Selapis dingin masih tergantung di udara luar, sisa hujan sore tadi. Siapapun hanya ingin bersembunyi di balik selimut hangat dan benderang lampu di dalam rumah yang nyaman. Namun, ketukan pelan di pintu kosku memberitahu tentang kedatangan seseorang istimewa di baliknya. Lirih ia memanggilku agar –jika aku tengah tertidur- suaranya tak menggangguku. Lekas kubuka pintu dan menyambut perempuan istimewa setengah baya itu.
Ia langsung membuka jilbabnya dan rebahan di kasurku. Aku sedikit tersenyum, agaknya suasana hati Mimi , panggilan ‘ibu’ untuknya, sama tak nyamannya dengan udara dingin di luar.
“Mimi tadi pagi ke sini, nggak?” Tanyaku, khawatir tak mendengarnya datang saat aku tengah mandi. Mimi selalu mengantarkan sarapan untukku tanpa mau dibayar. Sederhana, memang. Nasi jamblang khas Cirebon, nasi kuning, nasi uduk, lontong sayur, atau kadang saat Mimi sedang berhemat, ia memasakkanku nasi goreng tanpa lauk, yang membuatnya tak enak hati. Ah, semoga Allah memberkahimu, Mi… Setiap butir nasi yang Mimi sediakan telah menguatkan tubuhku untuk memulai aktivitas hari itu.
“Nggak, Nok. Tadi pagi ibunya Mamak jatuh di kamar mandi, jadi Mimi ke sana dulu.”
Mamak merupakan panggilan untuk suami Mimi. Ibunya yang telah sepuh tinggal di rumah berjarak tak seberapa jauh dari rumah Mimi, ditemani salah seorang putranya, kakaknya Mamak. Namun, saat kejadian itu, sang putra tengah mengunjungi anaknya yang telah berumah tangga. Mimi membatalkan rutinitasnya ke pasar untuk mengurus ibunya Mamak.
“Sekarang di rumah sakit?”
“Diurut aja, Nok. Saudara-saudaranya Mamak juga datang, termasuk yang dari Villa Intan.” Mimi terdiam sejenak. “Tadi Mimi baru jualan jam setengah sebelas, Nok. Tadinya ragu mau jualan atau nggak. Tapi, dipikir-pikir ngapain juga diam di rumah. Ya, wis, jualan aja.”
Mimi berjualan rujak (semacam gado-gado) di sebuah warung sederhana di dekat kosku. Di situlah pertama kalinya aku mengenal Mimi. Warung tanpa dinding, beratapkan terpal plastik warna biru yang telah bocor di beberapa titik. Sebagian jualannya disimpan di sebuah roda tua. Sebagian lagi disimpan di atas meja panjang yang dilengkapi bangku untuk tempat makan para langganannya. Musim hujan seperti ini, Mimi harus tutup lebih cepat karena warungnya diciprati butiran air tanpa ampun. Allah Maha Baik dengan menurunkan hujan di sore hari, jadi Mimi masih bisa berjualan dari pagi hingga waktu Ashar.
“Tadi tuh, Nok, sampai sore Mimi cuma dapat empat puluh ribuan. Eh, tau-tau datang mobil, parkir di depan warung, isinya penuh anak-anak sekolahan. Ya udah, pada minum kopi sama kerupuk dan roti, jadinya dapat lagi dua puluh dua ribu, Alhamdulillah….”
“Anak-anak sekolah minum kopi?” Tanyaku bingung membayangkan anak-anak berseragam SD atau SMP menyeruput kopi di warung.
“Iya, seumuran Rusdy gitu, Nok. Nggak tahu lah, mungkin anak kuliahan.”
Oh…. Rusdy itu putra Mimi paling bungsu, yang juga kuanggap adikku. Ia tamat SMA tahun kemarin dan sekarang bekerja di sebuah minimarket. Meskipun jahil, dia baik dan penurut. Dia sering bilang aku kakak yang menyebalkan karena bisa lebih jahil darinya, hehe…. Putra Mimi ada tiga orang; yang sulung, Mas Dwi, merupakan anak dari suami pertamanya yang meninggal karena kecelakaan saat mas Dwi baru lahir; Rusdy dan kakaknya, Mas Tris, adalah putra dari Mamak. Aku paling dekat dengan Rusdy, dia yang suka mengantarku ke mana-mana (termasuk ke salon ^_^) atau menjemputku di terminal saat aku pulang malam setelah mengunjungi kakakku di luar kota.
Well, kembali ke Mimi. Rata-rata Mimi mendapatkan hasil sekitar tujuh puluh ribu rupiah perhari. Setelah dipotong untuk belanja bahan-bahan rujak untuk jualan keesokan harinya, membayar kue-kue atau gorengan titipan, es balok, dan kreditan barang-barang seperti gelas, sandal dan segala macamnya, barulah Mimi membeli beras dan lauk untuk makan malam dan sarapan, termasuk untukku. Kadang, saat aku makan atau ngemil di warungnya, Mimi mematok harga sekenanya alias murah banget. Aku suka memaksa agar ia menerima uang lebih, tentu saja. Yang kadang ia kembalikan ke dalam dompetku dengan tak kalah paksa. Saat aku pulang ke Bandung atau ke tempat kakak, Mimi akan membekaliku oleh-oleh khas Cirebon, seperti kerupuk melarat atau intip buatan orang Gunung Jati. Dan nantinya Mama akan balik membekaliku oleh-oleh untuk Mimi.
Winda, calon ibu pejabat yang dulu satu kos denganku sampai nyeletuk, “dasar kamu anak kesayangan Mimi.” Hehehe…. Rusdy pun kadang ngiri juga karena Mimi suka menyimpan lauk lebih banyak untukku. “Mentang-mentang anak cewek, lebih disayang,” omelnya.
Ya, Mimi adalah ibu lain yang kumiliki di sini. Aku tak ingat lagi bagaimana semua mengalir hingga aku menjadi dekat dengannya. Tapi yang jelas, aku tahu Allah begitu Maha Kasih hingga Ia menjagaku melalui rasa sayang Mimi di sebuah kota yang sebelumnya sama sekali asing buatku. Saat aku sakit atau tak enak badan, saat aku ingin berbagi kebahagiaan, bahkan saat aku patah hati, ada pelukan dan tangan-tangannya yang tak halus namun penuh cinta terulur untukku. Alhamdulillah….
“Mimi nggak pengen makan?”
“Makan apa, Nok?”
“Enaknya apa, ya… Duitku juga dah abis, Mi,” kataku nyengir.
“Mie ayam di seberang, cuma empat ribu.”
“Yuk!”
Kami pun menembus sisa hujan, menikmati semangkuk mie ayam dan segelas teh panas, menu yang tak biasa untuk makan malam Mimi. Tak banyak kemewahan yang bisa kuusahakan untuknya. Tapi ‘menikmati’ wajah Mimi yang asyik menyeruput mie merupakan hadiah indah untuk mengakhiri malam itu. Kalau udah gajian, insya Allah menunya martabak manis kesukaan Mimi, ya!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar