Wilujeng Sumping...

Ini blog seorang mida, yang -seperti manusia lainnya- punya banyak kisah dan masalah untuk diceritakan dalam perjalanan hidupnya. Silakan masuk, duduk di mana aja dan baca-baca sesuka hati. Mau teh atau kopi? ^_^

15 Februari 2010

Tak Sekedar Memberi


Sore hari, saat warung Mimi sedang sepi pembeli, tiba-tiba sebuah motor menepi. Gadis pengendara motor itu menyerahkan bungkusan plastik besar pada Mimi.

"Siapa itu, Mi?" Tanyaku.
"Itu anaknya langganan Mimi," jawabnya sambil membuka plastik yang ternyata isinya sekumpulan kantong plastik bekas kusut. Dengan telaten, Mimi merapikan satu persatu plastik itu meskipun raut wajahnya terlihat tak suka.

"Mimi nggak berani ngasih rujak pake kantong plastik kayak gini, nanti disangka nggak menghargai pembeli," ujar Mimi. Kantong-kantong itu memang sangat kusut dan beberapa malah terlihat kotor. "Disangkanya kita nggak sanggup beli plastik ya, Nok. Padahal kantong plastik kayak gini dua ribu lima ratus udah dapat dua," sambung Mimi sambil menunjuk satu pak kantong plastik hitam baru.

Akhirnya, ghibah jadi tak terhindarkan....

Hmmm.... Aku menceritakan kembali di sini agar kita bisa sama-sama mengambil pelajaran.

Ibu yang memberi plastik itu, sebut saja Ibu A, hidupnya sangat berkecukupan. Dia sering memesan masakan khusus pada Mimi, misalnya pepes rajungan, sop ceker, pepes ikan kembung, dan lainnya. Yang Mimi keluhkan, si Ibu ini suka banget menawar. Padahal Mimi sudah mempertimbangkan harga tanpa mengambil untung banyak.

Contoh, untuk pepes ikan kembung yang harga ikan mentahnya aja Rp 10.000,00 setengah kilo (kira-kira sebanyak 7 ekor), satu bungkus pepesnya Mimi jual Rp 2.000,00. Wajar, kan? Ditambah bumbu, daun pisang pembungkus, bahan bakar dan tenaga, secara keseluruhan, Mimi hanya mengambil untung kurang lebih Rp 3.000,00 aja. Bagiku itu udah murah. Tapi, Ibu itu nggak mau tahu, ia keukeuh menawar sebungkusnya Rp 1.750,00. Mimi geleng-geleng kepala. Seberapa berartinya, sih, Rp 250,00 untuk orang sekaya dia?

Aku mendengar cerita Mimi sambil memperhatikan plastik-plastik yang tengah dirapikannya. Di antara plastik itu, selain berlogo nama-nama supermarket atau minimarket terkenal, terselip juga kantong besar dari Holland Bakery dan Dunkin Donuts. Aku nyengir masam, berpikir, apakah si Ibu A itu juga menawar harga sebuah donatnya jadi Rp 3.000,00 perbiji? Apalagi dengan ukuran kantong sebesar itu, minimal ia harus membeli setengah lusin donat.

Ironis, ya? Untuk membeli produk kapitalis yang pemiliknya udah jelas-jelas kaya, kita bersedia merogoh kocek tanpa pikir ulang. Tapi, saat membeli produk pedagang kecil seperti Mimi, kita tawar-menawar setengah mati. Yah, kecuali kalo harganya memang sengaja untuk ditawar seperti Malioboro atau Pasar Baru Bandung, sih....

Di lain waktu, si Ibu A pernah memberikan dua buah ayam goreng bagian dada pada Mimi. Setelah dicicipi, ayamnya ternyata 'beraroma' minyak tanah cukup menyengat. Dede Rusdy yang ikut mencicipi malah ngomel karena disangkanya Mimi yang memasak ayam rasa minyak tanah itu. "Mungkin ayamnya jatuh atau gimana, ya, Nok. Duh, pengennya suruh si Ibu itu makan sendiri aja."

Untuk ayam goreng dan sekumpulan plastik kusut yang diberikannya, aku tahu niat Ibu A baik. Dipikirnya, daripada dibuang, mungkin berguna untuk pedagang seperti Mimi. Tapi, kalau memang sudah berniat akan memberikan plastik-plastik itu, apa salahnya jika terlebih dahulu dilipat dan disimpan dengan rapi, dipisahkan palstik yang sudah sobek dan kotor, jadi si penerimanya juga senang. Dan makanan yang memang sudah tidak layak makan, bagiku tak ada jalan lain kecuali membuangnya. Kalaupun sebelum dibuang ada yang meminta, jelaskan dulu padanya kondisi makanan itu bisa membawa penyakit.

Dalam memberi, dibutuhkan lebih dari sekedar niat baik. Perhatikan juga barang yang akan kita berikan, jangan jadikan orang yang tak mampu sebagai 'tempat sampah'!. Cara memberikannya juga harus baik, jangan sampai menyinggung perasaan atau harga dirinya. Oh, ya, manusia kecil seperti kami juga punya perasaan dan harga diri!

Gambar diambil dari api.ning.com

03 Februari 2010

Oscar, Kucing yang Mampu Memprediksi Kematian


He's soooo cute, isn't he?

Oscar adalah kucing yang diadopsi dari tempat penampungan hewan dan dibesarkan sebagai therapy cat (kucing yang kadang digunakan oleh pihak rumah sakit untuk menenangkan pasien, terutama anak-anak, yang dirawat di sana) di Steere House Nursing and Rehabilitation Center di Providence, Rhode Island. Namun saat umurnya enam bulan, staf di sana menangkap kebiasaan aneh Oscar: si imut ini selalu tidur melingkar dengan pasien yang akan meninggal. Ia seolah bisa 'merasakan' pasien mana yang akan menemui kematian lebih dulu. Kebiasaannya ini menjadikan Oscar dijuluki malaikat kematian berkaki empat. Hingga saat ini, Oscar bisa memprediksi 50 kematian secara akurat (!).

Oscar bahkan pernah 'diuji'. Ia ditempatkan bersama seseorang yang sakit parah hingga diperkirakan usianya tak lama lagi. Namun Oscar menolak, ia malah pergi lalu berbaring di tempat tidur pasien lain. Dan terbukti, pasien yang ditemani Oscar memang meninggal lebih dulu.

Dr. David Dosa, yang menuliskan kemampuan Oscar dalam sebuah paper yang diterbitkan New England Journal of Medicine tahun 2007, mengatakan bahwa ia tidak bermaksud menjadikan Oscar terdengar sebagai kucing yang menyeramkan atau menjadikan kedatangannya ke sisi tempat tidur seseorang mendapat respon negatif. Melalui bukunya "Making Rounds With Oscar: The Extraordinary Gift of an Ordinary Cat", Dr. David Dosa berharap kebiasaan kucing ini bisa dilihat dari sudut pandang yang lebih baik, terutama bagi keluarga pasien. Dengan adanya Oscar, pasien yang diperkirakan akan segera meninggal bisa didampingi orang-orang tercinta yang memberikan kasih sayang dan perhatian penuh di saat-saat akhir hidupnya.

Subhanallah.... Emang agak-agak gimana... gitu membaca berita tentang si Oscar ini; antara menyeramkan dan takjub. Tapi Dr. Dosa (btw nama koq dosa, sih? :D) benar, kita bisa mengambil hikmah dari kemampuan Oscar ini. Andaikan pasien itu muslim, keluarganya bisa membimbing si sakit untuk mengisi saat-saat akhir hidupnya dengan lafadz ilahiyah. Dan itu membuatku berpikir, jika Oscar datang dan aku tahu hidupku tak lama lagi... akankah aku lebih berani dan ikhlas menerima kedatangan sang malaikat pencabut nyawa? Ya Allah, semoga hidupku husnul khatimah... Amin....

Sumber: news.yahoo.com

28 Januari 2010

Tentang Mimi

Selapis dingin masih tergantung di udara luar, sisa hujan sore tadi. Siapapun hanya ingin bersembunyi di balik selimut hangat dan benderang lampu di dalam rumah yang nyaman. Namun, ketukan pelan di pintu kosku memberitahu tentang kedatangan seseorang istimewa di baliknya. Lirih ia memanggilku agar –jika aku tengah tertidur- suaranya tak menggangguku. Lekas kubuka pintu dan menyambut perempuan istimewa setengah baya itu.

Ia langsung membuka jilbabnya dan rebahan di kasurku. Aku sedikit tersenyum, agaknya suasana hati Mimi , panggilan ‘ibu’ untuknya, sama tak nyamannya dengan udara dingin di luar.

“Mimi tadi pagi ke sini, nggak?” Tanyaku, khawatir tak mendengarnya datang saat aku tengah mandi. Mimi selalu mengantarkan sarapan untukku tanpa mau dibayar. Sederhana, memang. Nasi jamblang khas Cirebon, nasi kuning, nasi uduk, lontong sayur, atau kadang saat Mimi sedang berhemat, ia memasakkanku nasi goreng tanpa lauk, yang membuatnya tak enak hati. Ah, semoga Allah memberkahimu, Mi… Setiap butir nasi yang Mimi sediakan telah menguatkan tubuhku untuk memulai aktivitas hari itu.

“Nggak, Nok. Tadi pagi ibunya Mamak jatuh di kamar mandi, jadi Mimi ke sana dulu.”

Mamak merupakan panggilan untuk suami Mimi. Ibunya yang telah sepuh tinggal di rumah berjarak tak seberapa jauh dari rumah Mimi, ditemani salah seorang putranya, kakaknya Mamak. Namun, saat kejadian itu, sang putra tengah mengunjungi anaknya yang telah berumah tangga. Mimi membatalkan rutinitasnya ke pasar untuk mengurus ibunya Mamak.

“Sekarang di rumah sakit?”

“Diurut aja, Nok. Saudara-saudaranya Mamak juga datang, termasuk yang dari Villa Intan.” Mimi terdiam sejenak. “Tadi Mimi baru jualan jam setengah sebelas, Nok. Tadinya ragu mau jualan atau nggak. Tapi, dipikir-pikir ngapain juga diam di rumah. Ya, wis, jualan aja.”

Mimi berjualan rujak (semacam gado-gado) di sebuah warung sederhana di dekat kosku. Di situlah pertama kalinya aku mengenal Mimi. Warung tanpa dinding, beratapkan terpal plastik warna biru yang telah bocor di beberapa titik. Sebagian jualannya disimpan di sebuah roda tua. Sebagian lagi disimpan di atas meja panjang yang dilengkapi bangku untuk tempat makan para langganannya. Musim hujan seperti ini, Mimi harus tutup lebih cepat karena warungnya diciprati butiran air tanpa ampun. Allah Maha Baik dengan menurunkan hujan di sore hari, jadi Mimi masih bisa berjualan dari pagi hingga waktu Ashar.

“Tadi tuh, Nok, sampai sore Mimi cuma dapat empat puluh ribuan. Eh, tau-tau datang mobil, parkir di depan warung, isinya penuh anak-anak sekolahan. Ya udah, pada minum kopi sama kerupuk dan roti, jadinya dapat lagi dua puluh dua ribu, Alhamdulillah….”

“Anak-anak sekolah minum kopi?” Tanyaku bingung membayangkan anak-anak berseragam SD atau SMP menyeruput kopi di warung.

“Iya, seumuran Rusdy gitu, Nok. Nggak tahu lah, mungkin anak kuliahan.”

Oh…. Rusdy itu putra Mimi paling bungsu, yang juga kuanggap adikku. Ia tamat SMA tahun kemarin dan sekarang bekerja di sebuah minimarket. Meskipun jahil, dia baik dan penurut. Dia sering bilang aku kakak yang menyebalkan karena bisa lebih jahil darinya, hehe…. Putra Mimi ada tiga orang; yang sulung, Mas Dwi, merupakan anak dari suami pertamanya yang meninggal karena kecelakaan saat mas Dwi baru lahir; Rusdy dan kakaknya, Mas Tris, adalah putra dari Mamak. Aku paling dekat dengan Rusdy, dia yang suka mengantarku ke mana-mana (termasuk ke salon ^_^) atau menjemputku di terminal saat aku pulang malam setelah mengunjungi kakakku di luar kota.

Well, kembali ke Mimi. Rata-rata Mimi mendapatkan hasil sekitar tujuh puluh ribu rupiah perhari. Setelah dipotong untuk belanja bahan-bahan rujak untuk jualan keesokan harinya, membayar kue-kue atau gorengan titipan, es balok, dan kreditan barang-barang seperti gelas, sandal dan segala macamnya, barulah Mimi membeli beras dan lauk untuk makan malam dan sarapan, termasuk untukku. Kadang, saat aku makan atau ngemil di warungnya, Mimi mematok harga sekenanya alias murah banget. Aku suka memaksa agar ia menerima uang lebih, tentu saja. Yang kadang ia kembalikan ke dalam dompetku dengan tak kalah paksa. Saat aku pulang ke Bandung atau ke tempat kakak, Mimi akan membekaliku oleh-oleh khas Cirebon, seperti kerupuk melarat atau intip buatan orang Gunung Jati. Dan nantinya Mama akan balik membekaliku oleh-oleh untuk Mimi.

Winda, calon ibu pejabat yang dulu satu kos denganku sampai nyeletuk, “dasar kamu anak kesayangan Mimi.” Hehehe…. Rusdy pun kadang ngiri juga karena Mimi suka menyimpan lauk lebih banyak untukku. “Mentang-mentang anak cewek, lebih disayang,” omelnya.

Ya, Mimi adalah ibu lain yang kumiliki di sini. Aku tak ingat lagi bagaimana semua mengalir hingga aku menjadi dekat dengannya. Tapi yang jelas, aku tahu Allah begitu Maha Kasih hingga Ia menjagaku melalui rasa sayang Mimi di sebuah kota yang sebelumnya sama sekali asing buatku. Saat aku sakit atau tak enak badan, saat aku ingin berbagi kebahagiaan, bahkan saat aku patah hati, ada pelukan dan tangan-tangannya yang tak halus namun penuh cinta terulur untukku. Alhamdulillah….

“Mimi nggak pengen makan?”

“Makan apa, Nok?”

“Enaknya apa, ya… Duitku juga dah abis, Mi,” kataku nyengir.

“Mie ayam di seberang, cuma empat ribu.”

“Yuk!”

Kami pun menembus sisa hujan, menikmati semangkuk mie ayam dan segelas teh panas, menu yang tak biasa untuk makan malam Mimi. Tak banyak kemewahan yang bisa kuusahakan untuknya. Tapi ‘menikmati’ wajah Mimi yang asyik menyeruput mie merupakan hadiah indah untuk mengakhiri malam itu. Kalau udah gajian, insya Allah menunya martabak manis kesukaan Mimi, ya!

22 Januari 2010

Obsesi Terbaru (Ga Dosa, Kan?)

Awalnya, perasaanku masih biasa-biasa aja. Iya, sih, ada rasa suka melihatnya yang begitu indah namun tak pernah sanggup kumiliki. Tapi, entah kenapa akhir-akhir ini ia selalu datang menggoda pikiranku. Seakan ia memanggil-manggil, bahwa ia kini bersedia untuk menemaniku, menebus kesombongannya di masa-masa dahulu saat aku hanya mampu menatapnya tak berdaya, sebelum Mama menarikku menjauh dan memaksaku melupakannya.

Dialah Barbara Millicent Roberts alias BARBIE! Heuheu.... :D

Terlepas dari pro kontra tentang pengaruh negatif boneka cantik ini terhadap anak-anak, aku memiliki sudut pandang tersendiri tentang Barbie. Bagiku, ia merupakan sebuah karya indah, hasil kreativitas para pembuatnya, Harold Mattson serta pasangan suami istri Ruth & Elliot Handler (perusahaan Mattel yang memproduksi Barbie berasal dari singkatan nama MATTson dan ELliot). Maksudku, liat, deh, keindahannya yang dibuat detail banget. Dari mulai gaya rambut, warna lipstik, baju, aksesoris, sepatu. Butuh kerja keras dan kreativitas tinggi untuk menciptakan mainan secantik itu. Dan selain faktor keindahan, aku juga membutuhkan Barbie sebagai seorang teman curhat.

Haaa??? Serius lo, Mid???

Hehe.... Tenang... tenang... Aku masih normal koq, alhamdulillah. Mbak Mut2 sampe nanya, apa belom cukup semua teman dan blog yang kumiliki untuk dijadikan tempat curhat? Hmm.... Gini, deh... Aku sangat sangat berterima kasih dan bersyukur atas keberadaan semua keluarga dan teman yang kumiliki. Tapi, dalam keadaan tertentu, aku benar-benar ingin bicara sesuka hati tanpa harus membuat teman bicaraku jadi bosan atau bete. Kalian kan tidak bisa stand by untukku sepanjang waktu 24 jam? Nah, boneka ini bisa.... Tadinya terpikir olehku untuk membeli boneka kucing (boneka kucing kembarku ketinggalan di Jogja, hiks....). Tapi, aku membutuhkan girls talk. Jadi, lebih cocok kalo aku 'ngobrol' (lebih tepat disebut monolog, sebenarnya, ya, hihihi...) dengan cewek daripada dengan kucing. Maka, pilihanku jatuh pada si cantik ini.

Membeli boneka Barbie asli menjadi salah satu resolusi tahun ini. Yup, harus yang asli! Mungkin bagi yang lain rasanya ga penting. Itu relatif, sih. Alasanku adalah mimpi. Mimpi masa kecil. Dan insya Allah tahun ini aku merasa sanggup mewujudkannya (meskipun harus jungkir balik dulu ngumpulin uangnya - maklum cuma tukang sablon ^_^). Ada memang seri Barbie yang dijual di Indomaret dengan harga di bawah seratus ribu, tapi terlalu biasa *belagu.com*.

Maka, aku berselancar ke sana kemari. Seri Barbie Dolls of the World bikin aku terpesona. Liat, deh seri Cina, Korea dan Rusia ini:




Gemesin banget! Harganya berkisar dari US$ 30 hingga US$ 125. Masih ada seri yang lain, bahkan ada seri Sumatra Indonesia yang memakai gaun biru selutut terbuat dari sejenis kain songket kecil lengkap dengan hiasan kepalanya (tapi wajahnya kurang meng-Indonesia, ya, hehe...)


Aku kembali mengubek-ubek dunia boneka dengan bantuan Mbah Google. Seri yang membuatku kembali terpesona adalah Barbie yang mengenakan gaun-gaun rancangan desainer ternama. Dan aku memutuskan, inilah Barbie yang akan kuperjuangkan (halah!!!):
Barbie ini dibalut gaun Vera Wang. THE Vera Wang. Setiap gadis Amerika sepertinya bermimpi untuk menikah dalam gaun rancangannya. Dan yang aku suka, saat diwawancara Oprah, tampilannya bersahaja tapi begitu elegan. Kalo aja dia mau ngerancang baju pengantin muslim ya.... *ngayal*. Mau aja kali, kalo ongkosnya cocok, hehehe.... Ah, kembali ke boneka ini. Again, the details! Sebagai seorang yang cenderung perfeksionis, aku suka banget melihat hasil karya yang dibuat begitu baik hingga ke detailnya. Brokatnya, renda dan pita yang sesuai skala, terlihat anggun, mewah, tapi tidak berlebihan. Meskipun tipe tubuhku yang bulat jelas ga akan cocok memakai model mermaid begini, hehehe.... (lagipula kan terbuka atasnya).

Lalu... lalu... Aku berpikir, alangkah cantiknya kalo ada Barbie dalam balutan baju pengantin muslim atau yang berkebaya. Voila! Sampailah aku di Arrosa....

Tapi yang lebih heboh, aku menemukan rancangan kebaya Barbie yang cantik-cantik di Link Barby. Awesome!!!



Hmm... dengan obsesi seperti ini, kurasa aku harus lebih banyak berinfak. Ga lucu kan, aku beli mainan semahal itu, tapi ada tetangga yang masih kelaparan.... Ah, dilema....

Koleksi Arrosa: http://www.arrosa.net/
Koleksi Barbie lengkap: http://www.angelicdreamz.com/
Koleksi Barbie dan kebaya Barbie: http://www.linkbarby.com/
Koleksi baju dan aksesoris Barbie murah: http://jualbarbie.blogspot.com/
Koleksi baju dan aksesoris Barbie murah: http://www.infinity-gift.com/
Koleksi baju rajutan Barbie: http//moms-idea.blogspot.com/

19 Januari 2010

Santapan Cinta


Biasaaaa... Kalo lagi butek, bacaannya yang agak ringan begini... Hehe...

Tadinya kupikir novel The Food of Love atau Santapan Cinta ini bergenre chicklit. Ternyata bukan. Ini novel roman tapi 'kemasan' dan desain sampulnya mirip chicklit. Mengambil setting Kota Roma yang klasik dengan kulinernya yang terkenal di dunia, cerita bergulir di antara satu cewek dan dua cowok yang terlibat cinta segitiga.

Tommaso Massi, adalah tipikal cowok Italia yang sering kutemui di cerita-cerita: tampan, menyukai sepakbola, tertarik menjalin hubungan singkat dengan turis-turis cantik dan romantis. Ia naksir Laura, cewek cantik dari Amerika yang sedang belajar sejarah seni di Roma. Saat Laura sedang menelpon temannya, Tommaso yang menguping pembicaraan mereka akhirnya mengetahui bahwa Laura ingin berkencan dengan seorang chef.

Tommaso kemudian membujuk sahabatnya, Bruno, untuk melakukan konspirasi (halah). Bruno merupakan salah satu chef di restoran Templi, restoran yang terkenal di kalangan atas Italia. Namun, tanpa sepengetahuan Tommaso, diam-diam Bruno juga jatuh cinta pada Laura. Namun, ia minder karena tak setampan sahabatnya. Maka, ia setuju untuk memasakkan makanan lezat bagi Laura -yang akan diakui Tommaso sebagai hasil kreasinya- sebagai ungkapan cintanya yang mendalam pada gadis itu. Dari sinilah konflik dimulai.

Aku membenci sekaligus mengagumi novel ini. Kok bisa?

Yep. Aku suka novel ini karena membahas kuliner khas Italia, terutama dari daerah Roma, secara mendetail. Jujur aja, selama ini aku bahkan ga pernah ingat nama-nama pasta, kecuali spaghetti dan lasagna. Begitu disebut fetuccini, misalnya, ga ngeh lagi yang bentuknya gimana, hehe... Begitu juga dengan kopi. Kupikir, espresso dan machiatto udah yang paling pahit. Ternyata ada lagi ristretti yang jauh lebih pahit dan kental hingga dijuluki 'adrenalin cair', wewww... (kalo minum itu pasti lambungku langsung ngamuk).

Melihat nama pengarangnya yang berbau Italia, kupikir pastilah dia lahir dan besar di sana, jadi bisa menulis seluk-beluk Italia dan makanannya dengan sangat baik. Ternyata, dia lahir di Uganda, sodara-sodara! :D Dia juga kuliahnya di Oxford. Dan setelah mikir lagi (kegiatan yang jarang kulakukan sejak lulus kuliah, hehehe...), aku yang lahir dan besar di Bandung pun belum tentu bisa menulis kuliner dan seluk-beluk Jawa Barat sebaik itu. So, salute to Mr. Capella!

Tapi, aku juga benci novel ini karena membuatku bosan di tengah-tengah cerita. Puncak konfliknya diulur-ulur terus dengan adegan-adegan memasak dan adegan percintaan yang vulgar (yeah, namanya juga bule yang nulis). Penyelesaiannya juga kurang seru. Meskipun bisa ditebak ceritanya bakalan happy ending, setidaknya aku berharap sesuatu yang lebih mengejutkan telah menantiku di akhir... Yang ternyata tidak.

Ya, setidaknya melalui buku ini, wawasanku mengenai negeri Italia jadi bertambah. Jadi, ga terlalu mengecewakan lah.

15 Januari 2010

Sekelumit Malam

Di tempatku berpijak, hanya ada rerumputan kering dan semak-semak liar. Di sini malam terasa dingin dan gelap. Detik yang berlalu hanya diisi keheningan. Sementara jauh di seberang, cahaya kota berkelap-kelip penuh kehangatan. Pantulan warnanya begitu memesona di permukaan laut yang tenang. Seakan ia terbuat dari kaca yang menyerap semua bayangan keindahan malam.

Berdiri di sini, menikmati setiap siluet pernak-pernik kota yang terekam dalam pemandangan di seberangku, hanya ditemani angin yang bergerak-gerak gelisah. Aku bisa melihat cahaya lampu-lampu malam itu berpendar jelita. Tapi cahaya itu tak bisa meraihku. Ia bagai mimpi yang tak nyata. Di sini, aku yang beku hanya terbiasa berbincang dengan tuan api yang semangatnya selalu bergelora. Bertukar kata dalam diam, berbagi cerita hingga fajar tiba.

13 Januari 2010

Time To Say Goodbye


Time To Say Goodbye
by Simple Plan

I just don't want to waste another day
I'm trying to make things right
But you shove it in my face
And all those things you've done to me I can't erase
And I can't keep this inside
It's time to say goodbye

On the first day that I met you
I should have known to walk away
I should have told you you were crazy
And disappear without a trace
But instead I stood there waiting
Hoping you would come around
But you always found a way to let me down

[Chorus]
It's time to say goodbye
(I just don't want to waste another day)
It's time to say goodbye
(Cause things will never be the same)
It's time to say goodbye
(You make me sick I need to walk away)
It's time to say goodbye
It's time to say goodbye

After all the things I've done for you
You never tried to do the same
It's like you always play the victim
And I'm the one you always blame
When you need someone to save you
When you think you're going to drown
(Think you're going to drown)
You just grab your arms around me and pull me down

[Chorus]

Now I'm gone
It's too late
You can't fix
Your mistakes
I was trying to save you from you
So you scream
So you cry
I can see
Through your lies
You're just trying to change me
(Trying to change me)

Somewhere in the distance
There's a place for me to go
I don't want you to hate me
But I think you need to know
You're weighing on my shoulders
And I'm sick of feeling down
So I guess it's time for me to say goodbye

***
Begitu menutup telepon di pembicaraan kita yang terakhir, aku langsung menghadap-Nya. Tak ada waktu untuk menangis. Aku membuka facebook, mengganti status dan menghapus namamu dari daftar pertemanan. Aku bersihkan HP-ku dari semua sms dan daftar panggilan darimu. Terakhir, aku hapus nomormu dari memori di dalamnya.

Ketika tiba di kantor, aku terpikir untuk memblok alamatmu di e-mailku. Tapi aku telah berjanji, itulah satu-satunya media bagi kita berkomunikasi. Dan aku akan menepati janjiku. Meskipun aku tak berjanji akan membalasnya.

Dan ya, aku tahu suatu hari kamu akan berkunjung ke sini, duniaku, di blog ini. Silakan. Toh namamu memang pernah ada dalam cerita hidupku. Meskipun berakhir menyakitkan.

Selamat tinggal.