Wilujeng Sumping...

Ini blog seorang mida, yang -seperti manusia lainnya- punya banyak kisah dan masalah untuk diceritakan dalam perjalanan hidupnya. Silakan masuk, duduk di mana aja dan baca-baca sesuka hati. Mau teh atau kopi? ^_^

19 Januari 2010

Santapan Cinta


Biasaaaa... Kalo lagi butek, bacaannya yang agak ringan begini... Hehe...

Tadinya kupikir novel The Food of Love atau Santapan Cinta ini bergenre chicklit. Ternyata bukan. Ini novel roman tapi 'kemasan' dan desain sampulnya mirip chicklit. Mengambil setting Kota Roma yang klasik dengan kulinernya yang terkenal di dunia, cerita bergulir di antara satu cewek dan dua cowok yang terlibat cinta segitiga.

Tommaso Massi, adalah tipikal cowok Italia yang sering kutemui di cerita-cerita: tampan, menyukai sepakbola, tertarik menjalin hubungan singkat dengan turis-turis cantik dan romantis. Ia naksir Laura, cewek cantik dari Amerika yang sedang belajar sejarah seni di Roma. Saat Laura sedang menelpon temannya, Tommaso yang menguping pembicaraan mereka akhirnya mengetahui bahwa Laura ingin berkencan dengan seorang chef.

Tommaso kemudian membujuk sahabatnya, Bruno, untuk melakukan konspirasi (halah). Bruno merupakan salah satu chef di restoran Templi, restoran yang terkenal di kalangan atas Italia. Namun, tanpa sepengetahuan Tommaso, diam-diam Bruno juga jatuh cinta pada Laura. Namun, ia minder karena tak setampan sahabatnya. Maka, ia setuju untuk memasakkan makanan lezat bagi Laura -yang akan diakui Tommaso sebagai hasil kreasinya- sebagai ungkapan cintanya yang mendalam pada gadis itu. Dari sinilah konflik dimulai.

Aku membenci sekaligus mengagumi novel ini. Kok bisa?

Yep. Aku suka novel ini karena membahas kuliner khas Italia, terutama dari daerah Roma, secara mendetail. Jujur aja, selama ini aku bahkan ga pernah ingat nama-nama pasta, kecuali spaghetti dan lasagna. Begitu disebut fetuccini, misalnya, ga ngeh lagi yang bentuknya gimana, hehe... Begitu juga dengan kopi. Kupikir, espresso dan machiatto udah yang paling pahit. Ternyata ada lagi ristretti yang jauh lebih pahit dan kental hingga dijuluki 'adrenalin cair', wewww... (kalo minum itu pasti lambungku langsung ngamuk).

Melihat nama pengarangnya yang berbau Italia, kupikir pastilah dia lahir dan besar di sana, jadi bisa menulis seluk-beluk Italia dan makanannya dengan sangat baik. Ternyata, dia lahir di Uganda, sodara-sodara! :D Dia juga kuliahnya di Oxford. Dan setelah mikir lagi (kegiatan yang jarang kulakukan sejak lulus kuliah, hehehe...), aku yang lahir dan besar di Bandung pun belum tentu bisa menulis kuliner dan seluk-beluk Jawa Barat sebaik itu. So, salute to Mr. Capella!

Tapi, aku juga benci novel ini karena membuatku bosan di tengah-tengah cerita. Puncak konfliknya diulur-ulur terus dengan adegan-adegan memasak dan adegan percintaan yang vulgar (yeah, namanya juga bule yang nulis). Penyelesaiannya juga kurang seru. Meskipun bisa ditebak ceritanya bakalan happy ending, setidaknya aku berharap sesuatu yang lebih mengejutkan telah menantiku di akhir... Yang ternyata tidak.

Ya, setidaknya melalui buku ini, wawasanku mengenai negeri Italia jadi bertambah. Jadi, ga terlalu mengecewakan lah.

2 komentar: