Wilujeng Sumping...

Ini blog seorang mida, yang -seperti manusia lainnya- punya banyak kisah dan masalah untuk diceritakan dalam perjalanan hidupnya. Silakan masuk, duduk di mana aja dan baca-baca sesuka hati. Mau teh atau kopi? ^_^

15 Februari 2010

Tak Sekedar Memberi


Sore hari, saat warung Mimi sedang sepi pembeli, tiba-tiba sebuah motor menepi. Gadis pengendara motor itu menyerahkan bungkusan plastik besar pada Mimi.

"Siapa itu, Mi?" Tanyaku.
"Itu anaknya langganan Mimi," jawabnya sambil membuka plastik yang ternyata isinya sekumpulan kantong plastik bekas kusut. Dengan telaten, Mimi merapikan satu persatu plastik itu meskipun raut wajahnya terlihat tak suka.

"Mimi nggak berani ngasih rujak pake kantong plastik kayak gini, nanti disangka nggak menghargai pembeli," ujar Mimi. Kantong-kantong itu memang sangat kusut dan beberapa malah terlihat kotor. "Disangkanya kita nggak sanggup beli plastik ya, Nok. Padahal kantong plastik kayak gini dua ribu lima ratus udah dapat dua," sambung Mimi sambil menunjuk satu pak kantong plastik hitam baru.

Akhirnya, ghibah jadi tak terhindarkan....

Hmmm.... Aku menceritakan kembali di sini agar kita bisa sama-sama mengambil pelajaran.

Ibu yang memberi plastik itu, sebut saja Ibu A, hidupnya sangat berkecukupan. Dia sering memesan masakan khusus pada Mimi, misalnya pepes rajungan, sop ceker, pepes ikan kembung, dan lainnya. Yang Mimi keluhkan, si Ibu ini suka banget menawar. Padahal Mimi sudah mempertimbangkan harga tanpa mengambil untung banyak.

Contoh, untuk pepes ikan kembung yang harga ikan mentahnya aja Rp 10.000,00 setengah kilo (kira-kira sebanyak 7 ekor), satu bungkus pepesnya Mimi jual Rp 2.000,00. Wajar, kan? Ditambah bumbu, daun pisang pembungkus, bahan bakar dan tenaga, secara keseluruhan, Mimi hanya mengambil untung kurang lebih Rp 3.000,00 aja. Bagiku itu udah murah. Tapi, Ibu itu nggak mau tahu, ia keukeuh menawar sebungkusnya Rp 1.750,00. Mimi geleng-geleng kepala. Seberapa berartinya, sih, Rp 250,00 untuk orang sekaya dia?

Aku mendengar cerita Mimi sambil memperhatikan plastik-plastik yang tengah dirapikannya. Di antara plastik itu, selain berlogo nama-nama supermarket atau minimarket terkenal, terselip juga kantong besar dari Holland Bakery dan Dunkin Donuts. Aku nyengir masam, berpikir, apakah si Ibu A itu juga menawar harga sebuah donatnya jadi Rp 3.000,00 perbiji? Apalagi dengan ukuran kantong sebesar itu, minimal ia harus membeli setengah lusin donat.

Ironis, ya? Untuk membeli produk kapitalis yang pemiliknya udah jelas-jelas kaya, kita bersedia merogoh kocek tanpa pikir ulang. Tapi, saat membeli produk pedagang kecil seperti Mimi, kita tawar-menawar setengah mati. Yah, kecuali kalo harganya memang sengaja untuk ditawar seperti Malioboro atau Pasar Baru Bandung, sih....

Di lain waktu, si Ibu A pernah memberikan dua buah ayam goreng bagian dada pada Mimi. Setelah dicicipi, ayamnya ternyata 'beraroma' minyak tanah cukup menyengat. Dede Rusdy yang ikut mencicipi malah ngomel karena disangkanya Mimi yang memasak ayam rasa minyak tanah itu. "Mungkin ayamnya jatuh atau gimana, ya, Nok. Duh, pengennya suruh si Ibu itu makan sendiri aja."

Untuk ayam goreng dan sekumpulan plastik kusut yang diberikannya, aku tahu niat Ibu A baik. Dipikirnya, daripada dibuang, mungkin berguna untuk pedagang seperti Mimi. Tapi, kalau memang sudah berniat akan memberikan plastik-plastik itu, apa salahnya jika terlebih dahulu dilipat dan disimpan dengan rapi, dipisahkan palstik yang sudah sobek dan kotor, jadi si penerimanya juga senang. Dan makanan yang memang sudah tidak layak makan, bagiku tak ada jalan lain kecuali membuangnya. Kalaupun sebelum dibuang ada yang meminta, jelaskan dulu padanya kondisi makanan itu bisa membawa penyakit.

Dalam memberi, dibutuhkan lebih dari sekedar niat baik. Perhatikan juga barang yang akan kita berikan, jangan jadikan orang yang tak mampu sebagai 'tempat sampah'!. Cara memberikannya juga harus baik, jangan sampai menyinggung perasaan atau harga dirinya. Oh, ya, manusia kecil seperti kami juga punya perasaan dan harga diri!

Gambar diambil dari api.ning.com

03 Februari 2010

Oscar, Kucing yang Mampu Memprediksi Kematian


He's soooo cute, isn't he?

Oscar adalah kucing yang diadopsi dari tempat penampungan hewan dan dibesarkan sebagai therapy cat (kucing yang kadang digunakan oleh pihak rumah sakit untuk menenangkan pasien, terutama anak-anak, yang dirawat di sana) di Steere House Nursing and Rehabilitation Center di Providence, Rhode Island. Namun saat umurnya enam bulan, staf di sana menangkap kebiasaan aneh Oscar: si imut ini selalu tidur melingkar dengan pasien yang akan meninggal. Ia seolah bisa 'merasakan' pasien mana yang akan menemui kematian lebih dulu. Kebiasaannya ini menjadikan Oscar dijuluki malaikat kematian berkaki empat. Hingga saat ini, Oscar bisa memprediksi 50 kematian secara akurat (!).

Oscar bahkan pernah 'diuji'. Ia ditempatkan bersama seseorang yang sakit parah hingga diperkirakan usianya tak lama lagi. Namun Oscar menolak, ia malah pergi lalu berbaring di tempat tidur pasien lain. Dan terbukti, pasien yang ditemani Oscar memang meninggal lebih dulu.

Dr. David Dosa, yang menuliskan kemampuan Oscar dalam sebuah paper yang diterbitkan New England Journal of Medicine tahun 2007, mengatakan bahwa ia tidak bermaksud menjadikan Oscar terdengar sebagai kucing yang menyeramkan atau menjadikan kedatangannya ke sisi tempat tidur seseorang mendapat respon negatif. Melalui bukunya "Making Rounds With Oscar: The Extraordinary Gift of an Ordinary Cat", Dr. David Dosa berharap kebiasaan kucing ini bisa dilihat dari sudut pandang yang lebih baik, terutama bagi keluarga pasien. Dengan adanya Oscar, pasien yang diperkirakan akan segera meninggal bisa didampingi orang-orang tercinta yang memberikan kasih sayang dan perhatian penuh di saat-saat akhir hidupnya.

Subhanallah.... Emang agak-agak gimana... gitu membaca berita tentang si Oscar ini; antara menyeramkan dan takjub. Tapi Dr. Dosa (btw nama koq dosa, sih? :D) benar, kita bisa mengambil hikmah dari kemampuan Oscar ini. Andaikan pasien itu muslim, keluarganya bisa membimbing si sakit untuk mengisi saat-saat akhir hidupnya dengan lafadz ilahiyah. Dan itu membuatku berpikir, jika Oscar datang dan aku tahu hidupku tak lama lagi... akankah aku lebih berani dan ikhlas menerima kedatangan sang malaikat pencabut nyawa? Ya Allah, semoga hidupku husnul khatimah... Amin....

Sumber: news.yahoo.com