Wilujeng Sumping...

Ini blog seorang mida, yang -seperti manusia lainnya- punya banyak kisah dan masalah untuk diceritakan dalam perjalanan hidupnya. Silakan masuk, duduk di mana aja dan baca-baca sesuka hati. Mau teh atau kopi? ^_^

29 April 2010

The Duyfken: Kisah Si 'Merpati Kecil' Belanda



We shall build good ships here.
At a profit - if we can.
At a loss - if we must.
But always good ships.

Bait kata penuh tekad di atas diucapkan oleh Collis Potter Huntington (1821 – 1900), ‘raja kapal’ Amerika yang terkenal di masanya. Namun, jauh sebelum Collis Huntington lahir, bangsa Belanda telah membangun kapal-kapal tangguh untuk mengarungi dunia dengan teknologi seadanya.

Dokumen-dokumen dari abad ke-17 menjadi saksi sejarah tertulisnya ketangguhan armada kapal Belanda. Bahkan Spanyol, yang sedang berperang dengan Belanda, tak bisa mengusir kapal-kapal Belanda dari pelabuhannya sendiri karena mereka sangat bergantung pada pasokan padi-padian yang dibawa kapal-kapal itu dari wilayah Baltik.

Majunya ekonomi negara kecil bernama Belanda ini mungkin membuat kita bertanya, apa sih yang dimiliki mereka? Cadangan minyak berlimpah? Tanah luas yang subur dengan aneka ragam hasil bumi? Laut yang kaya? Ah, jika dibandingkan, kita memiliki semua kandungan berharga itu dalam jumlah lebih banyak. Lalu mengapa Belanda bisa menjadi sebuah bangsa yang besar dan makmur?

Kurasa, kekayaan sejatinya memang tidak berasal dari dalam bumi, melainkan tertanam di dalam diri manusianya.

Sejak dahulu, mereka adalah bangsa petualang. Tidak semua orang mendapatkan kehormatan seperti ini. Dibutuhkan karakter kompleks untuk menjadi seseorang yang berani menjelajahi bumi, bahkan sebelum mereka tahu apa yang akan dihadapi di depan. Keberanian, ketangguhan, kecerdasan dan bahkan kesabaran merupakan sebagian karakter yang harus dimiliki.

Semangat negeri kecil yang cantik ini tergambar dalam kisah sebuah kapal bernama The Duyfken (berasal dari kata Duifken atau Duijfken yang berarti merpati kecil). Kapal yang dibangun sekitar tahun 1595 ini dirancang untuk berlayar ribuan mil jauhnya menuju negeri rempah-rempah yang kelak bernama Indonesia.

Namun, tidak seperti kapal layar lain seperti galleon milik bangsa Spanyol atau Portugis yang berukuran besar, Duyfken – dengan berat 110 ton, panjang 65.4 ft (19.9 m) dan lebar 19.7 ft (6 m) - merupakan kapal kecil yang cepat untuk ukuran kargo sekelasnya, dirancang mampu berlayar di perairan dangkal dan dilengkapi persenjataan ringan berupa 8 buah meriam.

Dibangun dengan metode plank-first, yaitu pemasangan papan kayu dilakukan sebelum adanya kerangka yang akan membentuk lambung kapal. Metode ini dianggap ketinggalan zaman dan merupakan kebalikan dari frame-first yang sedang populer pada saat itu. Namun orang Belanda, tidak terpengaruh oleh trend baru pembuatan kapal, berinovasi dengan cara pemasangan papan yang lebih baik dan lebih ekonomis tanpa harus mendobrak tradisinya. Metode ini membebaskan mereka untuk membentuk kapal yang menurut mereka paling bagus tanpa harus dibatasi oleh rancangan gambar.

Replika The Duyfken juga dibuat dengan cara plank-first

Meskipun kecil dan dibangun dengan cara sederhana, namun jangan pernah meremehkan kapal Duyfken. Setelah tahun 1596 sukses mengarungi samudera dan tiba di wilayah Indonesia, tahun 1601, kapal di bawah pimpinan Kapten Willem Cornelisz Schouten ini kembali berlayar dari kota Texel, Belanda, menuju Bantam (kini Banten) bergabung dengan armada Moluccan. Armada yang terdiri dari 5 kapal termasuk Duyfken, berhasil mengalahkan 30 kapal milik armada Portugis dan mengakhiri dominasi bangsa Iberia (Portugis-Spanyol) di jalur perdagangan rempah-rempah Eropa.

Setelah bergabung dengan VOC di Hindia Belanda, kapal The Duyfken ditugaskan untuk mencari negara-negara yang terletak lebih jauh di timur dan selatan untuk memperluas perdagangan. Tahun 1605, di bawah pimpinan Kapten Willem Janszoon, kapal ini bertolak dari Bantam menuju Banda, dilanjutkan ke Kepulauan Kei lalu menyusuri bagian selatan Papua Nugini. Di bagian timur, Janszoon kemudian membawa The Duyfken menyeberangi Laut Arafura tanpa menyadari adanya Selat Torres (selat ini memang dinamai Torres dari Luiz Vaez de Torres yang melakukan ekspedisi ke wilayah ini di tahun yang sama, namun nyatanya The Duyfken telah mencapai selat ini bulan Maret 1606, beberapa minggu lebih awal dibanding Torres) . Mereka tiba di Tanjung Carpentaria, memasuki Sungai Pennefather pada tanggal 26 Februari 1606 dan mencapai bagian barat sebuah tanjung yang kelak dinamakan Cape York of Peninsula oleh James Cook.

Apakah kau tahu di mana letak tanjung ini?

Australia!

Ya! The Duyfken digoreskan dalam sejarah dunia sebagai kapal Eropa pertama yang menemukan sebuah benua baru bernama Australia. Meskipun sang kapten sama sekali tidak menyadari hal itu, karena ia mengira daratan yang ditemukannya masih merupakan bagian dari Papua Nugini. Namun, catatan yang dibuat kapal ini membuat Letnan James Cook dengan kapal HM Bark Endeavour-nya yang legendaris tak berhak menyandang gelar sebagai orang Eropa pertama yang tiba di Australia karena ia terlambat 164 tahun dari The Duyfken(!).

Si ‘Merpati Kecil’ pembuat sejarah dunia ini hanya sebuah contoh dari majunya industri perkapalan Belanda. Hingga kini, Belanda masih tercatat sebagai salah satu pembuat kapal terbaik, terutama untuk produksi kapal-kapal yacht yang mewah. Salah satu inovasi yang dibuat Belanda akhir-akhir ini adalah tugboat (kapal kecil untuk mengarahkan kapal lebih besar dengan cara menarik atau mendorong) yang diberi nama Carrousel Tug, pemenang Maritim Innovation Award di ajang Dutch Maritime Innovation Awards Gala tahun 2006.

Teramat banyak yang bisa dipelajari dari Koninkrijk der Nederlanden ini, apalagi karena negara kita tercinta juga merupakan negara maritim. Di atas tanah kerajaan ini berdiri universitas-universitas terbaik dunia. Reputasi Universitas Utrecht, Universitas Amsterdam, Universitas Teknik Delft dan banyak universitas lainnya telah terjaga baik hingga ratusan tahun. Di sanalah para ilmuwan terkenal dunia pernah mendapatkan ‘kursi’-nya – baik sebagai pelajar, pengajar atau peneliti.

Belanda bagaikan sebuah rumah yang menawarkan kehangatan, kenyamanan dan banyak ilmu untuk dibagi. Dan pintu-pintu mereka akan selalu terbuka lebar, menyambut ramah para ‘petualang’ asing dari negeri lain yang haus akan pengetahuan. Apakah kamu salah satu dari calon petualang itu?

Referensi:

http://www.duyfken.com/

06 April 2010

Edisi Jogja: Memanjakan Lidah

Sebagai penikmat makanan yang nggak terlalu rese (asal halal, ga menjijikkan dan bukan ikan air tawar), mencoba makanan atau menu di tempat makan baru merupakan kegiatan yang menyenangkan, apalagi jika ditemani sahabat yang mempunyai kegemaran yang sama. Dan Jogja adalah sebuah kota yang menjadi lahan subur bagi begitu banyak tempat makanan enak dengan harga terjangkau.

Namun, berhubung rencana perjalanan ke kota ini memang telah berantakan dari awal, aku akhirnya tidak terlalu ngotot lagi ingin mencoba tempat makan baru. Tadinya, makan malam di Restoran Bale Raos yang menyediakan menu khusus kesukaan para Sultan Kerajaan Yogyakarta ada di top list-ku. Nyatanya, karena tak membawa kendaraan sendiri dan tak ada teman untuk mencicipi menu di sana, rencana itu gagal. Akhirnya aku menyerah, hanya ingin bersantai dengan 'rasa' yang telah dikenal lidahku sebelumnya. Jadi, inilah tempat makan yang kudatangi selama akhir minggu kemarin.

Nanamia Pizzeria


Berhubung aku baru sampai di Jogja pas Maghrib, lalu mengobrol ngalor-ngidul dengan si Botak yang udah lama ga ketemu, kami baru keluar untuk makan malam jam 20.30 WIB. Lalu lintas masih ramai dengan turis yang tumpah ruah di jalanan. Karena bingung memutuskan tempat makan, si Botak akhirnya mengajakku ke Mal Galleria. Di mal itu ada tempat makan favorit kami waktu kuliah: Bee's. Restoran ini merupakan 'fast food' untuk masakan-masakan Asia, mulai dari Malaysia, Thailand hingga India. Harganya antara belasan hingga puluhan ribu, masih setara lah dengan McD. Well, dengan harga segitu, jangan harap bumbu asli negara asalnya bakal terasa :) Tapi lumayan enak, koq. Yang kurang kusuka, ada beberapa menu yang masih disajikan di kotak styrofoam, selain ga go green *haiyah*, rasanya kurang mantap aja. Masa sih, makan di warung aja pake piring, di sana cuma pake styrofoam? :D Ternyata, menu yang tersedia tinggal Gold dan Platinum Box (semacam paket hematnya). Si Botak menggeleng, jadi kami keluar dari sana.

"WS aja," kata si Botak. WS itu singkatan Warung Steak yang udah terkenal di seantero Jogja sebagai tempat makan berbagai macam steak dengan harga mahasiswa. Aku ngikut aja, deh. Eh, baru menginjakkan kaki di pintu masuk, si Mas waiter-nya langsung mendekat dan memberitahukan menu di sana sudah habis. Uah, memble deh....

"Nanamia aja, yuk!" Ajakku pas di parkiran. Mumpung tempatnya dekat dari situ. Kami akhirnya meluncur ke Jl. Moses Gatotkaca yang terletak di sebelah Jogjakarta Plaza Hotel (awal aku kuliah namanya Hotel Radisson). Di dalam restoran masih ramai dengan bule-bule yang lagi asik kongkow-kongkow sambil minum bir.

Tempat makan ini relatif baru. Meskipun banyak bule berkunjung ke sini, jangan bayangkan tempatnya luas dan mewah. Ukuran restonya kecil dengan kursi dan meja sederhana terbuat dari kayu. Desainnya hangat dan homy banget. Alunan musik yang upbeat seperti Samba selalu mengiringi gelak tawa pengunjung.

Yang istimewa di sini memang makanannya. Berbeda dengan Pizza Hut, pizza di sini benar-benar dibuat ala Italia dengan roti yang tipis-renyah dan guyuran saus dengan rempah-rempah seperti oregano dan basil yang cukup kuat plus keju mozarella yang hmmm.... Dipanggang di tungku besar dengan bahan bakar kayu. Pelayannya -meskipun tidak full senyum- tapi sangat sigap. Saat hendak memesan, si Mas pelayan bilang pizza-nya sudah habis, tinggal tersisa pasta Lasagna. Si Botak protes karena Lasagna yang biasanya cuma seukuran 15x15 cm itu ga bakal membuatnya kenyang. Tapi aku udah capek banget jadi kubilang aja abis dari sini dia beli nasi goreng lagi buat dimakan di rumah, hehe....

Kalo mau ngintip menunya ada di sini. Jangan khawatir, harganya hampir sama koq dengan Pizza Hut atau Papa Ron's.

RM Padang Murah Meriah

Apa istimewanya rumah makan yang satu ini? Jawabnya: nggak ada, hahaha.... Ini tempat makan yang sering kukunjungi di sela-sela kuliah dulu karena letaknya di dekat kosku, di belakang pasar Condong Catur. Kangen aja sama tempat satu ini.

Seperti hampir semua RM Padang lainnya di Jogja, bumbunya tidak terlalu asin dan pekat atau kental, sudah bercampur citarasa Jawa yang agak manis. Tapi, setelah mencoba-coba di tempat lain, di tempat ini bagiku rasanya pas banget, jadi aku selalu datang lagi ke sini. Tempatnya terang, bersih dan pelayanannya cepat. Harganya jelas murah meriah dunk. Satu porsi nasi+ayam+sayur+sambal ga lebih dari Rp 6.000,00. Sayang, mereka ga sedia sate Padang T_T.

Rumah Coklat

Cafe di Jl. Cik Di Tiro ini sudah membuatku penasaran sejak dulu. Pernah aku dan Een ngebela-belain menyisihkan uang kiriman bulanan biar bisa makan di cafe yang kayanya tempat kongkow para mahasiswa tajir ini. Pas nyampe sana, ternyata tutup karena lagi direnovasi. Asemmm!!! Hahaha... (Inget, ga, En?).

Sebelum pulang ke Cirebon, aku dan Icha menyempatkan diri mampir ke sini. Dari luar aja udah kelihatan tempatnya cukup eksklusif, tapi harganya ternyata ga semahal yang kukira dulu, masih murah di sini dibanding setarbak mah :). Karena dilengkapi hot spot, beberapa muda-mudi asik berselancar dengan laptop masing-masing di sofa-sofa empuk ala lounge. Memang asik kalo ngenet gratis ditemani cemilan dari coklat plus secangkir cappuccino, hmmm....

Menu yang ditawarkan ternyata tak hanya seputar coklat. Seingatku memang tidak ada nasi, tapi ada beberapa pilihan pasta seperti fettuccini carbonara (bisa pilih tuna/sapi) dan camilan agak berat, seperti mayo chicken stick (sekilas mirip nugget dilengkapi saus mayonaise), french fries, croissant dan... apalagi ya? Banyak juga, sih....

Karena aku memang lagi pengen ngemil, aku memesan mix cake dan secangkir hot caramel coffee. Tapi, dipikir-pikir, karena takut kelaparan di perjalanan pulang ke Cirebon, aku juga memesan mini butter croissant. Mix cake itu sepotong cake yang bisa dipilih di counter ditambah satu scoop es krim vanila, ditaburi chocochips dan dihias sepotong biskuit oreo. Karena pelayannya bilang mix cake favorit di situ adalah Mediterranean, aku mengikuti sarannya. Sementara Icha memesan Lasagna dan minuman Cold Choco Royale (coklat dingin yang rasanya coklat banget!)

Saat pesanan datang, aku sumringah melihat lapisan cake dan krim coklat berselang-seling yang ditata cantik dengan hiasan cherry dan kepingan dark chocolate yang dibentuk abstrak berdiri di atas krim putih. Rasanya ga akan mengecewakan penggemar coklat, deh.... Tapi....

Kuenya mirip-mirip gini, deh (piringnya juga mirip, hehe...)

"Ini rasa apa ya? Kismis?" Tanya Icha saat dia mencicipi cake itu.

"Kismis?" Tanyaku bingung karena memang tak menemukan butiran kismis di manapun.

"Ini, agak asam gimana gitu...," katanya sambil mengunyah dan berpikir, "kayak rhum?"

Hah? Aku ikut menyendok lagi dan mulai memperhatikan rasa asing tapi wanginya cukup familiar itu. Soalnya, beberapa kali aku menemukan wangi yang sama di vla di dalam kue sus atau vla puding untuk menghilangkan bau amis kuning telur. Aku sepakat dengan Icha, itu rhum.

Saat pelayan datang mengantarkan lasagna, aku bertanya padanya, "Mbak, maaf, aku boleh nanya, ya? Cake-nya dikasih rhum, ya?" Si Mbak meng-iya-kan. "Alkohol?" Tanyaku lagi.

"Iya. Tapi, kan alkohol buat makanan, Mbak," katanya.

Teteup aja aku ga bisa makan, sesedikit apapun alkohol dari rhum ya haram. Icha udah nahan ketawa melihat wajahku yang langsung kecewa karena terpaksa bilang bubbye sama cake nan lezat menggoda itu. Kenapa harus pake alkohol, sih? Gerutuku sebal. Aku akhirnya hanya menghabiskan es krim-nya. Untung masih ada mini butter croissant (yang ternyata bentuknya ga mini :p) dihias lelehan coklat di atasnya. Kopinya juga enak, bukan kopi instan. Lasagna-nya masih lebih berbumbu yang di Nanamia, tapi enak juga, sayang pas disajikan udah agak dingin.

Pas bayar di kasir, aku melirik sebal ke arah counter yang berisi berbagai macam cake menawan tapi ga bisa dimakan itu, hiks.... Karena penasaran, aku tanya lagi sama kasirnya, "semua cake di sini pake rhum, ya, Mas?"

"Iya, Mbak," jawabnya ramah.

"Tetep aja aku ga bisa makan," kataku rada manyun.

"Kan rhum yang buat makanan, Mbak."

"Alkohol apa essens?" Tanyaku lagi.

"Essens," jawabnya senyum. Hiiiih.... makin sebel lah dirikyu. Kalo essens kan insya Allah halal. Teringat lagi potongan besar cake yang tadi kucuekin.

"Mbak-nya nggak nanya, sih...," kata Mas di kasir lagi, kali ini sambil nyengir.

Hwah.... Laen kali aku mau pesan yang lain aja lah, biar ga ragu-ragu :)

22 Maret 2010

Lomba Review Buku "Start Young"



DATA BUKU

  • Judul Buku: Start Young

  • Genre: Motivasi

  • Penulis: Dedy Dahlan

  • Penerbit: Grasindo

  • Cetakan Pertama: Juli 2009

  • Bahasa: Indonesia

  • Tebal Buku: 140 Halaman

  • Dimensi Buku (P x L): 15 x 23 cm

  • Website Resmi Penerbit: http://www.grasindo.co.id

  • Website Resmi Penulis: http://www.dedydahlan.com

  • No. ISBN: 978-979-02-5765-8

  • Harga:

      • Gramedia: Rp.27.000


PERATURAN EVENT
Peraturan Umum:

  • Peserta lomba akan diminta untuk menulis review/ulasan/resensi tentang buku ‘Start Young’.

  • Review terdiri dari minimal 250 kata.

  • Review harus hasil pemikiran pribadi peserta, bukan tulisan orang lain.

  • Review ditulis menggunakan bahasa yang sopan, tidak sinis ataupun kasar.


Peraturan Khusus:
  • Peserta lomba akan diminta menulis review di blog miliknya, dengan judul: Lomba Review Buku ‘Start Young’, Hanya di Kitareview.com!

  • Bila peserta lomba tidak memiliki blog, peserta akan menulis review-nya di note pada Facebook, dengan judul yang sama seperti di atas.

  • Peserta wajib memasukkan cover depan buku ‘Start Young’ di dalam halaman review-nya. Cover depan buku ‘Start Young’ silahkan unduh di sini atau di sini. Posisi cover Buku bebas (boleh di atas Review, atau di bawah Review).

  • Peserta wajib memasukkan Data Buku ‘Start Young’ di dalam halaman review-nya (mulai dari Judul Buku hingga Harga), seperti yang dicontohkan di atas. Posisi Data Buku bebas (boleh di atas Review, atau di bawah Review).

  • Di dalam halaman review tersebut, peserta diwajibkan memasang banner ‘lomba review kitareview.com’, yang me-link ke halaman event kitareview.com, yaitu:http://kitareview.com/events.php?id=4. Banner silahkan unduh di sini. Banner ini bebas diposisikan dimanapun, asalkan tetap menjadi bagian dalam review.

  • Peserta kemudian mengirimkan email konfirmasi, yang berisi: nama lengkap , tempat & tanggal lahir, alamat, no. telp/hp, dan alamat blog/note Facebook miliknya, ke alamat email: event@kitareview.com, dengan judul email: ‘Kitareview.com Event 1 – Start Young’.


SISTEM PENJURIAN EVENT
Tahap 1
Penjurian Tahap 1 akan terdiri dari 3 orang, dengan detail sebagai berikut:
  • 1 orang juri wakil dari kitareview.com

  • Penulis Dedy Dahlan

  • 1 orang juri wakil dari Sponsor


Penilaian Tahap 1 akan diberikan berdasarkan:
  • Ke-original-an tulisan

  • Informatif

  • Struktur bahasa

  • (Keputusan dewan juri bersifat mutlak dan tidak dapat diganggu gugat)

Dari seluruh peserta yang mengikuti event, akan dipilih 9 review terbaik. 9 review terbaik tersebut akan lolos ke Tahap 2.

Tahap 2

  • 9 review terbaik yang telah terpilih, kemudian akan di-publish di halaman review kitareview.com, kategori Hall of Fame – Event 1.

  • Di halaman review tersebut, masing-masing review akan memiliki kesempatan untuk di-rating oleh khalayak umum (siapapun boleh ikut me-rating).

  • Dari 9 review tersebut, yang memiliki nilai rating tertinggi akan dinobatkan menjadi Juara 1, yang memiliki rating tertinggi kedua akan dinobatkan menjadi Juara 2, dan memiliki rating tertinggi ketiga akan dinobatkan menjadi Juara 3.


PERIODE EVENT
    ‘Kitareview.com Event 1 – Start Young’ ini, diselenggarakan terhitung mulai hari Kamis, 11 Maret 2010, dan batas waktu/deadline penulisan review dan pengiriman email konfirmasi adalah Selasa, 11 Mei 2010, pukul 24.00 WIB.

    Pengumuman pemenang ‘Kitareview.com Event 1 – Start Young’ Tahap 1, akan diumumkan pada hari Selasa, 25 Mei 2010. Kemudian pada hari Rabu, 26 Mei 2010, 9 review pemenang Tahap 1 akan di-publish di halaman review kitareview.com, kategori Hall of Fame – Event 1.

    Setelah 9 review tersebut di-publish, masyarakat umum dipersilahkan untuk me-rating. Batas waktu melakukan rating adalah Selasa, 1 Juni 2010, pukul 24.00 WIB. Setelah batas waktu tersebut, pihak kitareview.com akan langsung mencatat hasil rating dari 9 review tersebut. Hasil rating tersebutlah yang akan menjadi dasar penentuan Juara 1, 2, dan 3 untuk Tahap 2.

    Apabila terjadi perubahan nilai rating, setelah batas waktu yang telah ditentukan, nilai rating tersebut tidak dianggap sah.



HADIAH EVENT
Hadiah Tahap 1
9 peserta yang lolos Tahap 1, masing-masing akan mendapatkan:
  • Souvenir berupa kaos, dari Dedydahlan.com

  • Souvenir berupa tas, pulpen, dan pin, dari Qwords.com


Hadiah Tahap 2
Juara 1:

  • Paket buku-buku terbaru dari Penerbit Grasindo, senilai Rp.500.000

  • Voucher foto dari Papyrus Photo, senilai Rp.350.000

  • Uang tunai dari Dedydahlan.com, senilai Rp.250.000

  • Paket Domain & Hosting PremiumIndoA 1 tahun, dari Qwords.com

Juara 2:
  • Paket buku-buku terbaru dari Penerbit Grasindo, senilai Rp.500.000

  • Voucher foto dari Papyrus Photo, senilai Rp.350.000

  • Paket StandardIndo 6 bulan + Domain 1 tahun, dari Qwords.com

Juara 3:
  • Paket buku-buku terbaru dari Penerbit Grasindo, senilai Rp.500.000

  • Paket Starter 6 bulan + Domain 1 tahun, dari Qwords.com


INFO EVENT
  • Semua pertanyaan yang berhubungan mengenai event ini, dapat ditanyakan melalui email: ask.event@kitareview.com

  • Bagi Anda yang kesulitan mendapatkan buku ‘Start Young’ di toko buku, Anda dapat memesannya melalui email: book.startyoung@kitareview.com

  • Seluruh peserta diharapkan untuk terus mengecek halaman ini, agar dapat mengikuti perkembangan terbaru apabila ada update mengenai event.

01 Maret 2010

Sebuah Pertunjukkan

Be yourself.

Kalimat ini sungguh familiar. Terdengar di mana-mana, diucapkan banyak orang, di banyak tempat. Kita mungkin telah mengenalnya, jauh sebelum bisa mengucapkan dan mengerti artinya dengan benar. Entah jenius mana yang menemukan rangkaian kata ini pertama kali. Tapi, aku yakin, ia mengeluarkan pikiran ini karena manusia kadang lupa untuk menjadi dirinya sendiri dalam kehidupan sehari-hari.

The life we’re living, it’s all a masquarade. Hidup ini bak pesta topeng. Lagu lama yang telah dinyanyikan puluhan bahkan ratusan kali. Pagi hari, ketika kita memutuskan memakai baju tertentu, kita siap untuk berpesta di panggung besar bernama dunia dengan skenario kehidupannya. Kita tampil menjadi wanita kuat, meskipun semalam air mata tertumpah di atas bantal. Kita siap menjadi seorang yang disibukkan pekerjaan dan terlihat smart, meskipun di saat sendiri, kita merutuki diri sebagai manusia paling bodoh dan paling malang sejagat raya.

Lalu kapan kita benar-benar jujur menjadi diri sendiri? Saat merasa tak ada seorang pun melihat kita? Saat di kamar mandi? Oh, yeah, aku yakin setiap orang pernah mengalami fase ‘melarikan diri dari dunia dan pergi ke kamar mandi’. Untuk menangis, atau hanya sekedar mencuci muka agar emosi menjadi reda. Lalu melihat cermin, berusaha mengenali diri kita kembali. Namun bayangan di cermin hanya mampu memberikan wajah dengan ekspresi yang sulit untuk dijelaskan – amarahkah itu? Atau kesedihan?

Keluar dari kamar mandi, kita kembali bersandiwara. Pertanyaan, “kamu nggak apa-apa?” takkan dijawab, “aku jelas APA-APA, aku bahkan hampir gila!” meskipun dalam hati kita menjerit-jerit setengah mati. Tidak, kita tetap berusaha tesenyum dan berkata, “nggak… nggak apa-apa.” Setengah untuk menguatkan diri, setengahnya karena drama yang sedang dimainkan tidak membutuhkan aktor/aktris pengecut dan cengeng. Mainkan atau menyingkir dari sini!

Barulah, ketika semua orang telah pulang, ketika kita kembali sendirian di kamar, kejujuran itu akan tergali lagi. Emosi yang terserap sepanjang hari diputar ulang hingga pikiran kita menjelajah waktu; mengorek-ngorek masa lalu kemudian mengerutkan kening untuk mencari cara mempertahankan diri di masa depan.

Beruntunglah mereka yang memiliki orang-orang tercinta. Karena semua kegilaan dari akting semu itu hilang begitu saja saat memandang wajah polos anak-anak dalam kedamaian mimpi masa kecil mereka. Atau sekedar ucapan selamat tidur dari kekasih yang terpisah jarak. Bahkan dengkuran halus ayah dan ibu yang menandakan nafas mereka masih ada untuk mencintai kita di usia yang tersisa.

Beruntunglah mereka yang mengenal Tuhan. Karena dengan curangnya kita selalu menjadikan Ia sebagai pelarian terakhir. Ah, memangnya mau ke mana lagi? Tempat terbaik untuk melepaskan segala topeng, kostum dan kebohongan hanyalah saat kita benar-benar menghadirkan diri di hadapan-Nya. Raga mungkin diam, tapi hati meleleh, mencair dan mengalir deras seiring do’a dan permohonan untuk keluar dari segala himpitan.

Lalu berusaha memejamkan mata. Dan kembali memakai kostum sandiwara keesokan harinya.

Kurasa, kita memang tak bisa menjadi diri sendiri sepanjang waktu, 24 jam setiap hari. Tak ada cerita mempertahankan ego sebesar planet Jupiter dengan pembenaran ‘inilah aku apa adanya’. Ada bagian yang harus ditunjukkan, ada yang harus disembunyikan dan ada yang harus diubah. Living wild and free sebagai ekspresi kemurnian diri tetap mengikuti takaran ‘seberapa wild’ dan ‘seberapa free’ karena kita bukanlah binatang yang tak tahu aturan.

Kita manusia. Dan kita memang memiliki peran dan skenario masing-masing dengan agama sebagai panduan. Tinggal pilih, menjadi protagoniskah? Atau antagonis? Atau jadi penonton apatis yang tak mau terlibat apapun?

Hanya nurani yang tahu jawabannya.

Gambar diambil dari

15 Februari 2010

Tak Sekedar Memberi


Sore hari, saat warung Mimi sedang sepi pembeli, tiba-tiba sebuah motor menepi. Gadis pengendara motor itu menyerahkan bungkusan plastik besar pada Mimi.

"Siapa itu, Mi?" Tanyaku.
"Itu anaknya langganan Mimi," jawabnya sambil membuka plastik yang ternyata isinya sekumpulan kantong plastik bekas kusut. Dengan telaten, Mimi merapikan satu persatu plastik itu meskipun raut wajahnya terlihat tak suka.

"Mimi nggak berani ngasih rujak pake kantong plastik kayak gini, nanti disangka nggak menghargai pembeli," ujar Mimi. Kantong-kantong itu memang sangat kusut dan beberapa malah terlihat kotor. "Disangkanya kita nggak sanggup beli plastik ya, Nok. Padahal kantong plastik kayak gini dua ribu lima ratus udah dapat dua," sambung Mimi sambil menunjuk satu pak kantong plastik hitam baru.

Akhirnya, ghibah jadi tak terhindarkan....

Hmmm.... Aku menceritakan kembali di sini agar kita bisa sama-sama mengambil pelajaran.

Ibu yang memberi plastik itu, sebut saja Ibu A, hidupnya sangat berkecukupan. Dia sering memesan masakan khusus pada Mimi, misalnya pepes rajungan, sop ceker, pepes ikan kembung, dan lainnya. Yang Mimi keluhkan, si Ibu ini suka banget menawar. Padahal Mimi sudah mempertimbangkan harga tanpa mengambil untung banyak.

Contoh, untuk pepes ikan kembung yang harga ikan mentahnya aja Rp 10.000,00 setengah kilo (kira-kira sebanyak 7 ekor), satu bungkus pepesnya Mimi jual Rp 2.000,00. Wajar, kan? Ditambah bumbu, daun pisang pembungkus, bahan bakar dan tenaga, secara keseluruhan, Mimi hanya mengambil untung kurang lebih Rp 3.000,00 aja. Bagiku itu udah murah. Tapi, Ibu itu nggak mau tahu, ia keukeuh menawar sebungkusnya Rp 1.750,00. Mimi geleng-geleng kepala. Seberapa berartinya, sih, Rp 250,00 untuk orang sekaya dia?

Aku mendengar cerita Mimi sambil memperhatikan plastik-plastik yang tengah dirapikannya. Di antara plastik itu, selain berlogo nama-nama supermarket atau minimarket terkenal, terselip juga kantong besar dari Holland Bakery dan Dunkin Donuts. Aku nyengir masam, berpikir, apakah si Ibu A itu juga menawar harga sebuah donatnya jadi Rp 3.000,00 perbiji? Apalagi dengan ukuran kantong sebesar itu, minimal ia harus membeli setengah lusin donat.

Ironis, ya? Untuk membeli produk kapitalis yang pemiliknya udah jelas-jelas kaya, kita bersedia merogoh kocek tanpa pikir ulang. Tapi, saat membeli produk pedagang kecil seperti Mimi, kita tawar-menawar setengah mati. Yah, kecuali kalo harganya memang sengaja untuk ditawar seperti Malioboro atau Pasar Baru Bandung, sih....

Di lain waktu, si Ibu A pernah memberikan dua buah ayam goreng bagian dada pada Mimi. Setelah dicicipi, ayamnya ternyata 'beraroma' minyak tanah cukup menyengat. Dede Rusdy yang ikut mencicipi malah ngomel karena disangkanya Mimi yang memasak ayam rasa minyak tanah itu. "Mungkin ayamnya jatuh atau gimana, ya, Nok. Duh, pengennya suruh si Ibu itu makan sendiri aja."

Untuk ayam goreng dan sekumpulan plastik kusut yang diberikannya, aku tahu niat Ibu A baik. Dipikirnya, daripada dibuang, mungkin berguna untuk pedagang seperti Mimi. Tapi, kalau memang sudah berniat akan memberikan plastik-plastik itu, apa salahnya jika terlebih dahulu dilipat dan disimpan dengan rapi, dipisahkan palstik yang sudah sobek dan kotor, jadi si penerimanya juga senang. Dan makanan yang memang sudah tidak layak makan, bagiku tak ada jalan lain kecuali membuangnya. Kalaupun sebelum dibuang ada yang meminta, jelaskan dulu padanya kondisi makanan itu bisa membawa penyakit.

Dalam memberi, dibutuhkan lebih dari sekedar niat baik. Perhatikan juga barang yang akan kita berikan, jangan jadikan orang yang tak mampu sebagai 'tempat sampah'!. Cara memberikannya juga harus baik, jangan sampai menyinggung perasaan atau harga dirinya. Oh, ya, manusia kecil seperti kami juga punya perasaan dan harga diri!

Gambar diambil dari api.ning.com

03 Februari 2010

Oscar, Kucing yang Mampu Memprediksi Kematian


He's soooo cute, isn't he?

Oscar adalah kucing yang diadopsi dari tempat penampungan hewan dan dibesarkan sebagai therapy cat (kucing yang kadang digunakan oleh pihak rumah sakit untuk menenangkan pasien, terutama anak-anak, yang dirawat di sana) di Steere House Nursing and Rehabilitation Center di Providence, Rhode Island. Namun saat umurnya enam bulan, staf di sana menangkap kebiasaan aneh Oscar: si imut ini selalu tidur melingkar dengan pasien yang akan meninggal. Ia seolah bisa 'merasakan' pasien mana yang akan menemui kematian lebih dulu. Kebiasaannya ini menjadikan Oscar dijuluki malaikat kematian berkaki empat. Hingga saat ini, Oscar bisa memprediksi 50 kematian secara akurat (!).

Oscar bahkan pernah 'diuji'. Ia ditempatkan bersama seseorang yang sakit parah hingga diperkirakan usianya tak lama lagi. Namun Oscar menolak, ia malah pergi lalu berbaring di tempat tidur pasien lain. Dan terbukti, pasien yang ditemani Oscar memang meninggal lebih dulu.

Dr. David Dosa, yang menuliskan kemampuan Oscar dalam sebuah paper yang diterbitkan New England Journal of Medicine tahun 2007, mengatakan bahwa ia tidak bermaksud menjadikan Oscar terdengar sebagai kucing yang menyeramkan atau menjadikan kedatangannya ke sisi tempat tidur seseorang mendapat respon negatif. Melalui bukunya "Making Rounds With Oscar: The Extraordinary Gift of an Ordinary Cat", Dr. David Dosa berharap kebiasaan kucing ini bisa dilihat dari sudut pandang yang lebih baik, terutama bagi keluarga pasien. Dengan adanya Oscar, pasien yang diperkirakan akan segera meninggal bisa didampingi orang-orang tercinta yang memberikan kasih sayang dan perhatian penuh di saat-saat akhir hidupnya.

Subhanallah.... Emang agak-agak gimana... gitu membaca berita tentang si Oscar ini; antara menyeramkan dan takjub. Tapi Dr. Dosa (btw nama koq dosa, sih? :D) benar, kita bisa mengambil hikmah dari kemampuan Oscar ini. Andaikan pasien itu muslim, keluarganya bisa membimbing si sakit untuk mengisi saat-saat akhir hidupnya dengan lafadz ilahiyah. Dan itu membuatku berpikir, jika Oscar datang dan aku tahu hidupku tak lama lagi... akankah aku lebih berani dan ikhlas menerima kedatangan sang malaikat pencabut nyawa? Ya Allah, semoga hidupku husnul khatimah... Amin....

Sumber: news.yahoo.com

28 Januari 2010

Tentang Mimi

Selapis dingin masih tergantung di udara luar, sisa hujan sore tadi. Siapapun hanya ingin bersembunyi di balik selimut hangat dan benderang lampu di dalam rumah yang nyaman. Namun, ketukan pelan di pintu kosku memberitahu tentang kedatangan seseorang istimewa di baliknya. Lirih ia memanggilku agar –jika aku tengah tertidur- suaranya tak menggangguku. Lekas kubuka pintu dan menyambut perempuan istimewa setengah baya itu.

Ia langsung membuka jilbabnya dan rebahan di kasurku. Aku sedikit tersenyum, agaknya suasana hati Mimi , panggilan ‘ibu’ untuknya, sama tak nyamannya dengan udara dingin di luar.

“Mimi tadi pagi ke sini, nggak?” Tanyaku, khawatir tak mendengarnya datang saat aku tengah mandi. Mimi selalu mengantarkan sarapan untukku tanpa mau dibayar. Sederhana, memang. Nasi jamblang khas Cirebon, nasi kuning, nasi uduk, lontong sayur, atau kadang saat Mimi sedang berhemat, ia memasakkanku nasi goreng tanpa lauk, yang membuatnya tak enak hati. Ah, semoga Allah memberkahimu, Mi… Setiap butir nasi yang Mimi sediakan telah menguatkan tubuhku untuk memulai aktivitas hari itu.

“Nggak, Nok. Tadi pagi ibunya Mamak jatuh di kamar mandi, jadi Mimi ke sana dulu.”

Mamak merupakan panggilan untuk suami Mimi. Ibunya yang telah sepuh tinggal di rumah berjarak tak seberapa jauh dari rumah Mimi, ditemani salah seorang putranya, kakaknya Mamak. Namun, saat kejadian itu, sang putra tengah mengunjungi anaknya yang telah berumah tangga. Mimi membatalkan rutinitasnya ke pasar untuk mengurus ibunya Mamak.

“Sekarang di rumah sakit?”

“Diurut aja, Nok. Saudara-saudaranya Mamak juga datang, termasuk yang dari Villa Intan.” Mimi terdiam sejenak. “Tadi Mimi baru jualan jam setengah sebelas, Nok. Tadinya ragu mau jualan atau nggak. Tapi, dipikir-pikir ngapain juga diam di rumah. Ya, wis, jualan aja.”

Mimi berjualan rujak (semacam gado-gado) di sebuah warung sederhana di dekat kosku. Di situlah pertama kalinya aku mengenal Mimi. Warung tanpa dinding, beratapkan terpal plastik warna biru yang telah bocor di beberapa titik. Sebagian jualannya disimpan di sebuah roda tua. Sebagian lagi disimpan di atas meja panjang yang dilengkapi bangku untuk tempat makan para langganannya. Musim hujan seperti ini, Mimi harus tutup lebih cepat karena warungnya diciprati butiran air tanpa ampun. Allah Maha Baik dengan menurunkan hujan di sore hari, jadi Mimi masih bisa berjualan dari pagi hingga waktu Ashar.

“Tadi tuh, Nok, sampai sore Mimi cuma dapat empat puluh ribuan. Eh, tau-tau datang mobil, parkir di depan warung, isinya penuh anak-anak sekolahan. Ya udah, pada minum kopi sama kerupuk dan roti, jadinya dapat lagi dua puluh dua ribu, Alhamdulillah….”

“Anak-anak sekolah minum kopi?” Tanyaku bingung membayangkan anak-anak berseragam SD atau SMP menyeruput kopi di warung.

“Iya, seumuran Rusdy gitu, Nok. Nggak tahu lah, mungkin anak kuliahan.”

Oh…. Rusdy itu putra Mimi paling bungsu, yang juga kuanggap adikku. Ia tamat SMA tahun kemarin dan sekarang bekerja di sebuah minimarket. Meskipun jahil, dia baik dan penurut. Dia sering bilang aku kakak yang menyebalkan karena bisa lebih jahil darinya, hehe…. Putra Mimi ada tiga orang; yang sulung, Mas Dwi, merupakan anak dari suami pertamanya yang meninggal karena kecelakaan saat mas Dwi baru lahir; Rusdy dan kakaknya, Mas Tris, adalah putra dari Mamak. Aku paling dekat dengan Rusdy, dia yang suka mengantarku ke mana-mana (termasuk ke salon ^_^) atau menjemputku di terminal saat aku pulang malam setelah mengunjungi kakakku di luar kota.

Well, kembali ke Mimi. Rata-rata Mimi mendapatkan hasil sekitar tujuh puluh ribu rupiah perhari. Setelah dipotong untuk belanja bahan-bahan rujak untuk jualan keesokan harinya, membayar kue-kue atau gorengan titipan, es balok, dan kreditan barang-barang seperti gelas, sandal dan segala macamnya, barulah Mimi membeli beras dan lauk untuk makan malam dan sarapan, termasuk untukku. Kadang, saat aku makan atau ngemil di warungnya, Mimi mematok harga sekenanya alias murah banget. Aku suka memaksa agar ia menerima uang lebih, tentu saja. Yang kadang ia kembalikan ke dalam dompetku dengan tak kalah paksa. Saat aku pulang ke Bandung atau ke tempat kakak, Mimi akan membekaliku oleh-oleh khas Cirebon, seperti kerupuk melarat atau intip buatan orang Gunung Jati. Dan nantinya Mama akan balik membekaliku oleh-oleh untuk Mimi.

Winda, calon ibu pejabat yang dulu satu kos denganku sampai nyeletuk, “dasar kamu anak kesayangan Mimi.” Hehehe…. Rusdy pun kadang ngiri juga karena Mimi suka menyimpan lauk lebih banyak untukku. “Mentang-mentang anak cewek, lebih disayang,” omelnya.

Ya, Mimi adalah ibu lain yang kumiliki di sini. Aku tak ingat lagi bagaimana semua mengalir hingga aku menjadi dekat dengannya. Tapi yang jelas, aku tahu Allah begitu Maha Kasih hingga Ia menjagaku melalui rasa sayang Mimi di sebuah kota yang sebelumnya sama sekali asing buatku. Saat aku sakit atau tak enak badan, saat aku ingin berbagi kebahagiaan, bahkan saat aku patah hati, ada pelukan dan tangan-tangannya yang tak halus namun penuh cinta terulur untukku. Alhamdulillah….

“Mimi nggak pengen makan?”

“Makan apa, Nok?”

“Enaknya apa, ya… Duitku juga dah abis, Mi,” kataku nyengir.

“Mie ayam di seberang, cuma empat ribu.”

“Yuk!”

Kami pun menembus sisa hujan, menikmati semangkuk mie ayam dan segelas teh panas, menu yang tak biasa untuk makan malam Mimi. Tak banyak kemewahan yang bisa kuusahakan untuknya. Tapi ‘menikmati’ wajah Mimi yang asyik menyeruput mie merupakan hadiah indah untuk mengakhiri malam itu. Kalau udah gajian, insya Allah menunya martabak manis kesukaan Mimi, ya!