"Mbak... Mbak...!"
Jam belum lagi menunjukkan pukul 7 pagi saat pintu kamar kosku diketuk. Aku yang tengah bersiap-siap berangkat kerja (maklum, ngantor di sini kayak anak sekolah, masuknya jam 7 pagi :D) segera membuka pintu dengan tergesa, takutnya ada kejadian gawat darurat apa....
"Mbak cuciannya ada yang kurang?"
Ya ampyun... Ternyata itu ibu yang mencucikan pakaianku kemarin...
"Nggak, Bu...," jawabku masih kebingungan, sepagi ini khusus menyempatkan diri datang ke kosku hanya untuk menanyakan itu? Baek banget, pikirku polos. Ibu itu masih diam seolah menunggu, sampai akhirnya aku berkata, "minggu ini nggak usah nyuci dulu, Bu, saya mau ke Bandung. Lagian cuciannya juga sedikit koq. Minggu depan aja."
Ia masih belum beranjak. Aku pun masih diam. Namun, bahkan sebelum ia mengatakannya, aku tiba-tiba mengerti.
"Saya mau pinjam uang, Mbak. Dua puluh ribu aja," katanya sedikit memelankan suara. Oh ya, pikirku, antara jengkel dan geli. Jengkel, karena aku baru mengenalnya beberapa hari tapi koq udah berani pinjam uang. Geli, karena budaya ngutang (terutama di akhir bulan begini) seolah mendarah daging bagi sebagian besar masyarakat kita.
Bisa ga, sih, nggak ngutang? Rutukku. Tapi ketika teringat tagihan kartu kreditku, aku jadi pengen nyengir sendiri. Ye, sama aja tukang ngutang :D
Aku juga jadi mendramatisir sendiri, mungkin keluarganya hari ini nggak bisa makan, mungkin anak-anaknya belum bayar sekolah, mungkin ibunya sakit... ah, sinetronnya mulai, deh, hehe... Lagipula Allah kan Maha Kaya. Aku insya Allah ga akan jadi miskin hanya karena meminjamkan dua puluh ribu perak pada orang yang situasi keuangannya lebih sulit dariku.
Jam belum lagi menunjukkan pukul 7 pagi saat pintu kamar kosku diketuk. Aku yang tengah bersiap-siap berangkat kerja (maklum, ngantor di sini kayak anak sekolah, masuknya jam 7 pagi :D) segera membuka pintu dengan tergesa, takutnya ada kejadian gawat darurat apa....
"Mbak cuciannya ada yang kurang?"
Ya ampyun... Ternyata itu ibu yang mencucikan pakaianku kemarin...
"Nggak, Bu...," jawabku masih kebingungan, sepagi ini khusus menyempatkan diri datang ke kosku hanya untuk menanyakan itu? Baek banget, pikirku polos. Ibu itu masih diam seolah menunggu, sampai akhirnya aku berkata, "minggu ini nggak usah nyuci dulu, Bu, saya mau ke Bandung. Lagian cuciannya juga sedikit koq. Minggu depan aja."
Ia masih belum beranjak. Aku pun masih diam. Namun, bahkan sebelum ia mengatakannya, aku tiba-tiba mengerti.
"Saya mau pinjam uang, Mbak. Dua puluh ribu aja," katanya sedikit memelankan suara. Oh ya, pikirku, antara jengkel dan geli. Jengkel, karena aku baru mengenalnya beberapa hari tapi koq udah berani pinjam uang. Geli, karena budaya ngutang (terutama di akhir bulan begini) seolah mendarah daging bagi sebagian besar masyarakat kita.
Bisa ga, sih, nggak ngutang? Rutukku. Tapi ketika teringat tagihan kartu kreditku, aku jadi pengen nyengir sendiri. Ye, sama aja tukang ngutang :D
Aku juga jadi mendramatisir sendiri, mungkin keluarganya hari ini nggak bisa makan, mungkin anak-anaknya belum bayar sekolah, mungkin ibunya sakit... ah, sinetronnya mulai, deh, hehe... Lagipula Allah kan Maha Kaya. Aku insya Allah ga akan jadi miskin hanya karena meminjamkan dua puluh ribu perak pada orang yang situasi keuangannya lebih sulit dariku.