Siluet yang menjulang tinggi kebiruan itu selalu terlihat dari jendela kantor. Kadang puncaknya diselimuti kabut, kadang bentuknya terlihat sempurna di hari yang cerah dan panas. Siluet itu bagiku seperti sosok raksasa yang diam dan penuh misteri. Rasanya aneh karena di sekitarnya sama sekali tak ada gunung tinggi, hanya laut Jawa dan perbukitan rendah. Tapi, ia berdiri di sana, menyandang gelar sebagai gunung tertinggi di Jawa Barat.
Jum'at malam, aku berangkat menuju tempat berkemah di Curug Muara Jaya, Kabupaten Majalengka. Hati bahkan sempat ragu untuk ikut naik. Tubuhku rasanya kurang fit gara-gara lembur terus. Tapi, entahlah.... Ada begitu banyak dorongan untuk menaklukan gunung ini. Maka, dengan semangat dan stamina yang tersisa, aku tekadkan akan sampai di puncaknya, meskipun harus merangkak.... Aku tahu aku bisa!
Begitu sampai di pelataran parkir.... Busettt... Ternyata perkemahannya di siapkan ratusan meter di bawah, sedikit lebih rendah dari kaki air terjun. Untuk sampai ke sana, kami harus menuruni begitu banyak anak tangga di kegelapan malam. Membayangkan esok pagi harus dimulai dengan 'pemanasan' menaiki anak-anak tangga lagi untuk sampai ke parkiran mobil sedikit membuat perutku mulas... Ayolah, ini bahkan bukan merupakan bagian dari jalur pendakian, masa harus tepar duluan, nih....
Sambutan berupa minuman hangat dan ayam serta ikan gurame bakar cukup membuat hati kembali tenang, hehe... Agak mengecewakan, sih, soalnya aku membayangkan kami akan membakar ayam dan ikan bersama-sama di api unggun. Tapi, tak apa lah, mungkin crew-nya mengira kami akan terlalu lelah jadi makanannya sudah disiapkan duluan. Setelah makan dan sedikit mengobrol, mayoritas peserta memilih langsung tidur di tenda masing-masing. Aku dan Harun masih harus menunggu rombongan dari Jakarta yang keretanya baru tiba di Cirebon sekitar pukul sebelas malam karena keberangkatannya terlambat dari jadwal (Indonesia gitu lho... ^_^). Harun naik lagi ke tempat parkir untuk menyambut mereka, sementara aku menunggu di dekat api unggun untuk mengusir udara dingin. Saat berbaring, langit malam begitu bersih dan biru, dengan purnama bersinar terang di atas pucuk-pucuk pohon. Begitu sunyi....
Lewat tengah malam, barulah terdengar gemerisik suara rombongan menuruni tangga di kejauhan. Begitu mereka menyebrangi jembatan sungai, aku nyaris melompat senang karena mendengar suara tawa Yaroh, sobatku, di antara mereka. Hampir saja ia membatalkan rencana ikut pendakian karena ada meeting di Bogor. Ternyata di saat-saat akhir, rapatnya dibatalkan hingga ia langsung meluncur dari kantor menuju Cirebon. Okay, akhirnya aku bisa masuk tenda dan tidur sampai pagi....
Sarapan berupa tumis buncis dan bakso menjadi 'bahan bakar' untuk memulai perjalanan pagi menuju Air Terjun Muara Jaya. Cantik.... Tapi sayang, kami tak bisa menikmatinya berlama-lama agar bisa sampai di Goa Walet tepat waktu.
Maka, kami terus naik ke atas, tempat dua mobil pick-up sudah menunggu untuk mengantarkan kami ke Pos pendakian pertama yang bernama Blok Arban (1.614 mdpl). Wuiiiih... jalan yang dilalui mobil ternyata begitu mengerikan. Jalanannya sempit, terjal dan berbatu-batu. Sepanjang jalan kami tertawa-tawa sambil menahan sakit karena terguncang-guncang tanpa henti.
Ngeri juga, sih, kalo seandainya mobil tiba-tiba mogok dan mundur, jurang yang dalam siap menelan kami. Tapi, ada yang lucu.... Di dekat Blok Arban (yang nyata-nyata daerah kaki gunung agak terpencil), ternyata ada perkampungan warga yang padat. Saking padatnya, mobil harus melalui gang-gang kecil seperti di Bandung. Kami nyaris tak percaya kalau kami tengah berada di gunung....
Dari Blok Arban, kami mulai mendaki menuju pos kedua bernama Simpang Lima (1.915 mdpl). Oh, iya, jalur yang kami lalui dinamakan jalur Apuy yang panjang lintasannya menuju puncak Ciremai sekitar 6,9 km. Tak ada yang istimewa dari perjalanan menuju pos ketiga (Tegal Wasawa-2.400 mdpl) dan pos keempat (Tegal Jamuju-2.600 mdpl). Jalurnya berupa jalan setapak menanjak diapit semak-semak dan pepohonan hutan.
Dari pos empat ke pos lima, barulah tanjakannya mulai 'menggila'. Aku sempat berjalan sendirian karena tertinggal dari grup depan, sementara grup belakang belum sampai. Di suatu rekahan tanah, aku harus melompat dan terjatuh. Hufff... nyaris saja aku merosot ke jurang. Alhamdulillah masih sempat berpegangan pada batu dan akar. Dengan jantung masih deg-degan, aku memasuki jalur yang mirip terowongan terbentuk dari semak-semak tinggi di kiri-kanan yang seolah menyatu menjadi kanopi jalan. Hiii... aku sempat ragu, jangan-jangan aku tersesat. Akhirnya aku memutuskan menunggu grup di belakangku. Begitu mereka sampai, aku lega dan melanjutkan perjalanan.
Di tanjakan-tanjakan tertentu, aku harus merayap saking curamnya (dan saking lelahnya ^_^). Di pos kelima (Sang Hyang Rangkah-2.800 mdpl), barulah aku bertemu kembali dengan grupku (Harun, Gunle, Yaroh, Zem, Acos dan Senky). Zem akhirnya menawariku untuk membawakan ransel agar aku bisa berjalan lebih cepat, gantian dengan Acos. Senangnya, hehe... ^_^ Tapi tetap aja, tanpa beban di punggung pun, jalanku tetap paling lambat di antara mereka....
Menuju pos enam (Goa Walet-2.950 mdpl), tanjakannya ruarrrrr biasa.... berupa bongkahan batu-batu besar yang kemiringannya (menurutku) sekitar 70 derajat. Ampunnnnn.... tanjakan setan Gunung Gede lewat dah!!! Di atas pertemuan jalur Apuy dan Palutungan, kita bisa melihat lautan awan dengan matahari mulai terbenam ke dalamnya. Oh, God, indahnyaaaaa.... ^_^
Saat metahari benar-benar tenggelam, udara mulai dingin dan aku mulai menggigil. Waduh, gawat! Jaket tebalku dititipkan pada porter. Dan para porter ga tau baru nyampe mana... Zem akhirnya meminjamkan jaket tebalnya padaku (kasihan, padahal dia sendiri cuma memakai sweater tipis). Kami bergegas turun menuju Goa Walet sambil menunggu yang lain. Beruntung, kami bertemu dua orang anak SMA yang menginap di sana. Kebaikan mereka membantu membuatkan api unggun menyelamatkan kami dari kedinginan (or worse, hipothermia, hiii....)
Handy Talkie yang dibawa Harun ternyata baterainya hampir habis. Jadinya kami hanya bisa mendengar tapi tak bisa menjawab. Dalam keadaan kalut dan menggigil, kami 'merapatkan barisan', duduk berdempetan di depan api, sambil mendengarkan seorang crew yang menyebalkan dan sok tau berkata, "Yang sudah sampai di pos enam ada berlima, dan jangan khawatir, Pak Harun sudah terlatih..." Apaaaa? Ada aku dan Yaroh, cewek-ceweknya ga dihitung! Dan terlatih apa? Kami sama sekali tak punya perbekalan berkemah, hanya makanan dan minuman seadanya serta baju ganti karena semua sudah dijanjikan ditanggung crew.
Tak lama, rombongan peserta lain menyusul sampai di Goa Walet. Bapak-bapak dari kampung daerah gunung Ciremai datang membawakan empat matras, dua buah tenda dan sekarung air mineral botol. Mereka juga membantu mencari kayu bakar agar api bisa bertahan semalaman. Ah, malaikat penolong! Sayangnya, dengan keterbatasan senter (cuma ada dua), tak ada yang berhasil mendirikan tenda dome karena tak ada yang mengerti....
Kami hanya bisa menunggu... Tapi yang ditunggu tak kunjung datang. Crew DPS yang seyogyanya bertanggung jawab dalam logistik perjalanan ini hanya sanggup sampai di pos lima dan memutuskan berkemah di sana! Halooooooo.... Para peserta sudah terdampar di Goa Walet yang dinginnya luar biasa (kata orang sana suhunya bisa sampai minus satu derajat Celcius!), tanpa tenda, matras, sleeping bag dan makanan memadai! Tubuhku, meski sudah memakai jaket dobel, masih saja tak bisa berhenti gemetaran menggigil sampai Yaroh memelukku dengan khawatir. FYI, aku memang lebih suka udara panas daripada dingin (karena itu aku bisa betah di kota-kota 'hangat' seperti Jogja dan Cirebon ^_^).
Akhirnya lewat tengah malam, Harun dan Acos memutuskan turun kembali ke pos lima. Katanya Harun udah emosi jiwa, sampai adu mulut di sana. Crew DPS mengaku kelebihan beban hingga mereka tak sanggup mendaki lagi (lho, harusnya kan mereka udah memperhitungkan jumlah beban dan jumlah orang sebelumnya?). Tapi, akhirnya beberapa crew bersedia naik dan sampai di Goa Walet sekitar jam 4 pagi. Mereka akhirnya mendirikan tenda dan memasak sarapan.
Pagi hari, kami melanjutkan perjalanan ke puncak. Sebenarnya beberapa peserta (termasuk aku) udah drop semangatnya gara-gara kejadian semalam, apalagi jalur bebatuannya makin terjal. Tapi sayang, udah sejauh itu, masa harus menyerah? Tinggal sedikit lagi! Dan alhamdulillah... sampai juga! Yihaaaaa....
Setelah puas berfoto-foto, kami mulai turun melalui jalur Palutungan. Jalur ini lebih panjang ( 8,4 km) tapi lebih landai. Meski kaki mulai pegal-pegal, aku berusaha terus berjalan... Kapok, deh, berjalan di hutan malam-malam kayak dulu lagi. And guess what??? Lensa kontakku ilang sebelah lagi! (Bhuhuhu... hobi apa doyan, sih? Dasar ceroboh!) Makanya aku berusaha sampai di Palutungan sebelum maghrib, kalo nggak, aku harus dituntun kayak orang buta, hiks.... Sebenarnya ada cerita-cerita mistik selama perjalanan ini (untungnya aku nggak mengalami yang aneh-aneh), seperti peserta dan porter yag disesatkan jalannya hingga berputar-putar ke tempat itu-itu lagi, suara aneh yang terus mengikuti rombongan dengan gemerisik ranting patah (tapi makhluknya ngga keliatan), wah ngeri, deh! Tapi karena aku nggak mengalami itu, sebaiknya nggak dibahas, ah... Tatut... Hehe....