparan kota Garut serta asap kawah Gunung Papandayan yang mengepul jauh di seberang. Ada Gunung Guntur yang kemerahan di sisi lainnya. Kabarnya kalo lagi cerah, kita juga bisa melihat batas Pantai Selatan. Namun, sepertinya saat itu Cikuray agak berkabut. Dan anginnyaaaa.... masya Allah, gede banget!!! Juga ga berhenti-berhenti! Brrr.... aku sering mojok berlindung di balik bangunan kecil untuk menghindari terjangan angin dingin. Suara angin yang menerpa pepohonan hutan Cikuray malah terdengar seperti suara ombak ^_^.

Lautan awan di belakang bagus, deh....

Puas berfoto-foto, kami kembali turun. Kali ini, aku jadi semangat lagi. Rasanya semua lelah terbayar lunas melihat pemandangan puncak. Dalam waktu satu jam, kami telah sampai kembali ke Puncak Bohong. Sarapan telah menunggu, yummm....

Setelah membereskan peralatan, kami mulai turun kembali ke bawah. Alhamdulillah cuaca cerah dan jalur ga terlalu licin. Perjalanan turun relatif cepat, hanya sekitar lima jam aja dari Puncak Bohong. Soalnya satu langkah turun aja udah setengah meter sendiri saking jalurnya curam, hehe.... Kalo naik kan lebih capek, kalo turun enak, begitu melihat turunan curam tinggal menggelosor aja kayak anak kecil, hihihi.... Tapi pernah tuh, aku menghindari jalur di pinggir jurang, jadi nekat naik ke cabang pohon yang melintang trus ceritanya mau loncat. Eh, taunya jalan di balik pohon itu lebih rendah dan licin. Jadi terjebak nangkring di pohon sambil merengek ga bisa turun. Yaroh sampe ketawa dengan puasnya. Bukannya nolongin, dia malah sempet-sempetnya ngambil fotoku lagi menderita gitu. Akhirnya aku turun dibantu Kang Ade, hehe....

Terjebak nangkring di pohon

Seru dan melelahkan. Tapi kalo diajakin lagi naik ke Cikuray pas musim hujan gitu, ogah ah.... Mendingan aku tidur guling-guling di rumah aja deh... :p

PS. All photos are courtesy of http://zahrohtul.multiply.com/

12 Oktober 2009

EO yang Selalu Tak Pasti

Tiap kali merencanakan workshop (dan hampir semua kegiatan lainnya), ga pernah tanggalnya langsung fix sekali aja, pasti acaranya mundur dan mundur lagi. Workshop terakhir diundur berkali-kali, tempatnya pun berubah-ubah (yang tadinya akan diadakan di Kuala Lumpur, gara-gara sentimen terhadap Malaysia jadi batal), sampai teman-teman begitu malu untuk menghubungi para pembicara. Secara para pembicara dan chairman itu orang-orang sibuk, beberapa di antaranya malah dari luar negeri. Kalau diundur terus, mereka jadi kesulitan mengatur ulang jadwal. Pengunduran terakhir gara-gara bom di Ritz Carlton-JW Marriot, karena semua pembicara dari luar negeri kena travel warning. Setelah me-reschedule, ditetapkan tanggal 5-6 Oktober field trip ke Pekanbaru, tanggal 7-9 Oktober workshop di Bukittinggi.

Begitulah, kita telah fix menyewa kamar-kamar dan ballroom di The Hills, bus-bus transportasi disiapkan, tiket-tiket Jakarta-Padang dipesan, undangan disebar dan buklet, backdrop serta pernak-pernik lainnya telah naik cetak.... Memang hanya Allah yang punya rencana. Malam hari begitu tersiar musibah gempa di Padang, kami semua jadi terpana....


Pagi-pagi sekali bos membuat keputusan bahwa workshop harus jalan terus hanya tempatnya dipindahkan ke Bandung. Kami jadi sibuk mengubah semuanya. Setelah menghubungi beberapa hotel, diputuskan acara diadakan di Holiday Inn Dago.

Ni hotelnya, ngambil dari web resmi ^_^

Karena mendadak, aku memang belum sempat survey tempat, foto pun tak ada. Maka ukuran backdrop, dekorasi, layout kursi dan segalanya harus bisa dibayangkan menurut denah yang mereka kirim. Dengan membandingkan ruangan di workshop sebelumnya di Jogja, aku memutuskan memesan backdrop ukuran 3x5 meter dua hari sebelum acara. Ingat waktu di Bali, bos rewel banget soal backdrop sampai harus pesan ulang segala. Maka aku juga jadi cerewet biar semuanya sesuai keinginan.

Hari Selasa, aku bertemu sales manager hotel yang mengantarku langsung ke ruang Zamrud yang kami pesan. Begitu melihat ruang, aku jadi sesak nafas gara-gara.... ruangannya kecil banget! Waduh, udah kebayang deh angkara murka Pakde (itu panggilan rahasia kami untuk bos). Bukannya kami pesan tiga ruang zamrud, ya, koq cuma dua? Si sales manager jadi ikutan pucat begitu menyadari bagian banquet hotel telat menerima memo susulan bahwa kami meminta ruang dengan kapasitas 70 orang, sementara yang tersedia hanya untuk 50 orang. Aku jadi pusing tujuh keliling gimana caranya nempatin backdrop yang lebih gede dari luas lantai kamar kosku di ruang sesempit itu. Belom lagi portable screen yang tersedia di hotel ukurannya kecil. Ditambah space untuk coffee break hanya berupa koridor sempit, meskipun jika pintu-pintu balkon yang menghadap kolam renang dibuka, aku tetap sulit membayangkan 70 orang mondar-mandir di situ untuk istirahat.

Setelah aku termenung-menung dan bolak-balik kayak setrikaan ga jelas, sales manager yang cowok dandy plus agak... ehm... (ga enak ah bilangnya) itu menemuiku dengan muka berkeringat. "Aduh say, dirimu membuatku berlari-lari...," katanya sambil melambaikan tangan. Dia rupanya membujuk klien di ruang Berlian yang lebih besar untuk bertukar tempat dengan kami karena peserta mereka berkurang. Alhamdulillah mereka mau.

Begitu melihat Ruang Berlian yang besar, aku langsung lega. Yep! Ga ada masalah. Bagian teknisi hotel juga ternyata bisa menyediakan screen ukuran 2x3 meter. Stage dan mini garden juga ok. Tinggal menunggu pesanan backdrop yang katanya baru bisa diantar jam 9 malam plus layout kursi yang masih diatur pihak banquet hotel.

Aku dan Vira akhirnya pergi ke hotel Utari untuk memesan kamar untuk para mahasiswa. Di jalan, kami sempat membeli donat sebelum kembali ke hotel. Belum sempat dinikmati, Vira memberi tahu, mobil Pakde sudah datang dengan membawa berkardus-kardus tas ransel untuk souvenir workshop. Setelah meminta bell boy untuk menyimpan tumpukan tas di kamarku, kupikir aku bisa istirahat sejenak. Nyatanya Vira kembali memberi tahu rombongan Mbak Muti dan Mas Erwin hampir tiba dari Cirebon dengan membawa banyak peralatan, terutama screen tambahan.

Aku kembali turun ke lobby dan menemukan Vira sedang negosiasi dengan fotografer acara. Rombongan Mbak Muti yang ditunggu malah tak kunjung tiba. Saat kuhubungi, ternyata mereka lagi nyangkut makan malam di mal BIP. Dasar! Sekalian aja aku pesan satu porsi, hehehe.... :p Saat mereka tiba, kami akhirnya kembali menyibukkan diri di Ruang Berlian. Rombongan Harun, Gunle dan Mas Santoso menyusul tak lama kemudian.

Dan, seperti biasa, saat Pakde meninjau ruangan, segalanya berubah drastis.

Pertama, layout kursi yang tadinya diset 10 orang dalam satu baris, diminta jadi hanya 6 orang saja. Sebelumnya, aku sempat meminta 8 orang dalam satu baris, tapi pihak banquet hotel keberatan karena mereka kehabisan meja. Memang lagi musim rapat kali, ya, semua ruang meeting hotel fully booked. Makanya, permintaan Pakde satu ini bikin aku pengen pulang tidur di rumah aja saking pusingnya.

Kedua, screen tambahan yang dibawa dari Cirebon ternyata besarnya na'udzubillah.... 3x4 meter! Mas dari teknisi hotel sampe nahan nyengir sambil berbisik padaku, seumur-umur baru kali itu dia lihat klien bawa screen segede itu. "Kayak mau nonton layar tancep," katanya. Kebayang, deh, tu screen saingan sama backdrop. Lebih parah, malah, karena tinggi screen ditambah penyangganya hampir menyentuh langit-langit. Menggesernya harus hati-hati karena ruangan dilengkapi banyak kandelar kristal yang harganya ampun-ampunan.

Aku dan Mas Erwin (juga pihak hotel) sudah menyarankan untuk 'mengorbankan' screen itu dan menggantinya dengan screen 2x3 meter seperti yang telah disediakan. Pakde menolak mentah-mentah. Maka, semua layout ruang plus dekorasi (termasuk mini garden) harus diobrak-abrik lagi demi si screen raksasa bisa nampang di ruangan. Rasanya pengen jungkir balik, deh, biar semua darah mengalir ke otak :p

Ketiga, ejaan tema workshop di backdrop ternyata ada yang salah. Waduh, padahal aku udah berulang kali mengecek tulisannya, koq bisa-bisanya salah. Kayaknya otakku memang perlu di-restart. Setelah diakali dengan tempelan guntingan bahan backdrop, tulisannya jadi kelihatan menyedihkan, meskipun ga kentara, sih. Orang harus benar-benar memperhatikan sebelum menyadari ada tempelan aneh di backdropnya.

Keliatan, ga, salahnya?


Untungnya kali ini buklet tak ada masalah. Tapi, teteppp... aku baru makan malam lewat jam dua belas dan kami baru bubar jam 3 pagi. Gunle malah sempat-sempatnya bermimpi pas ketiduran di meja Ruang Berlian sampe susah dibangunin, hehehe.... Para petugas banquet hotel dan pemasang backdrop sampai geleng-geleng kepala mengikuti keinginan Pakde yang cerdas dan perfeksionis itu. (Jangan kapok, yaaa... :p)


Akhirnya layout ruang jadi seperti ini. Liat screen-nya, dunk! ^_^

Alhamdulillah, meski ketegangan tetap hadir, namun semua berjalan lancar. Meski kurang tidur, namun kami semua bisa makan enak sepuasnya di hotel hingga kebutuhan gizi tetap terpenuhi, hihihi.... Plus, pembicara dari GeoMechanics Australia yang cute bangedh.... Wajah Spanish-nya itu, lho, ga kalah sama Fabregas, deh, hehehe.... Duh... duh.... sampe peserta dan usher aja ada yang minta futunya.

Bikin betah ikut acaranya, ya? ^_^

Makasih buat semuanya.... Well, semoga ini bukan workshop terakhir yang bisa kami selenggarakan....

07 September 2009

I Just Wanna Jump!


Aku sedang berada dalam zona tak nyaman. Uff... Diserang kejenuhan luar biasa terhadap berbagai hal dalam hidup. Apapun yang terjadi rasanya garink dan tak menarik lagi. Hari-hari berlalu tanpa ada yang istimewa.

Dalam keadaan seperti ini aku jadi lupa untuk bersyukur. Saat gempa terjadi, aku hanya bengong, melihat monitor dan lantai 3 tempatku berpijak bergoyang-goyang aneh. Lalu berceloteh seru dengan 'penduduk' kantor yang lain, dilanjutkan dengan merutuk dalam hati karena bos mengadakan rapat, membahas website dan rencana workshop beberapa saat setelah gempa terjadi (heran... kayaknya biar badai menghadang pun rapat harus tetap jalan, ya?)

Saat membaca status-status dan komentar teman-teman di facebook yang pada panik dan semua bersyukur karena masih diberi kesempatan hidup, aku jadi bingung... Sebegitunya ya? Lalu tersadar kalau aku belum mengucapkan hamdalah sama sekali dari tadi. Tapi beneran, deh... Meskipun goncangannya lumayan ajib, aku sama sekali tak merasa ketakutan. Mungkin karena aku pernah mengalami gempa yang lebih hebat di Jogja tiga tahun yang lalu, jadi kali ini tidak begitu panik. Ah, bahkan musibah seheboh itu pun terasa garink bagiku....

Aku jadi sedih sendiri, bertanya-tanya, aku ini kenapa sih?
Setiap hari kerjaanku hanya tidur dan tidur. Aku bahkan jadi susah bangun pagi. Harusnya udah ada di kantor jam 7 pagi, ini malah baru bangun.... Luar biasa bosan, tapi juga terlalu malas untuk melakukan apapun. Ujung-ujungnya jadi melamun lagi.... Memikirkan yang telah lalu dan sakit hati yang diakibatkannya yang tak kunjung sembuh. Ah, tuh, kan, mellow lagiiii....

Bahkan kegiatan menulis yang dulunya jadi pelarian menyenangkan jadi terasa membosankan juga. Pensil udah di tangan, kertas bersih terbuka di atas meja, ide berputar-putar di kepala, tapi hanya sanggup menghasilkan satu alinea dalam waktu berhari-hari....

Suasana baru jelas merupakan jawaban dari kebosananku. Dulu, waktu masih jadi mahasiswa, kalo lagi jenuh, aku sering 'mengutak-atik' kamar kosku. Dicat ulang, ganti rak, ganti posisi, tambah ini-itu. Ah, jadi teringat lagi dengan keinginanku yang belum tercapai: pengen jadi desainer interior! Hehehe... Aku bahkan googling dan 'mengintip' website kampus-kampus yang memiliki jurusan ini. Tapi, mengingat umurku yang udah uzur, masih pantas gitu ya jadi mahasiswa S-1?

Pengennya sih, segampang di pilem-pilem.... Begitu jenuh, patah hati, lari ke luar negeri, ketemu orang-orang baru, tantangan baru, pekerjaan baru, sekolah lagi, trus ketemu soulmate, hehehe... Asik ya kalo masalah hidup bisa selesai dalam durasi 100 menit ^_^

Jadi inget lagu dari Simple Plan, band favoritku, yang judulnya 'Jump' (herannya lagu-lagu mereka selalu mewakili cerita hidupku).

I dont wanna wake up today
Cause everyday's the same
And I'd been waiting so long
For things to change
I'm sick of this town
Sick of my job
Sick of my friends 'cause everyone's jaded
Sick of this place, I wanna break free
I'm so frustrated, I just wanna Jump! (Jump!)
Hmm.... Ada ide aku harus ngapain?

13 Agustus 2009

Tracing the Greatness of Ciremai Mt. (3078 M dpl)

Gunung Ciremai....

Siluet yang menjulang tinggi kebiruan itu selalu terlihat dari jendela kantor. Kadang puncaknya diselimuti kabut, kadang bentuknya terlihat sempurna di hari yang cerah dan panas. Siluet itu bagiku seperti sosok raksasa yang diam dan penuh misteri. Rasanya aneh karena di sekitarnya sama sekali tak ada gunung tinggi, hanya laut Jawa dan perbukitan rendah. Tapi, ia berdiri di sana, menyandang gelar sebagai gunung tertinggi di Jawa Barat.

Jum'at malam, aku berangkat menuju tempat berkemah di Curug Muara Jaya, Kabupaten Majalengka. Hati bahkan sempat ragu untuk ikut naik. Tubuhku rasanya kurang fit gara-gara lembur terus. Tapi, entahlah.... Ada begitu banyak dorongan untuk menaklukan gunung ini. Maka, dengan semangat dan stamina yang tersisa, aku tekadkan akan sampai di puncaknya, meskipun harus merangkak.... Aku tahu aku bisa!

Begitu sampai di pelataran parkir.... Busettt... Ternyata perkemahannya di siapkan ratusan meter di bawah, sedikit lebih rendah dari kaki air terjun. Untuk sampai ke sana, kami harus menuruni begitu banyak anak tangga di kegelapan malam. Membayangkan esok pagi harus dimulai dengan 'pemanasan' menaiki anak-anak tangga lagi untuk sampai ke parkiran mobil sedikit membuat perutku mulas... Ayolah, ini bahkan bukan merupakan bagian dari jalur pendakian, masa harus tepar duluan, nih....

Sambutan berupa minuman hangat dan ayam serta ikan gurame bakar cukup membuat hati kembali tenang, hehe... Agak mengecewakan, sih, soalnya aku membayangkan kami akan membakar ayam dan ikan bersama-sama di api unggun. Tapi, tak apa lah, mungkin crew-nya mengira kami akan terlalu lelah jadi makanannya sudah disiapkan duluan. Setelah makan dan sedikit mengobrol, mayoritas peserta memilih langsung tidur di tenda masing-masing. Aku dan Harun masih harus menunggu rombongan dari Jakarta yang keretanya baru tiba di Cirebon sekitar pukul sebelas malam karena keberangkatannya terlambat dari jadwal (Indonesia gitu lho... ^_^). Harun naik lagi ke tempat parkir untuk menyambut mereka, sementara aku menunggu di dekat api unggun untuk mengusir udara dingin. Saat berbaring, langit malam begitu bersih dan biru, dengan purnama bersinar terang di atas pucuk-pucuk pohon. Begitu sunyi....

Lewat tengah malam, barulah terdengar gemerisik suara rombongan menuruni tangga di kejauhan. Begitu mereka menyebrangi jembatan sungai, aku nyaris melompat senang karena mendengar suara tawa Yaroh, sobatku, di antara mereka. Hampir saja ia membatalkan rencana ikut pendakian karena ada meeting di Bogor. Ternyata di saat-saat akhir, rapatnya dibatalkan hingga ia langsung meluncur dari kantor menuju Cirebon. Okay, akhirnya aku bisa masuk tenda dan tidur sampai pagi....

Sarapan berupa tumis buncis dan bakso menjadi 'bahan bakar' untuk memulai perjalanan pagi menuju Air Terjun Muara Jaya. Cantik.... Tapi sayang, kami tak bisa menikmatinya berlama-lama agar bisa sampai di Goa Walet tepat waktu.

Aku dan Yaroh di depan air terjun atas


Aku dan Zem di depan air terjun bawah yang lebih rendah

Maka, kami terus naik ke atas, tempat dua mobil pick-up sudah menunggu untuk mengantarkan kami ke Pos pendakian pertama yang bernama Blok Arban (1.614 mdpl). Wuiiiih... jalan yang dilalui mobil ternyata begitu mengerikan. Jalanannya sempit, terjal dan berbatu-batu. Sepanjang jalan kami tertawa-tawa sambil menahan sakit karena terguncang-guncang tanpa henti.

Zem, Yaroh dan aku masih sempat narsis di tengah guncangan mobil ^_^


Karena jalannya jelek, mobil depan dua kali mogok

Ngeri juga, sih, kalo seandainya mobil tiba-tiba mogok dan mundur, jurang yang dalam siap menelan kami. Tapi, ada yang lucu.... Di dekat Blok Arban (yang nyata-nyata daerah kaki gunung agak terpencil), ternyata ada perkampungan warga yang padat. Saking padatnya, mobil harus melalui gang-gang kecil seperti di Bandung. Kami nyaris tak percaya kalau kami tengah berada di gunung....

Dari Blok Arban, kami mulai mendaki menuju pos kedua bernama Simpang Lima (1.915 mdpl). Oh, iya, jalur yang kami lalui dinamakan jalur Apuy yang panjang lintasannya menuju puncak Ciremai sekitar 6,9 km. Tak ada yang istimewa dari perjalanan menuju pos ketiga (Tegal Wasawa-2.400 mdpl) dan pos keempat (Tegal Jamuju-2.600 mdpl). Jalurnya berupa jalan setapak menanjak diapit semak-semak dan pepohonan hutan.

Dari pos empat ke pos lima, barulah tanjakannya mulai 'menggila'. Aku sempat berjalan sendirian karena tertinggal dari grup depan, sementara grup belakang belum sampai. Di suatu rekahan tanah, aku harus melompat dan terjatuh. Hufff... nyaris saja aku merosot ke jurang. Alhamdulillah masih sempat berpegangan pada batu dan akar. Dengan jantung masih deg-degan, aku memasuki jalur yang mirip terowongan terbentuk dari semak-semak tinggi di kiri-kanan yang seolah menyatu menjadi kanopi jalan. Hiii... aku sempat ragu, jangan-jangan aku tersesat. Akhirnya aku memutuskan menunggu grup di belakangku. Begitu mereka sampai, aku lega dan melanjutkan perjalanan.

Di tanjakan-tanjakan tertentu, aku harus merayap saking curamnya (dan saking lelahnya ^_^).
Di pos kelima (Sang Hyang Rangkah-2.800 mdpl), barulah aku bertemu kembali dengan grupku (Harun, Gunle, Yaroh, Zem, Acos dan Senky). Zem akhirnya menawariku untuk membawakan ransel agar aku bisa berjalan lebih cepat, gantian dengan Acos. Senangnya, hehe... ^_^ Tapi tetap aja, tanpa beban di punggung pun, jalanku tetap paling lambat di antara mereka....

Tanpa ransel, tetep kecapekan...

Menuju pos enam (Goa Walet-2.950 mdpl), tanjakannya ruarrrrr biasa.... berupa bongkahan batu-batu besar yang kemiringannya (menurutku) sekitar 70 derajat. Ampunnnnn.... tanjakan setan Gunung Gede lewat dah!!! Di atas pertemuan jalur Apuy dan Palutungan, kita bisa melihat lautan awan dengan matahari mulai terbenam ke dalamnya. Oh, God, indahnyaaaaa.... ^_^


Pertemuan jalur Apuy dan Palutungan


Aku dan Yaroh di depan lautan awan dan sunset

Saat metahari benar-benar tenggelam, udara mulai dingin dan aku mulai menggigil. Waduh, gawat! Jaket tebalku dititipkan pada porter. Dan para porter ga tau baru nyampe mana... Zem akhirnya meminjamkan jaket tebalnya padaku (kasihan, padahal dia sendiri cuma memakai sweater tipis). Kami bergegas turun menuju Goa Walet sambil menunggu yang lain. Beruntung, kami bertemu dua orang anak SMA yang menginap di sana. Kebaikan mereka membantu membuatkan api unggun menyelamatkan kami dari kedinginan (or worse, hipothermia, hiii....)

Handy Talkie yang dibawa Harun ternyata baterainya hampir habis. Jadinya kami hanya bisa mendengar tapi tak bisa menjawab. Dalam keadaan kalut dan menggigil, kami 'merapatkan barisan', duduk berdempetan di depan api, sambil mendengarkan seorang crew yang menyebalkan dan sok tau berkata, "Yang sudah sampai di pos enam ada berlima, dan jangan khawatir, Pak Harun sudah terlatih..." Apaaaa? Ada aku dan Yaroh, cewek-ceweknya ga dihitung! Dan terlatih apa? Kami sama sekali tak punya perbekalan berkemah, hanya makanan dan minuman seadanya serta baju ganti karena semua sudah dijanjikan ditanggung crew.


Tak lama, rombongan peserta lain menyusul sampai di Goa Walet. Bapak-bapak dari kampung daerah gunung Ciremai datang membawakan empat matras, dua buah tenda dan sekarung air mineral botol. Mereka juga membantu mencari kayu bakar agar api bisa bertahan semalaman. Ah, malaikat penolong! Sayangnya, dengan keterbatasan senter (cuma ada dua), tak ada yang berhasil mendirikan tenda dome karena tak ada yang mengerti....


Kami hanya bisa menunggu... Tapi yang ditunggu tak kunjung datang. Crew DPS yang seyogyanya bertanggung jawab dalam logistik perjalanan ini hanya sanggup sampai di pos lima dan memutuskan berkemah di sana! Halooooooo.... Para peserta sudah terdampar di Goa Walet yang dinginnya luar biasa (kata orang sana suhunya bisa sampai minus satu derajat Celcius!), tanpa tenda, matras, sleeping bag dan makanan memadai! Tubuhku, meski sudah memakai jaket dobel, masih saja tak bisa berhenti gemetaran menggigil sampai Yaroh memelukku dengan khawatir. FYI, aku memang lebih suka udara panas daripada dingin (karena itu aku bisa betah di kota-kota 'hangat' seperti Jogja dan Cirebon ^_^).


Akhirnya lewat tengah malam, Harun dan Acos memutuskan turun kembali ke pos lima. Katanya Harun udah emosi jiwa, sampai adu mulut di sana. Crew DPS mengaku kelebihan beban hingga mereka tak sanggup mendaki lagi (lho, harusnya kan mereka udah memperhitungkan jumlah beban dan jumlah orang sebelumnya?). Tapi, akhirnya beberapa crew bersedia naik dan sampai di Goa Walet sekitar jam 4 pagi. Mereka akhirnya mendirikan tenda dan memasak sarapan.


Suasana di Goa Walet setelah malam penuh penderitaan

Pagi hari, kami melanjutkan perjalanan ke puncak. Sebenarnya beberapa peserta (termasuk aku) udah drop semangatnya gara-gara kejadian semalam, apalagi jalur bebatuannya makin terjal. Tapi sayang, udah sejauh itu, masa harus menyerah? Tinggal sedikit lagi! Dan alhamdulillah... sampai juga! Yihaaaaa....


Acos, Zem, Gunle dan Senky di tanjakan batuan menuju puncak


Aku dan grupku (+ Mbak Lilis) di Puncak Ciremai

Setelah puas berfoto-foto, kami mulai turun melalui jalur Palutungan. Jalur ini lebih panjang ( 8,4 km) tapi lebih landai. Meski kaki mulai pegal-pegal, aku berusaha terus berjalan... Kapok, deh, berjalan di hutan malam-malam kayak dulu lagi. And guess what??? Lensa kontakku ilang sebelah lagi! (Bhuhuhu... hobi apa doyan, sih? Dasar ceroboh!) Makanya aku berusaha sampai di Palutungan sebelum maghrib, kalo nggak, aku harus dituntun kayak orang buta, hiks....
Sebenarnya ada cerita-cerita mistik selama perjalanan ini (untungnya aku nggak mengalami yang aneh-aneh), seperti peserta dan porter yag disesatkan jalannya hingga berputar-putar ke tempat itu-itu lagi, suara aneh yang terus mengikuti rombongan dengan gemerisik ranting patah (tapi makhluknya ngga keliatan), wah ngeri, deh! Tapi karena aku nggak mengalami itu, sebaiknya nggak dibahas, ah... Tatut... Hehe....

24 Juli 2009

Memorable Moments at Gede Mountain

Wew... Lama banget ga ngeblog...
Gara-gara manajemen waktu yang amburadul, susye ngatur kerjaan sama kesenangan....

Jum'at, tanggal 3 Juli malam hari... setelah saling tunggu-menunggu ga jelas, aku dijemput Vira di pintu tol Cileunyi, Bandung. Ajegile... Mobil Ford Everest punya kantor yang ngejemput ternyata penuh barang buat peserta trekking. Akhirnya kita duduk berdesak-desakan. Putri yang terlebih dulu dijemput di Jatinangor Square sampe harus duduk miring gara-gara space kursi di tengah ga cukup buat berempat, hehehe... Lumayan deh, selama tiga jam perjalanan ke Bogor kita serasa jadi tempe penyet. Begitu sampe di vila, rasanya lega banget! Istirahat sebentar, persiapan ini-itu, baru berangkat lagi ke basecamp Gunung Putri, tempat awal pendakian ke Gunung Gede.

Sampe di basecamp, mobil si bos dari Jakarta udah datang duluan, ditemani Gunle yang malang (selama event ini dia harus nemenin bos di mobil tambah bawa-bawa spanduk organisasi sepanjang pendakian, hihihi... Nasibmu, Nak!). Di basecamp juga sudah berkumpul para guide dan porter yang akan membantu pendakian, plus suguhan camilan+teh panas, menghangatkan badan dari serangan udara gunung tengah malam yang dingin. Basecamp Gunung Putri terletak di ketinggian sekitar 1850 mdpl. Nyampe sini, sinyal HP udah pada ilang ga tau kemana, hehe... Pada ga bisa update status FB tuh... :D

Gunle, pembawa bendera (maaf ya, Neng, Aa' Gunle-nya aku tampangin di blogku, hihihi....)

Sekitar jam 2 malam baru pendakian dimulai. Aku ada di grup enam, grup terakhir. Baru awal pendakian aja, aku udah nyesel setengah mati ga pernah olahraga. Tanjakan yang mudah aja udah bikin ngos-ngosan. Otakku jadi terlibat perang saudara, yang satu pengen tidur, yang satunya pengen membuktikan diri bisa menaklukkan gunung, hehe... lebay.co.id. Jadinya kakiku setengah diseret-seret biar mau terus jalan. Untung ada Yaroh, sobatku, my guardian angel, yang terus nyemangatin dan menjaga langkahku biar ga jatuh.... Huhuhu.... Luv u, Sis!

Pengennya, sih, pas sunrise kita ada di Puncak Gede.... Minimal di alun-alun Surya Kencana lah! Apa daya, dengan gaya jalanku yang kayak siput, ditambah tiap liat tanjakan rasanya pengen nangis melulu, baru menjelang tengah hari sampai di Surya Kencana. Tempatnya berupa padang yang luaaaasss... banget. Ditumbuhi banyak pohon edelweis dan dikelilingi gunung. Nyampe di tempat itu, aku agak kecewa.... Kirain bakal banyak bunga warna-warni kayak di Gunung Papandayan. Ternyata hanya rumput, semak dan edelweis.... Kalo ditambahin jerapah sama singa kayaknya serasa di Afrika, deh!

Dengan kaki dan punggung pegal-pegal, capek luar biasa, aku agak terganggu dengan kehebohan para cewek yang pengen difoto begini-begitu. Duh... pengen istirahat koq malah pada centil dan berisik! Sebel deh... Aku akhirnya menjauh dari rombongan dan entah kenapa tiba-tiba nangis.... Merasa terlupakan, merasa... aneh dan kesepian di tempat asing seperti itu.... Udah gitu, gara-gara terakhir makan nasi jam 5 sore sebelum pergi ke Bogor, lambungku tiba-tiba sakit. Lebih lengkap lagi, di perjalanan ke puncak, lensa kontakku copot sebelah. Mmmm... indahnya dunia....

Waktu aku nangis ternyata difoto...

Dari alun-alun Suryakencana menuju ke Puncak Gunung Gede sebenarnya udah deket, tapi tanjakannya.... masya Allah! Sampai ada yang dinamain tanjakan setan oleh para pendaki, hehehe... Ga ada datar-datarnya, nanjak terus, bos! Tapi begitu sampai di puncak (yang hanya berupa jalanan kecil di pinggir kawah), wowww!!! Kawahnya megah banget! Sang Pencipta alam memang Maha Besar dan Maha Indah!

Dari Puncak Gede, kami turun ke Kandang Badak untuk berkemah. Jalurnya mula-mula berupa turunan ekstrim dipenuhi batu dan kerikil muntahan kawah. Harus hati-hati melangkah, soalnya batu-batunya ga stabil untuk diinjak, jadi kita akan mudah jatuh terguling-guling (padahal di kiri-kanan jurang menganga). Setelah itu, kami kembali memasuki hutan, mirip dengan jalur pendakian Gunung Putri.
Tiba di Kandang Badak sudah malam, aku sempat dipijat refleksi untuk meredakan sakit lambung karena jika dibiarkan terkena dingin, katanya perutku bisa kram. Sampe mengaduh-aduh ga karuan, deh, pas dipijat, hehe.... Setelah makan malam (nasi+mie rebus instan+kornet+teh hangat), hampir semua peserta terkapar di tenda masing-masing.

Esok paginya, beuuuhhh... dalam keadaan dingin, aku menahan pipis (soalnya di kawasan berkemah ga ada toilet, hanya ada sumber air terbuka dibatasi tembok rendah). Terpaksa deh para cewek antri di semak-semak sambil bawa-bawa air di botol plus tisu basah antiseptik, hehe...

Sarapannya kembali nasi+mie rebus instan+kornet, tapi kali ini tambah sosis.

Dari ki-ka: Mumun, Yaroh, Shanty dan aku

Kami turun ke arah Cibodas sekitar pukul 7 pagi, melewati air terjun air panas (yang menurutku lebih mirip taman buatan di halaman rumah ^_^).

Rame-rame foto di depan air terjun mini ^_^

Setelah itu, ada lereng curam air panas. Hati-hati saat melangkah, selain batu-batu pijakannya licin, airnya juga terasa sangat panas saat menyentuh kaos kakiku. Di sepanjang 'penyebrangan' air panas itu, terdapat tali untuk membantu para trekker.

Perjalanan turun dilanjutkan ke Panyangcangan. Dari sini, terdapat belokan ke kiri menuju air terjun Cibeureum yang cantik. Langsung pada narsis dunk... jepret sana jepret sini... ^_^

Nampang bareng Putri dan Winda (trio chubby ^_^)

Puas bermain di air terjun, kami kembali ke Panyangcangan lalu menyusuri jalan jembatan kayu menyebrangi rawa-rawa. Berhenti sebentar di Telaga Biru (sayangnya kotor jadi terlihat butek), diteruskan melalui jalur undakan batu-batu kecil hingga ke Cibodas. Selama menuruni undakan-undakan itu, kaki rasanya sakit banget, udah pegel sisa kemarin ditambah telapak kaki menginjak batu-batu kecil... rasanya kayak pijat refleksi lagi, hehe....

Alhamdulillah sampai ke basecamp Cibodas sekitar pukul 13.00 WIB. Langsung dibagi kaos dan nasi padang yang udah disiapin Vira yang ga ikutan trekking. Nyammm...

[Sorry, last part of this post has been deleted]

Photos are courtesy of Nor Hidayatullah
'Breakfast' photo is courtesy of Shanty Mulandhary

09 Juni 2009

Nightmares in Bali

Satu hal yang teramat dirindukan selama di Bali adalah suara adzan. Syukurlah ada manusia bumi yang berinisiatif memasukkan fasilitas alarm ke dalam HP, hingga aku bisa bangun pagi meskipun sedang 'libur'. Mulanya agak-agak kehilangan orientasi gara-gara perbedaan waktu satu jam lebih cepat, tapi lama-lama terbiasa juga.

Sarapan pertama di hotel, aku bertanya bisik-bisik pada karyawan di situ apakah daging yang digunakan daging sapi? Dia tersenyum dan mengatakan bahwa masakan itu dari daging sapi dan dirinya juga muslim hingga aku tak usah khawatir dengan masakan di sana. Btw roti lilitnya enak banget... apa ya namanya? Diolesin salted butter, yummm... ^_^

Selesai sarapan, kami bertemu pihak Hotel Patra untuk mem-fix-kan beberapa hal (boring deh...). Kami juga memesan mobil sewaan untuk menjemput para bos di bandara. Begitu para pejabat itu datang, ternyata mobilnya jadi penuh dengan barang-barang bawaan mereka. Terpaksalah Mbak Muti dan Vira naik taksi, sementara aku terjebak sendiri di dalam mobil yang mengantar para bos ke hotel. Hwah, mati gaya, deh... Setelah berputar-putar ke Hard Rock lalu Aston, bosku yang sudah kupesankan kamar di Hotel Kartika Discovery malah langsung ke Hotel Patra untuk mengecek persiapan ruangan. Yah, dan mimpi buruk pun dimulai....

Pertama aku ditegur karena backdrop yang diantar ternyata dilipat, bukan digulung, hingga bos memaksa untuk menyetrika backdrop segede gaban itu agar terlihat rapi (akhirnya dipesan lagi backdrop yang lebih bagus dengan harga 3,5 juta di percetakan lain... Ye... salah sendiri, aku ga tau apa-apa soal percetakan di Bali mendadak dangdut disuruh pesen dari Cirebon, ketemu di internet yang harganya hampir sama dengan percetakan disini ya langsung pesen aja daripada telat). Udah gitu, aku ditegur lagi karena buklet workshop yang dibawa dari Cirebon ternyata potongannya ga rapi dan kurang kertas kosong. Aku kemudian ditugaskan mencari percetakan yang bisa membongkar semua buklet dan menjilid ulang dalam waktu semalam.

Diantar Bli Ketut Wira, aku mencari percetakan yang masih buka menjelang maghrib. Tiap nemu tanda percetakan langsung berhenti dan harus kecewa karena rata-rata percetakan di sana tutup jam 5 sore. Ada yang masih buka, ga punya alat buat ngejilid pake ring kawat. Setelah berputar-putar, ketemu tempat penjilidan yang masih buka di Denpasar. Mereka mematok harga dua kali lipat tambah uang lembur karena diperkirakan buklet selesai tengah malam. Karena pusing, aku menyanggupi.

Ketika kembali ke hotel, aku kembali ditegur bos karena harusnya aku menunggu hingga mereka menyelesaikan satu buklet sebagai contoh. Gila... Udah gitu aku lupa kalo kamar yang dipesankan untuk bos harusnya dikonfirmasi sebelum jam enam sore, kalo nggak, reservasinya bakal dihapus (secara harga kamar per malamnya setara gajiku sebulan). Mati... mati...! Dengan panik luar biasa, aku menelpon hotel Kartika yang ternyata bagian reservasinya udah tutup. Ketika tersambung dengan bagian resepsionis, bicaraku udah ga karu-karuan. Untunglah dia bilang kamarnya masih available... Alhamdulillah.... Kalo nggak, besoknya aku jadi pengangguran gara-gara bos ga dapet kamar. Fiuhhh....

Selesai dengan urusan hotel untuk bos, aku kembali diantar oleh Bli Ketut ke tempat percetakan. Karena bos tak ingin pemotongan kertas dilakukan dengan cutter manual, aku minta mereka mengerjakan ulang pembongkaran buklet agar bisa dipotong dengan mesin potong (yang ternyata masih manual juga). Menunggu hasilnya, Bli Ketut mengajakku makan di sebuah warung Jawa Timur yang ayam gorengnya enak banget. Sepanjang jalan aku dan dia jadi curhat-curhatan. Untunglah dia menghiburku hingga aku masih bisa ketawa-ketawa meskipun kepalaku rasanya udah penuh api dan asap (halah...).

Selesai makan, kami kembali ke tempat percetakan dan menunggu hingga buklet selesai. Lewat tengah malam, ketika seluruh buklet selesai dijilid ulang, kami langsung menuju Jimbaran untuk menempel stiker sponsor di bagian covernya. Aku mendapat sms bahwa bos ingin melihat buklet yang telah selesai. Busetttt....! Jam setengah tiga aku ke Hotel Kartika, cenga-cengo karena hotel udah sepi, tinggal beberapa bule masih kongkow-kongkow di lobby. Tengsin berat, aku menanyakan nomor kamar bosku ke resepsionis. Ampyun deh... disangka aku cewek panggilan kali ya, dateng jam segitu nanyain kamar bos...

Buklet s**lan itu jadinya masih amburadul karena pisau mesin potongnya tumpul. Bos melihat hasilnya dengan kecewa tapi tetap berterima kasih padaku (entah untuk apa). Jam tiga pagi aku kembali ke Hotel Patra dan menemukan Vira serta Putri tertidur di ruang Klungkung. Mas Santoso, yang membawa mobil dari Cirebon berisi barang-barang keperluan sekretariat tiba tak lama kemudian. Baru jam empat pagi kami pulang bersama-sama ke Palm Beach.

Bayangin, deh, harusnya sebelum jam delapan kami sudah stay tune di tempat workshop. Begitulah, kami semua bangun kesiangan.... Dan sepanjang hari itu (juga hari-hari berikutnya) semua berjalan kacau... Ada banyak kemarahan, emosi, stres, saling menyalahkan, kesalahpahaman... Hingga di hari terakhir workshop aku menyempatkan diri lari ke toilet buat nangis saking ga tahan lagi dengan semua kekacauan ini (cengeng, deh...). Acaranya terlalu dipaksakan dan anggotanya belum kompak, sementara para bos menginginkan perfection (not only excellence) hingga ke tiap detailnya (well, every boss acts like it, right?).

Sampai-sampai Pak Umar, driver dari kantor Cirebon yang sering mengantarku keluar-masuk percetakan, menghiburku dengan kata-kata bijaknya melihatku menahan amarah dan tangis begitu. Lillaahi ta'ala, katanya, pasti ada hikmah yang bisa diambil dari semua kejadian ini. Begitu pula Mama yang menghiburku lewat telepon. Alhamdulillah aku masih memiliki orang-orang tercinta di sekitarku.

Hari Sabtunya, karena semua workshop udah selesai, aku dan Mbak Mutia memutuskan memanjakan diri seharian. Tawaran bos untuk ikut rafting di Telagawaja kami tolak dengan mantap. Kami bangun siang, berfoto-foto di pantai, pergi membeli oleh-oleh ke Pasar Sukowati (naik taksi sampe kantong jebol), berdesak-desakan di Joger dan makan malam di mall Discovery. Seumur hidup baru kali ini, deh, nemu mall yang pintu belakangnya langsung ke pantai yang indah banget!

Ah sayang, besok paginya kami sudah berlari-lari di bandara kayak orang gila gara-gara telat check in, hampir ketinggalan pesawat. Udah gitu, cuaca buruk bikin pesawat goyang terus sampe Mbak Muti ga henti-hentinya komat-kamit berdzikir. Sampai di Cengkareng langsung carter mobil APV menuju stasiun Gambir. Berangkat setelah makan siang, kereta Cirebon Express yang kami tumpangi tiba di Cirebon sekitar pk. 16.30 WIB. Di dalam mobil menuju kantor, kami semua hanya bisa tertawa dengan penampilan kami yang kusut banget. Orang lain kalo pulang dari Bali bawaannya keren dan cerah ceria. Sementara kami pulang dengan wajah stres, kurang tidur dan sakit hati karena hampir seminggu berada di romantisme Bali tanpa pasangan.

Ah, Bali... Lain kali aku akan mengunjungimu dengan membawa cinta yang banyak, insya Allah... ^_^

Bali Blues

Tanggal 31 Mei, hujan turun dengan derasnya menjelang dini hari. Mataku kayak dilem, susah banget ngebukanya... padahal aku udah janji mau pergi ke kantor sebelum tengah malam gara-gara persiapan workshop gila itu (benci, deh, kalo mengingat pekerjaan yang dilakukan tanpa persiapan dan koordinasi yang cukup begitu). Akhirnya aku terjaga sekitar pukul 02.30, mengumpulkan nyawa lalu mandi dan membangunkan seseorang lewat telepon untuk sahur. Jam 03.30 baru aku berangkat ke kantor.

Di sana, kutemui wajah-wajah kuyu kurang tidur. Tak banyak yang bisa kulakukan gara-gara printer ngadat, padahal pekerjaanku banyak tergantung pada benda itu. Pukul 05.00 aku kembali ke kos untuk mengambil travel bag. Pukul 05.30, aku, Mbak Mutia dan Putri pun meluncur menuju Jakarta, mampir di kantor pusat di Patra Jasa untuk mengambil beberapa barang lalu ke bandara. Perasaanku campur aduk, antara kesal dan ngeri mengingat banyak pekerjaan yang belum terselesaikan, padahal kami hanya punya waktu satu hari lagi.

Gawatnya, tak ada seorang pun yang ngeh kami dipesankan pesawat apa. Begitu sampai di bandara, dengan terburu-buru kulihat amplop tiket dan muncul logo Lion Air. Tak banyak waktu lagi untuk check in, maka kami segera menuju terminal 1A dan shock melihat antriannya.... Gile... hari Senin begini orang-orang pada mau ke mana, sih?

Setelah antri lama, berpanas-panas ria dan perut keroncongan karena belum makan dari malam sebelumya, ternyataaa.... Mbak di counter Lion Air itu memberitahukan bahwa tiket Lion Air yang kami punya untuk penerbangan Denpasar-Jakarta, bukan sebaliknya. Penerbangan Jakarta-Denpasar ternyata menggunakan Batavia Air. Ah, monyong! Kami jadi berjalan tergesa-gesa menuju terminal 1B. Untunglah di sana tidak ada antrian. Selesai check in, kami langsung membeli donat sebungkus. Baru makan setengah biji, udah boarding. Nasib... Nasib....

Menginjak tanah Bali, koq rasanya biasa aja ya... Padahal ini pertama kalinya aku ke sana, lho! Yang tergambar di pikiranku malah pekerjaan dan pekerjaan. Dijemput oleh Pak Nyoman dan langsung diantar menuju hotel Palm Beach, hotel 'bunga' yang letaknya berdekatan dengan Holiday Inn. Kamar panitia di Hotel Patra Bali harus rela digusur gara-gara peserta workshop banyak yang menginginkan menginap di sana.

Tapi fasilitas kamar tetap oke, sih, menurutku. Ada AC dan bathtub dengan air panas. Cuma chanel TV-nya lokal (ga masalah, toh aku juga jarang nonton TV). Pemandangan ke swimming pool juga lumayan dengan pohon-pohon rindang tumbuh di sekitarnya.

Malam pertama di Bali.... Wkwkwkwk... kesannya...
Yupz, malam yang pertama di Bali ini aku dan Mbak Mutia kebingungan mencari makanan halal. Kami memutuskan berjalan kaki dan akhirnya menemukan rumah makan Padang yang pemiliknya orang Jawa, hehe... Jauh-jauh ke Bali makannya nasi Padang juga....

Acara berikutnya berjalan kaki menuju hotel Patra, melewati jalan setapak dengan lampu-lampu taman di Pantai Segara yang indaaaaaaaaah... banget. Agak menyedihkan, sih, seperti Harun bilang, ke Bali itu harus dengan pasangan. Suasana kafe dengan lampion-lampion dan lilin di pinggir pantai, alunan musik easy listening, kerlipan lampu-lampu di kejauhan, bintang-bintang di langit dan deburan lembut ombak, ya ampyunnnnnnnnn.... romantis banget.... Mana bule-bule itu juga pada berpasang-pasangan lagi.... Bikin ngiri aja...


Setelah mengecek barang-barang yang telah dikirim ke hotel dan mengecek ruangan untuk acara, kami kembali ke hotel Palm Beach. berusaha mengistirahatkan pikiran dan menyongsong esok yang penuh drama karena para big boss empunya acara akan datang menggunakan pesawat siang.